SEBUAH APBN memang sebuah hasil perhitungan dan nasib. Sebab, kalau ada kesempatan buat kenaikan gaji pegawai negeri mungkin kesempatan itu ada justru pada APBN 1987/1988 yang berakhir Maret lalu. Bayangkan, penerimaan dalam negeri ternyata Rp 3,6 trilyun lebih banyak dari yang dianggarkan -- karena harga minyak lebih tinggi dari yang diperkirakan. Meski Rp 1,1 trilyun dari penerimaan itu harus disisihkan untuk pembayaran cicilan utang, tambahan tak terduga akibat perubahan kurs dolar, toh sedikitnya pemerintah masih punya kelebihan Rp 2,5 trilyun, yang salah satu alternatif penggunaannya mestinya untuk menaikkan gaji pegawai negeri. Ternyata menaikkan gaji pegawai negeri belum merupakan prioritas, sekalipun pemerintah menyisihkan Rp 0,3 trilyun untuk menambah anggaran mereka. Menambah subsidi pupuk dan anggaran pembangunan departemen masih dianggap lebih penting daripada menaikkan pendapatan pegawai negeri. Bagaimana dengan anggaran tahun depan? Nasib RAPBN 1989/1990 -- sebentar lagi akan disampaikan pemerintah kepada DPR -- masih akan ditentukan: sejauh mana pemerintah percaya terhadap harapan OPEC bahwa harga minyak tahun depan akan naik menjadi US$18 per barel dari sekitar US$13-14 per barel sekarang ini. Dalam pertemuan bulan lalu di Wina, setelah setuju untuk membatasi produksi dengan 18,5 juta barel sehari (sebelumnya 22 juta barel), OPEC berharap harga minyak akan naik mencapai US$18 per barrel. Ini memang situasi yang terjadi pada Maret dan April lalu. Produksi minyak OPEC 18 juta barel, dan harga yang terjadi adalah US$18 per barel. Tapi kini situasi sudah lain. Negara-negara OPEC yang masih belum terikat dengan kuota produksi, selama tiga bulan terakhir ini, sudah memproduksi 22 juta barel sehari. Perkiraan Badan Energi Internasional (IEA) menunjukkan bahwa akibat lonjakan produksi ini stok minyak dunia pada awal tahun depan akan mencapai 3,3 milyar barel -- cukup untuk konsumsi 100 hari. Ini merupakan rekor stok tertinggi sejak 1981. Besarnya stok minyak ini merupakan ancaman bagi perkembangan harga. Memang pasar akan bereaksi setiap kali melihat tanda-tanda OPEC akan teguh pada persetujuannya seperti sebelumnya. Dan ini bisa membantu mendongkrak harga di pasar. Tapi, dengan stok yang tinggi itu, kali ini mampukah "psikologi pasar" mengangkat harga minyak 30% dari harga sekarang? Kelihatannya cukup berat. Mungkin lebih realistis mengharap harga minyak tahun depan di bawah US$18 per barel. Hanya saja, bila pemerintah menggunakan asumsi harga minyak di bawah US$18 per barel, kesulitan yang dihadapi adalah kita dianggap kurang percaya terhadap persetujuan OPEC yang ditandatangani sendiri. Kalaupun harga US$16 barel yang digunakan sebagai perhitungan, tak berarti penerimaan migas akan kurang. Tambahan kuota produksi yang diterima Indonesia -- 50.000 barel sehari -- akan menaikkan penerimaan sebanyak Rp 0,3 trilyun. Jadi, antara harga US$16 dan US$18 per barel memang tergantung nasib, yang bagi APBN tahun depan bisa bernilai Rp 1,1 triliun. Yang juga akan menentukan nasib APBN 1989/1990 adalah penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Kedua Jenis pajak ini, bersama migas, menyumbang 80% penerimaan dalam negeri. Semester satu APBN sekarang ini sudah lewat, dan gejala menunjukkan bahwa target penerimaan PPh dan PPN akan sulit dicapai. Setengah tahun pertama, realisasi kedua jenis pajak ini baru mencapai 37% dari sasaran. Tapi biasanya, penerimaan pada semester dua lebih besar daripada semester satu. Pada dua tahun anggaran sebelumnya, penerimaan PPh pada semester dua masing-masing lebih tinggi 3% dan 23% dari semester satu, sedangkan untuk PPN masing-masing 15% dan 17%. Untuk APBN 1988/1989, jumlah PPh yang terkumpul pada semester dua harus 70% lebih tinggi dari semester satu, dan bagi PPN sebesar 65%. Tapi data historis tidak mendukung estimasi setinggi itu. Maka kalau pemerintah percaya bahwa sasaran penerimaan kedua jenis pajak ini akan tercapai tahun ini, tentu ada dasarnya. Tapi benarkah ekonomi Indonesia enam bulan mendatang ini akan berkembang jauh lebih pesat daripada setengah tahun sebelumnya? Atau, adakah perbaikan yang dilakukan Dirjen Pajak akan menghasilkan perubahan drastis dalam waktu singkat? Kalau jawabannya tidak 100% ya, dan kalau kita asumsikan penerimaan pajak pada semester dua 50% lebih tinggi daripada semester satu (satu probability yang lebih tinggi dari kenaikan 70%), maka kekurangan penerimaan pajak sebesar Rp 0,6 trilyun dari sasaran terhitung besar. Ditambah dengan ketidakpastian harga minyak, kemungkinan APBN sekarang ini akan berada Rp 1 trilyun di bawah sasaran, tidak bisa dihiraukan begitu saja. Dan, ini bukan pertama kali penerimaan pajak berada di bawah sasaran. Pada APBN tahun lalu, penerimaan dari PPh cuma Rp 2,7 trilyun, padahal dianggarkan Rp 3,3 trilyun. Sementara penerimaan PPN juga meleset Rp 0,1 trilyun dari sasaran. Bila proyeksi ini dijadikan sebuah anggaran yang pesimis, dengan harga minyak $16 per barel dan kenaikan PPh dan PPN sebesar 20%, tambahan penerimaan dalam negeri tahun depan sekurangnya bisa mencapai Rp 2,5 trilyun. Sedangkan sebuah anggaran yang optimistis, dengan harga minyak $18 per barel dan kenaikan PPh dan PPN 30%, bisa menghasilkan tambahan penerimaan dalam negeri sebanyak Rp 4,5 trilyun. Ini di luar tambahan dari pengurangan beberapa macam subsidi. Akan digunakan untuk apa tambahan penerimaan dalam negeri sebanyak itu? Jelas, semua pos pengeluaran menuntut tambahan. Bank Dunia meributkan masalah Organization & Management (O&M): anggaran pemeliharaan infrastruktur pemerintah tidak memadai, dan akibatnya banyak prasarana yang merosot kualitasnya, tidak bisa digunakan secara penuh, sehingga mengganggu produktivitas. Apabila sebagian tambahan penerimaan harus digunakan ke sektor ini, pertambahan proyek pembangunan secara fisik, jelas akan terhambat. Proyek Inpres, yang menjadi tumpuan harapan pencari kerja di pedesaan, misalnya, tahun ini nilai riilnya cuma 60% dari nilai lima tahun lalu. Karena itu, tak ada yang ingin anggaran Inpres ini merosot lagi tahun depan. Dan, kenaikan gaji pegawai negeri? Tunggu saja tanggal mainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini