Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lokasi kematian sang mullah kini sepi. Kamis pekan lalu, Toyota Corolla putih yang telah mengantar Mullah Akhtar Mansour dan seorang asistennya pulang dari lawatannya ke Iran, tak lebih dari sebuah rongsokan besi hitam, teronggok di tepi jalan beraspal di luar Kota Ahmad Wal, Provinsi Baluchistan, Pakistan. Sedangkan sisa-sisa tubuh gosong mullah yang senantiasa menampik perdamaian dengan Amerika Serikat dan pemerintah di Kabul itu telah dikebumikan di sebuah permakaman di Quetta, kota di Pakistan yang berbatasan dengan Afganistan.
Pusat perhatian beralih ke seorang ulama dengan janggut dan kumis yang mulai memutih, tapi tidak menjanjikan Afganistan yang lebih damai. "Haibatullah Akhundzada telah ditunjuk sebagai pemimpin baru dari Emirat Islam (Taliban) melalui keputusan bulat di dewan syura (dewan tertinggi), dan semua anggota syura mengucapkan janji setia kepadanya," demikian pernyataan resmi Taliban, Rabu pekan lalu. Mawlawi Haibatullah Akhundzada adalah ulama Taliban yang pernah menjabat ketua dewan syariat selama 15 tahun dan hakim senior di mahkamah militer di masa Taliban berkuasa (1996-2001).
Akhundzada, 55 tahun, tidak seterkenal para pendahulunya. Ia tidak banyak bepergian; ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Afganistan dan di Quetta, Pakistan. Namun penting dicatat bahwa ia tidak mengenakan gelar mullah di depan namanya karena ia seorang mawlawi-status yang lebih tinggi daripada mullah. Dengan kata lain, ia lebih merupakan seorang pemimpin agama ketimbang militer.
Apa boleh buat, pemerintah Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang mengartikan kematian Mullah Akhar Mansour sebagai "pencapaian penting untuk menyingkirkan pemimpin yang mengganjal perdamaian", dan mengharapkan suksesi puncak bakal serta-merta melemahkan gerakan itu, mungkin akan kecewa.
Posisi Akhundzada sebagai deputi senior dalam kepemimpinan Mullah Akhtar Mansour, penguasaannya akan syariat atau hukum agama, dan kedekatan pribadinya dengan Mullah Omar-pemimpin Taliban sebelum Mullah Mansour-membuatnya dipandang sebagai pemimpin yang disegani sekaligus penentu konsolidasi Taliban. Sementara terpilihnya Mullah Akhtar yang memiliki karier militer solid itu ternyata menimbulkan riak-riak perpecahan, kepemimpinan Akhundzada justru diharapkan sanggup menyatukan kembali faksi-faksi yang hendak bercerai.
"Pilihan yang pintar karena dia seorang ulama dan berasal dari generasi para pendiri gerakan itu dulu," kata Thomas Rattig dari Afghanistan Analysts Network. "Orang-orang Taliban mengerti bahwa Amerika Serikat menghendaki kekacauan dalam penggantian kepemimpinan ini."
Seiring dengan perkembangan zaman, gerakan yang didirikan Mullah Omar dan kawan-kawan pada September 1994 ini memang berevolusi dengan cepat. Sementara Mullah Mansour harus merahasiakan kematian Mullah Omar hingga dua tahun, menghadapi gempuran pesawat tak berawak Amerika pada Sabtu dua pekan lalu, Taliban hanya perlu dua hari untuk mengkonfirmasi kematian Mullah Akhtar Mansour.
Sejak 2014, konflik berdarah antara pemerintah di Kabul dan Taliban kedatangan penumpang gelap. Seperti yang terjadi di Irak dan Suriah, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) terbukti pintar menyusup, mengambil setiap keuntungan dari keadaan negara yang tengah porak-poranda oleh perang saudara. Di Afganistan, kesempatan itu terbuka lebar ketika pemimpin Taliban terdahulu, Mullah Omar, meninggal pada Juli dua tahun lalu dan Mullah Akhtar Mansour kemudian mengisi posisi yang ditinggalkannya. Orang-orang Taliban lama yang menentangnya mencium adanya tangan Pakistan di balik pengangkatan sang Mullah.
Menyodorkan diri sebagai alternatif terhadap Mullah Mansour yang tak populer, ISIS datang dengan hukum syariah di tangan kanan dan uang tunai di tangan kiri. Akibatnya, bukan hanya sejumlah personel Taliban yang terpikat, kelompok jihad dari Uzbekistan, Gerakan Islam Uzbekistan (IMU), pun ikut mengumumkan baiat kepada khalifah Abu Bakar al-Baghdadi. ISIS mengangkat eks anggota Taliban, Hafiz Saeed Khan, sebagai Gubernur Provinsi Khorasan-meliputi Pakistan, Afganistan, dan beberapa daerah lain di Asia Tengah.
Pertikaian ISIS melawan Taliban paling seru berlangsung di kantong kekuatan ISIS terbesar di Provinsi Nangarhar, yang berbatasan dengan Pakistan. Pertempuran terjadi berdarah-darah antara Taliban yang sudah menyeberang ke kubu ISIS dan bekas kawan seperjuangannya di Taliban dulu. "Ini tak bersangkut-paut dengan alasan ideologi melainkan perebutan kontrol terhadap jalur perdagangan barang selundupan, pencucian uang, dan-ini yang paling penting-jalur heroin melalui Ibu Kota Jalalabad ke Peshawar dan seterusnya ke negara-negara Eropa Barat," tulis Ahmed Rashid, pengarang buku tentang negara-negara Asia Selatan.
Diakui atau tidak, sebenarnya tak mudah mencari perbedaan ideologi di antara dua kelompok radikal yang saling bunuh ini. Sementara pada Oktober tahun lalu ISIS merusak situs-situs bersejarah di Palmyra, Suriah, dengan alasan memberantas berhala, pada awal 2001 Taliban melakukan hal yang sama dan dengan alasan yang sama terhadap patung Buddha raksasa di Bamyan. Sama-sama ahistoris, dua kelompok yang bersaing ini juga selalu menegakkan syariah di daerah-daerah yang ditaklukkannya.
Satu-satunya perbedaan tajam di antara keduanya dapat terlihat pada cara mereka memperjuangkan tujuan. ISIS yang berorientasi global tentu merupakan anak kandung zamannya, yang sangat sadar akan pentingnya teknologi dan publikasi digital. Lihatlah bagaimana mereka merekam pemenggalan tawanan perang layaknya Hollywood mempertontonkan adegan kekerasan dalam film-filmnya. Simak pula bagaimana kelompok ini merekrut kaum muda melalui propaganda yang efektif lewat media sosial. Sedangkan Taliban tak pernah bermimpi melakukan perang global dalam melawan musuh-musuhnya, apalagi mendirikan kekhalifahan. Tujuannya sangat sederhana: angkat kakinya seluruh kekuatan asing dari bumi Afganistan.
Kini pasukan ISIS tersebar di tujuh provinsi Afganistan, terutama di Provinsi Kunar. Di Afganistan, mereka bertekad membangun sebuah kekhalifahan baru yang bersahabat dengan kekhalifahan Al-Baghdadi dan berpusat di Khorasan-satu wilayah yang sangat luas dan memiliki arti penting dalam sejarah penyebaran Islam. Menurut keterangan pemerintah di Kabul, kelompok ISIS memiliki seribu tentara.
Pada Juni tahun lalu, pemimpin Taliban, Mullah Mansour, menulis sepucuk surat yang keras kepada para pimpinan ISIS di Bagdad. Ia menyuruh mereka berhenti mencampuri urusan Afganistan. "Jihad terhadap Amerika beserta budak-budaknya harus di bawah satu bendera, satu kepemimpinan, dan satu komando," ia menegaskan sambil mulai menyusun satu operasi penting-Operasi Omari-pada musim semi ini.
Perebutan kepemimpinan di antara dua kelompok radikal itu muncul ke permukaan tatkala Taliban menepati janjinya melancarkan serangan itu. Pada April lalu, puluhan orang tewas akibat serangan bom bunuh diri di pusat Kota Kabul, di dekat Departemen Pertahanan. Seorang juru bicara Taliban mengatakan mereka bertanggung jawab atas serangan yang terjadi seminggu setelah Taliban memperingatkan akan melancarkan "serangan skala besar" dalam serangkaian "ofensif musim semi" mereka.
Kini Taliban, yang menghadapi ISIS, Amerika Serikat, dan pemerintah Kabul sekaligus, bergerak di bawah komando seorang ulama yang telah berikrar menolak negosiasi dan akan "melanjutkan teror sampai semua pasukan asing angkat kaki dari Afganistan". Akhundzada mengangkat Mullah Mohammad Yaqoob, putra Mullah Omar, menjadi wakil kepala pergerakan Taliban, bersama Sirajuddin Haqqani. Haqqani adalah pemimpin Jaringan Haqqani yang dituding bertanggung jawab atas beberapa serangan mengerikan terhadap kepentingan Amerika dan Barat di ibu kota, Kabul. Tentu saja ini akan memperpanjang jalan untuk mencapai Afganistan yang lebih damai.
Idrus F. Shahab (BBC, CNN, Foreign Policy, Huffington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo