Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juan Gonzalez tak lagi bisa menikmati lezatnya daging sapi. Warga Kota Karakas, Venezuela, ini terbiasa pergi ke toko daging dan membeli bistik berkualitas. Sedangkan paru sapi, yang dikenal sebagai bofe, dibelinya untuk makanan anjingnya. "Tapi sekarang bofe menjadi makanan saya. Itu pun kalau masih tersedia," katanya di sela antrean di pinggir jalan di pusat Kota Karakas, Selasa pekan lalu.
Dalam beberapa pekan terakhir, González, 55 tahun, harus antre di toko-toko kelontong untuk mendapat bahan makanan sehari-hari. Bahkan, di Ibu Kota Karakas, urusan berbelanja tidak lagi semudah dulu. Toko bahan makanan atau bodega kerap kehabisan stok bahan kebutuhan pokok. Susu, daging, dan kacang sulit didapat. Kalaupun ada, harga sumber utama protein bagi warga Venezuela itu selangit.
Jangankan protein, untuk asupan karbohidrat saja warga juga kesulitan. Toko kelontong, pasar, hingga supermarket tidak selalu menjual pasta, beras, roti, bahkan kue jagung tradisional Venezuela, arepa. Kebutuhan dasar lain, seperti obat dan kertas toilet, tak kalah langka. "Banyak bahan makanan pokok yang hilang," kata David Smilde, peneliti senior dari organisasi hak asasi manusia, Washington Office on Latin America (WOLA).
Kelangkaan bahan pangan yang berkepanjangan membuat warga miskin dan menengah Venezuela mengubah diet. "Apa pun yang dapat mereka temukan, meski belum tentu sehat," begitu menurut The Guardian. Seperti halnya González, seorang petugas reparasi elevator tak lagi dapat mengicip "kemewahan" bistik sapi.
Di kota-kota Venezuela, antrean yang mengular di pusat-pusat belanja menjadi pemandangan biasa. Sejak awal 2015, krisis ekonomi terus menggerogoti Venezuela. Di Amerika Latin, salah satu raksasa pengekspor minyak ini paling parah terempas krisis. Inflasi diperkirakan mencapai 400 persen tahun ini. "Perusahaan listrik sudah gagal menjaga lampu tetap menyala di banyak negara bagian," demikian menurut Forbes.
Bagi 30 juta warga Venezuela, yang 80 persennya tinggal di perkotaan, menjaga perut tetap kenyang bukan perkara mudah. Harga makanan meroket setidaknya lima kali lipat. Selain merogoh kocek lebih dalam, warga harus rela berdiri 5-10 jam untuk antre di bawah terik matahari. Itu pun tak ada jaminan mereka bakal mendapat barang belanjaan.
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), Venezuela tidak hanya mencatatkan diri sebagai negeri dengan pertumbuhan ekonomi terburuk sejagat. Untuk urusan tingkat pengangguran, negara penganut Chavismo-sosialisme ala Hugo Chavez-ini bertengger di peringkat kesembilan dari bawah. "Tingkat pembunuhan di Venezuela terburuk kedua di dunia," demikian versi IMF. Adapun Karakas tercatat sebagai salah satu kota paling rawan kejahatan.
Di Carapita, salah satu kawasan miskin di Karakas, warga berbaris untuk membeli sayuran yang dipasok langsung dari Negara Bagian Trujillo. Untuk satu kilogram paket sayuran berisi kentang, tomat, bawang, bit, ubi bit merah, paprika merah, dan kubis, warga harus menebus dengan 355 bolivar (Rp 484 ribu-dengan kurs saat ini). Di pasar-pasar di pinggir jalan, mereka bahkan harus membayar sayuran itu 1.000 bolivar (sekitar Rp 1,3 juta).
Dengan duit 300 bolivar, warga hanya mendapatkan seporsi kecil minyak goreng, pasta, beras, tepung, dan gula. "Ini adalah cara kami berjuang menghadapi 'perang ekonomi'," kata Americo Jaramillo, juru bicara komunitas warga Carapita, merujuk pada istilah yang belakangan kerap didengungkan oleh Presiden Venezuela Nicolas Maduro.
Nicolas Maduro, 54 tahun, tengah menjadi sasaran tembak di negerinya sendiri. Presiden sosialis yang meneruskan kepemimpinan Hugo Chavez sejak 2013 ini dituding gagal membendung resesi. Perekonomian Venezuela, negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, remuk-redam akibat harga minyak yang terjun bebas sejak akhir tahun lalu.
Indeks pembangunan manusia di Venezuela, menurut data Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), sebenarnya berada di posisi ke-71, masuk kategori tinggi. Peringkat ini bahkan lebih baik daripada, misalnya, Indonesia, yang nangkring di nomor 110, dan tergolong kategori sedang. Namun, menurut laporan Forbes, "Nilai mata uang Venezuela merosot 99 persen selama empat setengah tahun terakhir."
Selain membuat frustrasi kelas menengah, krisis semakin mencekik rakyat miskin. Mereka kini tak segan turun ke jalan memprotes pemerintah. "Demonstrasi warga miskin terbilang baru. Sebelumnya, pengunjuk rasa adalah warga kelas menengah," kata David Smilde.
Di Karakas, Maduro menolak dianggap gagal. Ia balik menuding kelompok oposisi sayap kanan sebagai biang masalah di Venezuela. Menurut dia, lawan-lawan politik, dengan dukungan Amerika Serikat, sengaja melancarkan "perang ekonomi" untuk memicu krisis, mengacaukan negara, dan menjatuhkannya dari kekuasaan. "Mereka bermimpi memecah belah dan melemahkan militer kita," ujar pentolan dari Partai Sosialis Bersatu (PSUV) ini.
Militer kini memegang perana kunci dalam kisruh di Venezuela. Terlebih pemimpin oposisi, Henrique Capriles, mengkritik keras Maduro dan militer. Mantan kandidat presiden ini mengatakan Maduro telah melanggar konstitusi dengan mengeluarkan dekrit darurat. "Kepada angkatan bersenjata, kebenaran akan tiba. Anda harus memutuskan apakah membela konstitusi atau Maduro," kata Capriles, seperti diberitakan BBC.
Pada Jumat, 13 Mei lalu, Maduro memperpanjang dekrit darurat selama 60 hari. Dekrit yang ditetapkan sejak Januari lalu itu memberi Maduro kekuasaan khusus untuk menangani masalah produksi dan distribusi pangan. Ia juga berwenang menggerakkan polisi dan tentara untuk membubarkan unjuk rasa serta menghadapi ancaman militer asing.
Oposisi pun melancarkan manuver lain. Koalisi partai oposisi, Democratic Unity Roundtable (MUD), yang menguasai parlemen setelah berhasil menang dalam pemilihan legislatif pada Desember 2015, mendorong referendum untuk menggulingkan Maduro. "Kami ingin jalan keluar yang sesuai dengan suara rakyat, bukan hasil dari tumpah darah rakyat," kata Sekretaris Jenderal MUD Jesus Torrealba.
Pada Rabu pekan lalu, sekitar 500 demonstran anti-Maduro berunjuk rasa di dekat kantor pengadilan di Karakas timur. Mereka melambaikan bendera merah-kuning-biru Venezuela, membentangkan spanduk, dan mengecam pemerintah atas terjadinya resesi di negara itu.
Skala protes ini terbilang kecil, terlebih bila melihat hasil sigi terbaru yang menyebutkan 7 dari 10 warga Venezuela menginginkan Maduro lengser pada akhir tahun ini. "Banyak rakyat Venezuela tidak bisa ikut demo karena sebagian besar sedang antre makanan dan obat-obatan," kata Capriles, yang memimpin unjuk rasa, berdalih.
Namun, bagi oposisi, mendesak militer untuk berpaling dari Maduro bukan urusan mudah. Pakar sejarah Venezuela, Profesor Margarita López Maya, mengatakan militer telah mengambil peran yang kuat dalam pemerintahan Maduro. Menurut dia, sepertiga dari 28 menteri dan separuh dari gubernur negara bagian adalah perwira aktif atau pensiunan militer. "Militer telah membajak Maduro, dan Maduro membajak militer," ujar López.
Di Venezuela, upaya pemakzulan lewat referendum pernah menimpa Hugo Chavez. Saat itu, Agustus 2004, kubu oposisi menuding Chavez, pemimpin Revolusi Bolivarian yang berkuasa sejak 1999, menjerumuskan Venezuela ke jurang komunisme. Oposisi kala itu bisa memenuhi syarat pra-referendum dari Dewan Pemilihan Nasional. Namun, ketika tiba waktunya referendum, Chavez masih mendapat dukungan kuat dari rakyat.
Chavez mampu bertahan karena Chavismo berjalan mulus. Duit penjualan minyak mampu mendanai setiap program sosial yang digagasnya. Tokoh yang meninggal pada 5 Maret 2013 di usia 58 tahun ini disokong aliansi pemimpin sayap kiri di Amerika Latin, seperti Brasil dan Argentina. Selain itu, tulis The Guardian, "Chavez tertolong oleh karismanya yang kuat."
Berbeda dengan Maduro, yang oleh media Barat digambarkan sebagai pemimpin yang membosankan. Ia berbeda gaya dengan Chavez, yang selalu berapi-api mengobarkan perlawanan terhadap neokapitalisme dan Amerika Serikat. Maduro semakin terpukul akibat anjloknya harga minyak. "Minyak adalah penyebab krisis di Venezuela," kata Alejandro Velasco, pakar sejarah Venezuela dari New York University.
MUD kini di atas angin. Mereka terinspirasi kesuksesan oposisi sayap kanan Brasil dalam mendongkel Dilma Rousseff, presiden sosialis dari Partai Pekerja. MUD mengklaim telah mengantongi sembilan kali 200 ribu tanda tangan, syarat untuk memulai pra-referendum. Namun, menurut The Guardian, "Mereka harus mampu melewati Dewan Pemilihan dan Mahkamah Agung, yang didominasi Chavistas-para pendukung Chavez dan Chavismo."
Mahardika Satria Hadi (The Guardian, Forbes, BBC, Venezuela Analysis, Foreign Policy, France 24, Business Insider)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo