Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Seorang presiden dari kuil desa

Ranasinghe premadasa terpilih sebagai presiden sri lanka. berjanji mengusir rasa ketakutan & tekanan dengan menjunjung tinggi hukum & ketertiban. premadasa berasal dari rakyat jelata & kasta rendah.

31 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RANASINGHE Premadasa cuma berbekal pendidikan setingkat SMA, miskin, dan datang dari kasta rendah. Tapi ia terpilih sebagai presiden Sri Lanka, Selasa pekan lalu. Ia mengalahkan saingan utamanya, Nyonya Sirimavo Bandaranaike, dengan perbandingan suara: 50,43% dan 44,9%. Inilah kali pertama dalam sejarah Sri Lanka pos nomor satu negara dipegang oleh seorang asal rakyat jelata. Selama 40 tahun sejarah modern negeri pulau ini, kursi presiden selalu diduduki oleh para tokoh berasal dari lapisan elite dan berlatar belakang keluarga berkasta tinggi. Tapi tokoh yang "miskin harta" ini kaya pengalaman politik. Sepuluh tahun terakhir ia menjabat perdana menteri. Presiden baru ini lahir 23 Juni 1924 dalam keluarga penganut Budha yang taat. Pendidikan pertama yang diterimanya pun dari sebuah kuil desa. Baru setelah itu ia ke kota melanjutkan pendidikan di sekolah lanjutan Katolik di Kolombo, ibu kota Sri Lanka. Pada usia 15 tahun Premadasa bergabung dengan gerakan "Sucharita", yang kemudian menjadi Partai Buruh Ceylorn. Itulah awal keterlibatannya dengan dunia politik. Karier politik pemuda desa itu terus naik. Terutama setelah ia terpilih sebagai anggota dewan perwakilan daerah Kolombo pada 1950, lalu diangkat sebagai wali kota 5 tahun kemudian. Pada 1956 Premadasa pindah partai, bergabung dengan Partai Kesatuan Nasional. Sejak saat itulah ia menduduki bangku parlemen. Mula-mula Premadasa diangkat menjadi wakil menteri pemerintahan daerah, lalu menteri perumahan dan konstruksi, dan akhirnya, pada 1978, perdana menteri. Selama 38 tahun berkecimpung dalam panggung politik, Premadasa, bapak empat anak, dikenal sebagai tokoh yang dekat dengan "kaum papa". Maka, kata Nyonya Hema, istrinya, "Kemenangan suami saya justru karena ia berasal dari kelas jelata." Bisa jadi, Nyonya Hema benar. Di antara 3 kandidat presiden cuma Premadasa-lah yang memberi iming-iming yang menggiurkan rakyat miskin: bakal memberi subsidi 2.500 rupee (sekitar Rp 136.000) per bulan kepada 1,4 juta rakyat miskin Sri Lanka. Masalahnya kini: sanggupkah Premadasa mengabulkan janji, yang oleh sementara pihak di Kolombo dianggap janji gombal semata? Mereka yang mendukung presiden baru ini memang yakin Premadasa punya kemampuan mewujudkan janjinya. Premadasa, yang juga seorang penyair dan pengarang buku, sebagai menteri perumahan dianggap berhasil menjalankan program perumahan rakyat. Dengan kebijaksanaan Gam Udawa, artinya kebangkitan desa, ia dianggap berhasil mewujudkan sebagian janjinya: memberi rumah kepada 1 juta rakyat Sri Lanka. Atas prakarsa Premadasa pula, Badan Dunia PBB mencanangkan 1987 sebagai tahun perlindungan bagi mereka yang tak berumah. Prestasi Premadasa ini menjadi kebanggaan nasional Sri Lanka. Bagi para pengamat politik Sri Lanka. "kebersihan" Premadasa cukup mencengangkan. Dialah pemimpin ideal dari negeri Dunia Ketiga, kata seorang diplomat Barat. Seorang pemimpin yang hanya tahu bekerja untuk, "memecahkan masalah sosial, politik dan ekonomi Sri Lanka." Berpengalaman sebagai perdana menteri, tentulah Premadasa tak asing dengan tantangan yang bakal dihadapinya, setelah dilantik 2 Januari pekan depan. Bukan hanya masalah pemberontakan separatis Tamil yang telah berjalan 5 tahun, dan teror kelompok antipemerintah berhaluan Marxist, Janatha Vinuti Peramuna (JVP) yang akhir-akhir ini meledak di negeri yang menurut epos Ramayana adalah negeri Rahwana ini. Tapi juga jegalan pihak oposisi. Pagi-pagi Nyonya Bandaranaike tegas-tegas tidak mengakui hasil pemilu Sri Lanka karena, "banyak wilayah yang belum dihitung suaranya." Memang, dari 9 juta pemilih, hanya 55% yang menggunakan haknya. Mereka yang tak mencoblos itu umumnya dari wilayah selatan, basis JVP. Diduga mereka takut ancaman JVP yang akan membunuh siapa saja yang tidak memboikot pemilu. Lalu apa langkah Premadasa? Ia percaya, perbaikan kondisi ekonomi di negeri yang pendapatan per kepala per tahun hanya US$360 ini (Indonesia US$ 560) akan mampu menghabisi JVP. Dan caranya, dengan meningkatkan program pendidikan kejuruan, memperluas fasilitas kredit, dan menghidupkan industri kecil di wilayah pedesaan. Untuk itu, kata Premadasa, bentrokan berdarah antarpuak mesti dihentikan. Sebab itulah sumber kemacetan roda ekonomi sebenarnya. Kata presiden baru itu seusai penghitungan suara: "Suara pemilih sudah mengalahkan suara senjata dan kekerasan. Saya akan mengusir rasa ketakutan dan tekanan, dengan menjunjung tinggi hukum dan ketertiban." Farida Sanjaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus