Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun lebih tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung menanti berkas perkara Gunawan Jusuf. Pada pertengahan Desember 2016, melalui surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI memberi kabar kepada jaksa bahwa mereka tengah mengusut dugaan penggelapan dan tindak pidana pencucian uang bos Sugar Group itu.
Hingga November lalu, jaksa tak kunjung menerima berkas perkara. Sampai akhirnya, pada 21 November lalu, jaksa mengembalikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) Gunawan karena sudah lebih dari setahun. ”Penyidik tak mengirimkan berkas perkara sesuai dengan waktu yang ditentukan sesuai dengan ketentuan kami,” ujar Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung Noor Rachmad, Kamis pekan lalu.
Ketentuan yang dimaksudkan Noor adalah Peraturan Jaksa Agung Nomor 36 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Pengembalian surat pemberitahuan itu, menurut dia, juga untuk menghindari tunggakan SPDP di bagian administrasi pidana umum Kejaksaan Agung. ”Maka kami kembalikan,” kata Noor.
Keputusan pengembalian SPDP itu juga dilakukan setelah jaksa menanyakan berkas penyidikan perkara pemilik perusahaan gula terbesar nasional tersebut ke polisi, Juli lalu. Tapi tim penyidik tak pernah membalas surat itu. ”Jaksa peneliti bersurat ke penyidik karena mereka tak pernah mengirimkan berkas perkara,” ujar Kepala Pusat Penerangan Umum Kejaksaan Agung Mukri.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo membenarkan kabar bahwa lembaganya memang belum pernah mengirimkan berkas perkara Gunawan Jusuf ke Kejaksaan. Tapi, kata dia, tim penyidik selalu menginformasikan perkembangan penyidikan tersebut kepada jaksa. ”Berkas perkara sebenarnya sedang disiapkan,” ujar Dedi.
Pengembalian surat pemberitahuan dimulainya penyidikan ini menjadi dasar Badan Reserse Kriminal menghentikan kasus Gunawan Jusuf. Menurut Dedi, dalam surat pengembalian SPDP, jaksa mencantumkan saran bahwa perkara Gunawan bukan merupakan tindak pidana, sudah kedaluwarsa, dan nebis in idem. ”Penyidik melakukan gelar perkara setelah menerima surat pengembalian SPDP dari jaksa,” ucap Dedi.
Sesuai dengan dokumen salinan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) Gunawan Jusuf yang diperoleh Tempo, Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Brigadir Jenderal Rudy Heriyanto Adi Nugroho menyetop perkara itu pada 14 Desember lalu. Di dalam surat itu dijelaskan bahwa penerbitan SP3 diawali gelar perkara satu hari sebelumnya. Alasan penghentian penyidikan juga tercantum dalam surat tersebut: karena nebis in idem dan kedaluwarsa.
Pernyataan kepolisian bahwa alasan penghentian karena saran Kejaksaan langsung dibantah Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rachmad. Menurut dia, lembaganya tidak pernah menyarankan kepada penyidik polisi untuk menghentikan penyidikan perkara Gunawan Jusuf dengan alasan nebis in idem dan sudah kedaluwarsa. ”Kami tak pernah menyarankan apa pun,” katanya.
Dalam surat pengembalian SPDP itu, jaksa menyebutkan status Gunawan Jusuf sebagai tersangka dugaan penggelapan dan tindak pidana pencucian uang. Menurut Kepala Pusat Penerangan Umum Kejaksaan Agung Mukri, status tersangka itu tercantum di surat pemberitahuan dimulainya penyidikan.
DIREKTORAT Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri melakukan gelar perkara atas laporan penggelapan dan tindak pidana pencucian uang dengan terlapor Gunawan Jusuf pada akhir 2016. Brigadir Jenderal Rudy Heriyanto Adi Nugroho yang memimpin gelar perkara ini. Hadir dalam kesempatan itu Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Komisaris Besar Daniel Tahi Monang, penyidik, dan pengacara Toh Keng Siong, sang pelapor.
Seseorang yang hadir dalam gelar perkara itu mengatakan penyidik polisi membahas semua dokumen dan keterangan saksi-saksi, di antaranya dua ahli hukum pidana. Ia mengatakan gelar perkara itu membahas celah yang bisa merontokkan perkara tersebut ke penyidikan. Tiga di antaranya kedaluwarsa, nebis in idem, dan bukan tindak pidana. ”Hal tersebut dibahas karena kasus Gunawan dengan pelapor yang sama pernah diusut polisi dan kemudian dihentikan,” ujarnya.
Toh Keng Siong memang sudah dua kali melaporkan Gunawan Jusuf ke Bareskrim, yaitu pada 20 April 2004 dan 22 Agustus 2016. Warga Singapura itu menuduh Gunawan melakukan dugaan penggelapan dan penipuan dana investasi. Dua bulan kemudian, polisi menghentikan penyidikan kasus ini, lalu Toh mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan Toh dikabulkan, tapi Mahkamah Agung membatalkannya.
Laporan kedua tentang dugaan penggelapan dan tindak pidana pencucian uang oleh Gunawan. Toh melaporkan Gunawan karena tak bisa menarik uang deposito berjangka milik dia dan perusahaannya, Aperchance Company Limited, di PT Makindo, milik Gunawan.
Melalui perusahaannya yang berbasis di Hong Kong itu, sepanjang 1999-2002 Toh mentransfer US$ 126 juta (sekitar Rp 1,13 triliun) ke rekening Makindo. Transfer itu dilakukan melalui Merrill Lynch International Singapura, HSBC Singapura, dan BNP Paribas Cabang Hong Kong ke rekening Makindo di Bank Credit Suisse Singapura, United Overseas Bank AG Singapura, dan HSBC Singapura. Dana itu ditransfer dalam berbagai mata uang.
Setiap uang kiriman Toh diterima, Makindo mengirimkan surat konfirmasi yang diteken Claudine Jusuf, Direktur Makindo yang juga istri Gunawan saat itu. Pada 9 Mei 2001, Claudine juga meneken surat untuk Aperchance, yang menyatakan bahwa Makindo akan memenuhi kewajibannya membayar kembali uang itu setelah jatuh tempo kapan pun diminta.
Toh mulai curiga saat Makindo, melalui PT Garuda Panca Artha, membeli PT Gula Putih Mataram, PT Sweet Indo Lampung, PT Indo Lampung Perkasa, dan Indo Lampung Distillery pada 29 November 2001 melalui proses pelelangan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Nilai penjualan Sugar Group itu mirip-mirip jumlah uang yang Toh titipkan ke Makindo. ”Dari mana ia mendapat uang sebesar itu untuk membeli Sugar, padahal dia tidak meminjam dari bank?” ucap Toh di Jakarta, awal Desember lalu.
Pada November 2002, Toh menelepon Gunawan Jusuf dan mengatakan ingin menarik semua uangnya. Gunawan terkejut. Ia lantas terbang ke Singapura membawa istri, anak, beserta ibunya menghadap Toh. Gunawan mengaku tak bisa membayar uang itu dan meminta tidak ditagih dulu. Setelah dua kali pertemuan di Singapura dan Jakarta, keduanya sepakat utang itu akan dicicil US$ 5 juta setiap bulan. ”Tapi dia tidak pernah membayar,” ujar Toh.
Ihwal investasi ini, Claudine tidak membantahnya. ”Maaf sekali, Pak, saya lagi mencari pengacara saya untuk menghubungi Bapak,” kata Claudine, awal Desember lalu. Claudine menjelaskan lebih rinci soal ini dalam surat pernyataannya tertanggal 5 September 2008.
Dalam suratnya, perempuan kelahiran Vietnam pada 1957 ini membenarkan bahwa Toh telah berinvestasi di Makindo selama 1999-2002 dalam beberapa jenis mata uang, yaitu US$ 42 juta, Sin$ 50 juta, Sin$ 22,7 juta, NZ$ 26,5 juta, Aus$ 1,18 juta, dan 3,26 juta euro. ”Seluruh uang tersebut di atas telah diterima dengan baik oleh PT Makindo dalam rekening (offshore) PT Makindo,” ujar Claudine.
Gunawan Jusuf tak bisa dimintai konfirmasi mengenai hal ini. Surat konfirmasi Tempo yang dialamatkan ke rumah dan pengacaranya, Marx Andryan, sama sekali tidak dibalas.
Berdasarkan laporan kedua Toh itu, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus melakukan gelar perkara pada 2016. Hasil dari gelar perkara ini, kata seorang peserta, penyidik berkesimpulan cukup bukti untuk meneruskan kasus tersebut ke penyidikan dan menetapkan Gunawan Jusuf sebagai tersangka. ”Waktu itu disepakati jika laporan Toh itu adalah perbuatan pidana, tidak nebis in idem, dan belum kedaluwarsa,” ucapnya.
Komisaris Besar Daniel Tahi Monang, yang dimintai konfirmasi, tidak membantah informasi ini. Ia mengaku sudah memberikan jawabannya kepada Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo. ”Saya sudah kasih jawabannya ke Pak Karo Penmas (Kepala Biro Penerangan Masyarakat),” katanya.
Dedi mengatakan Bareskrim memang beberapa kali melakukan gelar perkara soal kasus itu. ”Gelar perkara selalu dilaksanakan, termasuk meminta keterangan dari ahli hukum tentang pendapat hukum yang dipedomani dan dilaksanakan dalam penyidikan,” ujarnya.
Sesuai dengan dokumen pemeriksaan yang diperoleh Tempo, penyidik sempat memeriksa dua ahli hukum, yakni guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Edward Omar Sharif Hiariej, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Somawijaya. Dalam dokumen itu, Edward menjelaskan bahwa perbuatan Gunawan Jusuf termasuk kualifikasi pidana, tidak nebis in idem, dan belum kedaluwarsa. ”Tegasnya, perkara yang dilaporkan Toh Keng Siong pada 22 Agustus 2016 bukan termasuk kriteria kedaluwarsa,” ucap Edward dalam dokumen itu.
Edward membenarkan keterangannya kepada penyidik tersebut. Ia pun mengakui pernah mengikuti gelar perkara di Badan Reserse Kriminal membahas perkara Gunawan Jusuf. ”Semuanya benar, Mas. Kasus itu yang aneh adalah jika ada petunjuk Kejaksaan Agung yang menyatakan sudah kedaluwarsa dan nebis in idem,” katanya.
Keterangan kedua ahli pidana ini menjadi pijakan penyidik untuk menetapkan Gunawan Jusuf sebagai tersangka. Keterangan mereka menguatkan bahwa Gunawan bersalah. Polisi tak pernah terbuka menyatakan Gunawan sudah ditetapkan sebagai tersangka. Tapi penetapan tersangka ini disebutkan dalam SPDP Bareskrim ke Kejaksaan pada 21 Desember 2016.
Belakangan, justru Bareskrim mengumumkan bahwa penyidik telah menghentikan penyidikan perkara Gunawan Jusuf alias SP3. Menanggapi keputusan ini, Denny Kailimang, pengacara Toh Keng Siong, mengatakan kliennya mempertimbangkan mengajukan permohonan praperadilan. ”Sedang kami pertimbangkan,” ujarnya.
Tersangka Setengah Hati
SETELAH menetapkan bos Sugar Group, Gunawan Jusuf, sebagai tersangka, kepolisian tak kunjung mengirimkan berkas perkaranya ke Kejaksaan Agung. Belakangan, mereka justru menghentikan penanganan perkara itu.
2016
22 Agustus
Toh Keng Siong melaporkan Gunawan Jusuf ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.
1 September
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus menerbitkan surat perintah penyidikan nomor SP.Sidik/547/IX/2016/Dit Tipideksus.
21 Desember
Bareskrim mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Agung, yang isinya menyampaikan bahwa Gunawan Jusuf menjadi tersangka dugaan tindak pidana pencucian uang dengan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Pasal 3 dan 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Pasal 3, 4, 5, dan 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang jo Pasal 55 ayat 1 KUHP dan/atau Pasal 36 KUHP.
2017
13 Februari
Jaksa Pidana Umum Kejaksaan Agung menerima SPDP itu.
28 Juni
Kejaksaan menunjuk jaksa peneliti (P16).
13 Juli
Kejaksaan meminta perkembangan hasil penyidikan ke Bareskrim (P17).
2018
29 Juni
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus kembali menerbitkan surat perintah penyidikan nomor SP.Sidik/299/VI/RES.2.3/2018/Dit Tipideksus.
21 November
Kejaksaan Agung mengembalikan SPDP ke Bareskrim karena sudah 494 hari mereka tak kunjung menerima berkas perkara Gunawan Jusuf.
14 Desember
Bareskrim menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara Gunawan Jusuf.
SUMBER: KEJAKSAAN AGUNG, KEPOLISIAN RI, BERBAGAI SUMBER
RUSMAN PARAQBUEQ
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo