Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG kedatangan Presiden Joko Widodo ke Rusia, Rabu dua pekan lalu, kantor Kedutaan Besar Indonesia di negara itu mendadak kerap didatangi petinggi Rosoboronexport. Perusahaan Rusia yang menjadi agen penjualan peralatan pertahanan ini mengutus tujuh perwakilan menemui Duta Besar Indonesia Wahid Supriyadi untuk menyampaikan pesan penting.
Seorang pejabat pemerintah mengatakan para utusan itu mendesak Wahid memasukkan penandatanganan pembelian pesawat tempur Sukhoi 35 dalam salah satu agenda nota kesepahaman yang akan diteken di depan Presiden Jokowi dan Presiden Rusia Vladimir Putin. "Permintaan ini janggal karena sejak awal tidak pernah dibahas agenda tersebut," ujarnya.
Rupanya, desakan ini tak berbuah hasil. Meski kunjungan Jokowi itu membahas kerja sama di bidang pertahanan, pembelian pesawat tempur Sukhoi 35 tidak masuk butir-butir kesepakatan antara Indonesia dan Rusia. "Ada beberapa hal yang masih harus diselesaikan," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Wahid Supriyadi mengaku sering bertemu dengan delegasi Rosoboron menjelang kedatangan Presiden. Namun dia membantah ditekan menyelipkan agenda baru tentang penandatanganan pembelian Sukhoi 35. "Hanya bertemu biasa. Ya, namanya juga mereka penjual, berdagang," ujarnya Kamis pekan lalu. "Kalau mau mendekati kami, ya, normal saja."
Penundaan ini menimbulkan tanda tanya. Awal Mei lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menegaskan bahwa lawatan Presiden ke Rusia antara lain untuk menyaksikan kesepakatan pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-35 sebanyak delapan unit. Pesawat tempur generasi 4,5 itu dibanderol US$ 65 juta per unit. Dalam pertemuan bilateral dengan Putin, Jokowi sama sekali tak membahas rencana pembelian Sukhoi 35.
Ternyata negosiasi kontrak antara Indonesia dan Rosoboron sebagai pihak yang mewakili Rusia untuk penjualan Sukhoi masih jauh dari kata selesai. Penandatanganan di depan Presiden batal karena Indonesia dan Rusia belum sepaham mengenai pasal-pasal alih teknologi dan skema pembayaran. Indonesia ngotot bahwa alih teknologi dan imbal dagang harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Menurut pasal 43 undang-undang tersebut, Indonesia mewajibkan adanya imbal dagang-kandungan lokal dan/atau offset paling rendah 85 persen. Tapi Rusia masih enggan memberi ruang alih teknologi seperti yang diinginkan Indonesia. "Proses untuk sampai ke kontrak itu bukan hal yang mudah. Skemanya masih harus diperjuangkan di kedua belah pihak," kata Kepala Badan Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan Laksamana Muda Leonardi.
Dia memperkirakan jual-beli itu mungkin baru bisa diteken pada Oktober mendatang karena negosiasi untuk pasal-pasal di kontrak pembelian tidaklah mudah. Menurut Leonardi, Indonesia masih berjuang untuk mendapatkan transfer teknologi sesuai dengan yang dibutuhkan. "Tidak mudah, waktunya tidak bisa cepat," ujarnya.
Skema pembayaran juga menjadi salah satu hambatan dalam negosiasi Indonesia dan Rusia mengenai pembelian Sukhoi 35. Leonardi mengatakan, hingga saat ini, belum ada kata sepakat antara Bank Indonesia dan Vneshtorgbank (VTB) sebagai bank penjamin mengenai cara pembayaran. Menurut dia, masalah itu hanya masalah teknis yang akan segera diselesaikan.
Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Mahfudz Siddiq, mengatakan Rusia pelit soal alih teknologi karena minimnya volume pembelian pesawat tempur Sukhoi oleh Indonesia. Menurut dia, dari laporan yang diterima Komisi I, dengan jumlah pembelian yang hanya delapan unit, Rusia masih enggan memberikan teknologinya ataupun kompensasi soal imbal dagang atau offset. "Kalau beli satu skuadron, ceritanya mungkin lain. Tapi anggaran kita kan cukupnya hanya segitu," ujarnya.
Menurut Mahfudz, hal itu membuat negosiasi menjadi makin alot karena alasan ini digunakan Rusia untuk menyulitkan proses transfer teknologi. Sedangkan Indonesia berkukuh transfer teknologi harus sesuai dengan yang diamanatkan Undang-Undang Industri Pertahanan.
Dewan menilai seharusnya proses negosiasi cepat selesai sehingga kesepakatan bisa dilakukan. DPR mempertanyakan, mengapa proses negosiasi pasal untuk kontrak belum selesai padahal rencana pembelian Sukhoi sudah lama diputuskan. Sedangkan proses di level kementerian teknis, Kementerian Pertahanan, dan Angkatan Udara sudah selesai. "Ada yang belum selesai di tingkat teknis yang menghambat seluruh proses. Padahal seharusnya sudah selesai," kata Mahfudz.
Dia merujuk pada penunjukan mitra lokal sebagai negosiator dengan Rosoboron yang akan menindaklanjuti rencana pembelian Sukhoi. Setelah sepakat di tingkat kementerian, pemerintah biasanya menunjuk perusahaan rekanan, bisa badan usaha milik negara atau perusahaan swasta. Perusahaan itu nantinya bernegosiasi langsung dengan Rosoboron tentang kontrak bisnis. Kementerian Pertahanan yang akan menunjuk mitra lokal itu. Tapi DPR melihat pemerintah lambat menentukan mitra lokal yang justru harus menindaklanjuti rencana pembelian.
Seorang anggota Komisi Pertahanan DPR mengatakan pemilihan mitra lokal yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah inilah yang mengakibatkan alotnya negosiasi. Penunjukan mitra lokal menjadi semacam "persaingan" untuk mengamankan kepentingan sejumlah pihak.
Menurut dia, ada tiga perusahaan atau pengusaha yang berlomba menjadi mitra lokal dalam pembelian pesawat tempur Sukhoi 35, yaitu sebuah perusahaan yang terlibat dalam pembelian pesawat sejenis di era Presiden Megawati Soekarnoputri, seorang pengusaha asal Dubai, dan anak usaha grup konglomerat papan atas. Politikus itu mengatakan pengusaha asal Dubai memiliki kedekatan khusus dengan seorang menteri.
Sebaliknya, sebagai pengguna, TNI Angkatan Udara memilih perusahaan lama yang sudah berpengalaman soal pembelian Sukhoi. "TNI sebagai user mau yang pasti-pasti saja karena dianggap sudah berpengalaman," ujar politikus tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Angkatan Udara Marsekal Pertama Wieko Sofyan mengatakan negosiasi pembelian terus berlanjut. Menurut dia, saat ini Indonesia masih bernegosiasi mengenai kelengkapan pesawat dan kesepakatan cara pembayaran. Sebagai pengguna, TNI Angkatan Udara menyerahkannya kepada Kementerian Pertahanan.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna berharap negosiasi mengenai Sukhoi segera kelar. Menurut dia, Sukhoi merupakan opsi yang paling mungkin dipilih Indonesia berdasarkan anggaran dan kebutuhan. "Yang memenuhi spec-tech ya Sukhoi 35. Yang sebetulnya hampir sama dari Amerika Serikat itu kan F-35," ujarnya. "Jauh lebih mahal dan belum tentu dijual ke Indonesia."
Diversifikasi kekuatan, kata Agus, menjadi alasan pemilihan Sukhoi dibandingkan dengan pesawat tempur dari Amerika Serikat atau Swedia.
Ananda Teresia
Monster Langit dan Pesaingnya
Pemerintah Indonesia tahun ini berencana membeli sepuluh jet multifungsi Sukhoi Su-35 sebagai pengganti pesawat F-5 Tiger buatan Northrop-Grumman, Amerika Serikat, yang sudah uzur. Datang ke Indonesia pada April 1980 dengan usia terbang 35 tahun, F-15 Tiger dikandangkan Tentara Nasional Indonesia sejak pertengahan 2014. Kendati pabrik pesawat tempur negara lain gencar menawarkan produk andalannya, Kementerian Pertahanan dan TNI Angkatan Udara berkukuh membeli Sukhoi, yang harganya lebih mahal dan biaya perawatannya tinggi.
Sukhoi Su-35
Produsen: Sukhoi
Negara: Rusia
Julukan: Flanker-E atau Monster Langit
Model: Multiperan kelas berat
Pilot: 1?
Daya dorong: 17.600 kgf atau 204 kN hingga 29.000 kgf atau 284 kN
Kecepatan maksimum: Mach 2,25 (2,25 kali kecepatan suara)
Persenjataan: Senapan berdiameter peluru 30 milimeter, roket, misil, dan bom seberat 8 ton
Harga: Sekitar US$ 80 juta per unit
Biaya operasional: US$ 31 ribu per jam
Kelebihan:
- Kemampuan bermanuver tinggi
- Sistem avionik dan elektronik canggih
- Jangkauan radar lebih luas
- Mesin ganda 117S dengan sistem vectoring
- Sulit diendus radar (semi-stealth)
Kelemahan:
- Pembelian melalui agen
- Boros bahan bakar
Saab JAS Gripen
Produsen: Saab Gripen
Negara: Swedia
Model: Multiperan sayap delta
Pilot: 1
Mesin: Volvo Aero RM12 berdaya dorong 5.508 kgf atau 54 kN hingga 8.160 kgf atau 80,5 kN atau mesin tunggal
Persenjataan: roket, rudal, bom, dan misil
Harga: US$ 50-60 juta per unit
Biaya operasional: US$ 5.000 per jam
Kelebihan:
- Irit bahan bakar
- Pembelian tanpa agen
Kelemahan:
- Bermesin tunggal
- Kemampuan termasuk kelas medium
- Teknologi perawatan belum dikuasai
F-16 Block 70 Viper
Produsen: Lockheed Martin
Negara: Amerika
Model: Multiperan kelas berat
Pilot: 1
Kecepatan: Mach 2 (1.500 mph)
Mesin: Tunggal, F110-GE-129 (29,500 lb), atau F100-PW-229 (29,100 lb)
Persenjataan: roket, rudal, bom, dan misil
Harga: US$ 60-70 juta per unit
Biaya operasional: US$ 7.000 per jam
Kelebihan:
- Pembelian tanpa agen
- Dapat membawa semua rudal antipesawat
- Sulit terlacak radar
- Irit bahan bakar
Kelemahan
- Manuver tidak selincah Sukhoi
Eurofighter Typhoon
Produsen: Eurofighter
Negara: Inggris, Jerman, Spanyol, Italia
Model: Multiperan sayap delta
Pilot: 1
Mesin: Dua Eurojet EJ200 dengan daya dorong 12.240 kgf atau 120 kN hingga 18.156 kgf atau 178 kN
Kecepatan: Mach 2 atau 2.124 kilometer per jam
Persenjataan: 13 cantelan di bawah sayap dan mesin pembawa rudal, bom, misil, dan tangki bahan bakar tambahan
Harga: 125 juta euro
Biaya operasional: US$ 18 ribu per jam
Kelebihan:
- Pembelian tanpa agen
- Daya jelajah dan manuver lincah
Kelemahan:
- Agak boros
- Radar belum lengkap
Naskah: Anton Aprianto, Indra Wijaya | Sumber: PDAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo