Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski telah berdamai dengan para kreditornya, PT Internux akhirnya tidak bisa mengelak dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Jumat pekan lalu, pemerintah akhirnya mencabut izin frekuensi Internux, yang selama ini menyediakan layanan Bolt, jaringan Internet berbasis broadband wireless access di frekuensi 2,3 GHz.
”Internux harus mematikan core radio network operation center agar tidak dapat lagi melayani pelanggannya,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi Ismail di kantornya di Jakarta.
Beberapa jam sebelum pengumuman itu, Ismail memanggil Direktur Utama Internux Dicky Mochtar. Menurut pelaksana tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi, Ferdinandus Setu, pertemuan keduanya berlangsung singkat. Ismail hanya menyerahkan surat keputusan pencabutan izin frekuensi yang diteken Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. ”Pak Dicky langsung cabut setelah itu,” ujar Ferdinandus. Ismail membenarkan kedatangan Dicky, tapi menolak berkomentar.
Pencabutan izin frekuensi Bolt adalah keputusan yang tertunda. Pemerintah semestinya sudah bisa mencabut izin Bolt pada 19 November 2018, ketika tunggakan biaya hak penggunaan frekuensi periode 2016-2018 Internux genap dua tahun. Tunggakan dan dendanya Rp 463 miliar. Namun, sebelum sempat palu diketukkan, PT First Media Tbk (KBLV), induk Internux, malah menggugat Kementerian dalam kasus yang sama.
Bolt menggunakan frekuensi yang dikantongi First Media di Sumatera bagian utara serta area Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi dan Banten. Tunggakan biaya penggunaan frekuensi radio First Media selama dua tahun Rp 364,8 miliar. Bolt juga menggunakan frekuensi Internux untuk wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi dan Banten.
Belakangan, Internux dan First Media mengajukan proposal damai. Isinya: meminta keringanan pembayaran tunggakan selama dua tahun hingga 2020. ”Proposal itu sudah kami konsultasikan ke Kementerian Keuangan,” kata Ismail. Kementerian Keuangan menolak. ”Mereka tidak menemukan regulasi yang memadai untuk merespons permohonan keringanan.” Penolakan Kementerian Keuangan itulah yang membuat Kementerian Komunikasi -mencabut izin frekuensi First Media dan Internux.
Kabar dicabutnya izin frekuensi Bolt membawa angin segar bagi para kreditor. Sebab, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah mengesahkan homologasi antara kreditor dan Internux pada 14 November lalu. Pengesahan ditempuh setelah, dalam sejumlah pertemuan, kreditor yang memiliki tagihan lebih besar menyetujui proposal damai Internux melalui pemungutan suara.
Selusin kreditor konkuren—yang tidak memegang jaminan—sempat menolak proposal perdamaian, tapi kalah dalam pemungutan suara. Ketika majelis mengesahkan homologasi, sebagian di antara mereka langsung mengajukan permohonan kasasi. Salah satunya PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel), anak usaha PT Telkom Tbk (TLKM) yang bergerak di bisnis tower. ”Kami mengajukan permohonan kasasi tak lama setelah keputusan homologasi,” ujar Manager Legal Mitratel, Bramantyo Adi Pratama, Jumat pekan lalu.
Pencabutan izin frekuensi Bolt menjadi titik balik homologasi, terutama untuk mendukung rencana strategis Internux memulihkan diri. Sebab, menurut salinan dokumen homologasi, cucu usaha Grup Lippo itu akan berfokus mengakuisisi pelanggan Bolt Home dan mengurangi pelanggan mobile; merelokasi peralatan telekomunikasi ke lokasi tower dengan potensi pelanggan Bolt Home cukup besar; serta terus-menerus melakukan inisiatif efisiensi biaya.
Perkara penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang berujung homologasi itu sudah runyam sejak awal. Perkara bermula ketika dua kreditor Internux, PT Equasel Selaras dan PT Intiusaha Solusindo, mengajukan PKPU pada 20 Agustus 2018. Pengadilan menyebutkan Equasel dan Intiusaha adalah kreditor independen alias tidak terafiliasi dengan Internux. Belakangan, dua perusahaan itu ditengarai berafiliasi dengan Grup Lippo.
Salinan akta perusahaan yang diperoleh Tempo menunjukkan dua perusahaan itu sempat berganti kepemilikan. Sebelum 4 Desember 2017, ultimate shareholder Equasel adalah Laurensia Adi (99,99 persen), Direktur Administrasi dan Hukum Yayasan Pendidikan Pelita Harapan—yayasan yang didirikan James Riady, Vice Chairman Lippo. Namun, setelah 4 Desember 2017, ultimate shareholder perusahaan beralih ke Radeya Sanggasati (95 persen) dan Rahmat Yanuarsyah (5 persen).
Skema serupa terjadi di Intiusaha. Sebelum 29 Desember 2017, ultimate share-holder perusahaan adalah Mas Agoes Ismail Ning (94,24 persen), Komisaris Internux. Namun, setelah 29 Desember 2017, kepemilikan saham beralih ke Radeya Sanggasati (95 persen) dan Rahmat Yanuarsyah (5 persen). Keluarga Dalimartha, yaitu Felix, Georgy, dan Andrew, masing-masing menjabat direktur utama dan direktur di -Equasel dan Intiusaha. Felix dan Georgy adalah kuasa hukum Lippo dalam sejumlah perkara.
Dua perusahaan tersebut juga tiba-tiba menjadi kreditor Internux. Semula Internux memiliki utang usaha sebanyak Rp 5,01 miliar kepada PT Cursor Media, perusahaan yang membantunya mengiklankan Bolt 4G ke stasiun televisi nasional sepanjang Mei-Agustus 2017. Sejak September 2017, Internux gagal membayar utang itu. Pada 27 Juli 2018, Equasel membeli utang itu dari Cursor.
Internux juga berutang Rp 932 juta kepada PT Nusapro Telemedia Persada (Nusapro) untuk perawatan peralatan Bolt di Terminal 2 Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta, sejak Maret 2014. Nusapro berusaha menagih utang sejak September 2017 hingga Juli 2018. Intiusaha kemudian datang membeli utang tersebut pada 30 Juli 2018.
Perusahaan lain, PT Agung Mutiara Utama, juga membeli utang Internux dari PT Dentsu Indonesia pada 25 Juli 2018. Semua utang itu—yang jumlah suaranya dalam pemungutan suara PKPU mencapai 426—dibeli dalam rentang sepekan. Dua pekan berselang, induk Internux, First Media, mengambil alih utang Internux dari CIMB Niaga sebesar Rp 510 miliar, yang membuat piutang First Media kepada Internux membengkak.
Advokat sekaligus pengurus dan kurator utang, Nugraha Budi, mengatakan perusahaan memang bisa melakukan apa pun secara legal untuk mempertahankan agar tidak dipailitkan dalam PKPU. Termasuk membeli utang untuk memastikan perusahaan menang voting dalam PKPU.
Walhasil, sidang PKPU yang berlangsung sejak Agustus hingga November lalu berjalan timpang. Sebanyak 449.789 suara mayoritas dipegang kreditor yang memiliki afiliasi dengan Lippo. Dengan piutang Rp 1,440 triliun, PT Prima Wira Utama (anak usaha First Media) memiliki 144.051 suara. First Media, yang punya piutang Rp 925 miliar, memiliki 92.532 suara dan 70.000 suara dari piutang separatis Rp 70 miliar. Adapun PT Link Net Tbk (anak usaha First Media) memiliki 37.974 hak suara karena mempunyai piutang Rp 379 miliar. Kondisi itu membuat proposal perdamaian Internux mulus.
Dalam proposalnya, Internux menawarkan penyelesaian utang menggunakan skema cash waterfall, yaitu sisa kas operasional di luar utang baru dan penerbitan saham baru akan dimasukkan ke rekening perseroan untuk melunasi utang-utangnya. Namun pembayaran utang usaha, penyedia tower, dan pembiayaan berada di urutan kedelapan sampai kesepuluh, setelah cadangan biaya modal dan pembayaran utang baru. Itu pun bisa dicicil hingga 30 tahun. Klausul ini yang bikin kreditor nonafiliasi berteriak.
Raiffeisen Bank International (RBI), yang berbasis di Wina, Austria, bernasib lebih mujur. Dengan memiliki piutang US$ 46,31 juta, mereka awalnya ikut PKPU. Namun Raiffeisen memilih keluar dan mengejar utang Internux dengan jalan mengeksekusi jaminan.
Menurut Stefanus Haryanto, kuasa hukum RBI, kliennya menarik diri bukan karena tahu ada afiliasi antara penggugat PKPU dan tergugat. Ia mengatakan RBI keluar karena dinyatakan sebagai kreditor separatis yang tidak punya suara.
Pengurus PKPU, kata Stefanus, menggugurkan suara Raiffeisen karena sudah melayangkan eksekusi jaminan kepada pengadilan negeri tempat aset jaminan berada. Hak suara RBI, menurut dia, bisa pulih bila menyatakan mencabut eksekusi tersebut. RBI kemudian membuat pernyataan akan mencabut eksekusi. ”Tapi tagihan kami yang diakui separatis hanya yang fidusia, sementara tagihan yang besar dianggap konkuren dan tanpa hak suara,” ujar Stefanus.
Tagihan utama RBI mencapai US$ 46,31 juta atau sekitar Rp 631 miliar, sementara fidusianya Rp 48 miliar. Masalahnya, bila semua tagihan itu diakui hak suaranya, RBI bisa mempengaruhi hasil voting. ”Kalau tak punya hak suara, ya, enggak ada gunanya.” RBI pun berfokus mengejar aset-aset Lippo senilai Rp 1,040 triliun yang dijaminkan dalam utang Internux.
Tempo berusaha meminta klarifikasi baik dari Lippo, First Media, maupun Internux. Surat permohonan wawancara sudah dikirimkan ke kantor First Media di Beritasatu Plaza, Jakarta. Surat ditujukan untuk Harianda Noerlan, Direktur Utama First Media.
Surat serupa dikirimkan ke kantor Internux untuk Dicky Mochtar. Namun Retno, pegawai Internux, mengatakan Dicky sudah mengundurkan diri. Dia menyarankan Tempo menghubungi Dumma Grace, pejabat humas perusahaan tersebut. Sepanjang Kamis dan Jumat pekan lalu, nomor Grace tidak bisa dihubungi. Tempo berusaha menghubungi Dicky, tapi tidak ada respons. Surat wawancara yang sempat ditolak Retno dikirimkan ulang ke nomor seluler Dicky. Namun, hingga Jumat malam pekan lalu, semuanya belum merespons.
Pada Jumat pekan lalu, Internux hanya menerbitkan siaran pers yang merespons pencabutan izin frekuensi mereka. Dicky, dalam siaran tersebut, menyatakan Bolt akan memenuhi kewajibannya kepada pelanggan, baik prabayar maupun pascabayar. Berdasarkan pantauan Kementerian Komunikasi dan Informatika, masih ada 5.056 pelanggan aktif Bolt yang nilai kuota datanya lebih dari Rp 100 ribu per 25 Desember lalu.
KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo