Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Dari Tante Girang sampai Jin Tomang

Sutradara perintis sinetron, Ali Shahab, 77 tahun, pergi meninggalkan puluhan naskah skenario yang belum tergarap.

28 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ali Shahab di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Juni 2004. Dok. TEMPO/Hendra Suhara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI rumah bercat putih dan berdinding setengah gedek-setengah batu itu, persis di depan makam keramat Habib Ali al-Habsyi, Kwitang, seorang paman menghibur kemenakan-kemenakannya yang belum lagi mema-suki usia remaja. Dia bercerita tentang jin besar yang sekonyong-konyong masuk kota: tingginya menjulang mencapai puncak Monumen Nasional, mengenakan sepatu bernomor empat ribu. ”Segede bis kota,” sang paman melukiskan sepatu jin itu di antara tawa para kemenakan.

Rumah di seberang makam keramat itu telah berganti rupa menjadi rumah batu yang kokoh, sedangkan paman yang lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, tersebut sudah dikenal sebagai sutradara beken pada 1990-an. Dia Ali Shahab, sineas yang tinggal di tengah Kampung Kwitang, dan kali ini mengguyur para pemirsa televisi dengan humor Betawinya yang lain. Ya, serial Pepesan Kosong yang ditayangkan di stasiun televisi TPI menyodorkan dua tokoh dari dunia lenong: Malih dan Bolot.

Sama seperti ketika ”memaksa” jin yang semampai masuk ke dunia kontemporer dengan memakai sepatu berukuran raksasa, dalam Pepesan Kosong Ali Shahab ”memaksa” kedua aktor tradisional itu menunjukkan bahwa miskomunikasi berlangsung dari hari ke hari, dari menit ke menit. Ali telah menemukan formula jitu yang membuat orang terkakak dahsyat kala mendengar kata-kata dari mulut seseorang yang tak bisa mendengar tapi sama sekali tak merasa dirinya tuli itu. Dialog tak bermakna Malih-Bolot terus berlanjut, baik dalam Pepesan Kosong maupun kehidupan keseharian masyarakat kota yang makin individualistis ini.

Tentu saja, humor hanya bagian dari perjalanan Ali Shahab yang meliputi bidang seni rupa, entertainment, kewartawanan, cerita Betawi, atau film, yang satu per satu digelutinya sejak 1960-an. Istilah ”Tante Girang”, ”Jin Tomang”, kemudian ”Pepesan Kosong” yang telah menjadi terminologi masyarakat kota sudah cukup untuk memperlihatkan dirinya sebagai seorang karikaturis, novelis, dan sineas yang karya-karyanya dibaca-disaksikan orang banyak. Apalagi sinetron Rumah Masa Depan. Karya yang terilhami Little House on the Prairie pada pertengahan 1980-an ini menunjukkan satu kedekatan dan penguasaan Ali yang baik dalam ranah sinema elektronik, medium yang relatif baru ketika itu.

Ali Shahab yang visioner ini adalah perintis sinetron di Indonesia. Karena itulah ada sesuatu yang miris, yang getir, bahkan menyakitkan, tatkala dunia yang dibangunnya lantas diam-diam meninggalkannya. Regenerasi cepat terjadi, melahirkan para aktivis sinetron yang lebih muda dan kompromistis dengan selera pasar, rating televisi dan pemodal, dan perlahan orang mulai melupakannya. Namun Ali yang keras kepala dan telah menempa dirinya menjadi seniman lengkap itu seakan-akan menghadapi medan pertempuran baru.

Di kamar kerjanya, cicit Habib Ali Kwitang, Habib Ali al-Habsyi, ini bertarung melawan dunianya yang makin sempit dan usianya yang makin senja. Di depan sebuah komputer tua, dengan setumpuk buku yang biasa menemani sekaligus menjadi rujukannya, dia menghasilkan puluhan naskah skrip sinetron baru. Ali Shahab memang biasa menenggelamkan diri di antara buku-buku, sebelum mulai menulis skenario. Boleh jadi sinetron terakhirnya, Prahara Batavia (2001), yang berkisah tentang perlawanan putra Betawi melawan penjajah, merupakan satu contoh yang tepat buat mewakili kengotot-annya merenungi buku-buku itu.

Ali Shahab tak pernah berhenti menulis, kendati dalam beberapa tahun terakhir dia banyak mencurahkan waktunya sebagai pengurus masjid di samping makam keramat di depan rumahnya. Boleh jadi dia sudah berdamai dengan lingkungan yang telah menampiknya. Petang itu, Selasa pekan lalu, pukul 15.00, penyakit asma yang setia menemaninya menyerang lebih cepat, dan ajal mengakhiri 77 tahun perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan.

Ali Shahab pergi meninggalkan seorang istri, seorang putri, dan puluhan naskah skenario yang belum tergarap.

Idrus F. Shahab, Wartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus