Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Seorang Uskup Made in China

Pemerintah Cina melantik uskup baru tanpa persetujuan Vatikan. Konflik yang belum terselesaikan antara Takhta Suci dan pemerintah komunis.

8 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gereja St. Joseph, Kota Wuhu, Provinsi Anhui, 990 kilometer dari Beijing....

Orang-orang dengan rompi merah-putih berjajar di dalam in-terior yang berwarna abu-abu. Liu Xinhong mengenakan jubah kuning- ke-besarannya,- menerima penutup kepala—juga berwarna kuning—dari seorang pendeta. Rabu pekan lalu pemerintah Ci-na telah mengangkat uskup tanpa persetujuan Takhta Suci di Vatikan.

Polisi tampak berjaga-jaga. Pendeta Liu, 41 tahun, tak direstui Vatikan ka-rena dianggap kurang berpengalaman, juga dekat dengan pemerintah komunis- Cina. Biasanya seorang uskup, sebelum- ditahbiskan, berusaha mendapat du-kungan Takhta Suci. Vatikan sendiri, ”cu-ma ingin memastikan bahwa mereka yang mengganti para gembala yang sudah tua itu betul-betul orang yang pantas,” kata Hans Waldenfelds, seorang pastor Yesuit asal Jerman.

Calon uskup memenuhi sejumlah sya-rat: penguasaan teologi yang baik, mo-ral serta kemampuan komunikasi yang baik. Tapi, Cina memang menegaskan- atur-an sendiri. Liu dianggap layak ha-nya karena ia orang pilihan Asosiasi Pa-triotik Katolik Cina. Tiga hari sebe-lumnya, Cina juga mengangkat Ma Ying-lin sebagai Uskup Provinsi Yunnan di wilayah barat daya Cina. Ma dan Liu setali tiga uang. ”Ma kurang berpengalam-an dan terlalu dekat dengan rezim komu-nis Cina,” ucap Kardinal Joseph Zen asal Hong Kong.

”Takhta Suci khawatir, jika orang yang tidak layak memimpin keuskupan, akan menghalangi perkembangan Gereja Katolik di Cina,” ujarnya.

Pentahbisan uskup baru tanpa perse-tujuan dari Takhta Suci sudah terjadi se-jak komunis mengambil alih daratan Cina pada 1949. Pemerintah komunis- Ci-na tak mengakui campur ta-ngan asing,- termasuk dalam pengangkatan pemimpin agama. Padahal, dalam agama Katolik, seorang uskup atau pimpinan aga-ma harus diangkat dan disetujui pu-sat, Vatikan. Untuk menegaskan itu, sang pusat bergeser jauh: negara.

November tahun lalu aparat keamanan Cina menangkap Uskup Julius Jia Zhi-guo di rumahnya di Zhengding. Jia di-anggap mbalelo, menolak menjadi ba-gian dari Asosiasi Patriotik Katolik yang dikontrol Partai Komunis Cina. Se-lain Jia, dua pastor di bawahnya, Li Suchuan dan Yang Ermeng, juga dibawa Biro Keamanan Publik Provinsi Hebei. Sejak itu, tak pernah lagi ada kabar keberadaan mereka.

Vatikan berang. Baik soal penangkap-an para ”gembala” maupun pengangkat-an pemimpin baru tanpa meminta restu Takhta Suci membuatnya risau. ”Situasi seperti ini bisa mengancam dialog antara Cina dan Vatikan,” kata Pastor Bernardo Cervellera.

Beberapa tahun belakangan, Beijing dan Takhta Suci menjajaki kemungkin-an pemulihan hubungan resmi. Bebera-pa opsi pembicaraan bahkan sudah me-ngarah pada persetujuan yang meng-izinkan para calon uskup meminta res-tu Vatikan sebelum menerima jabatan di gereja Cina. Sejak pembatasan pada aga-ma mulai berkurang pada akhir tahun 1980-an, semakin banyak rohaniwan Ka-tolik Cina meminta restu Vatikan. Menurut Cervellera, sekitar 85 persen uskup Cina mendapat restu paus.

Uskup Shanghai, Ignatius Kung Pin Mei, merupakan salah satu pemimpin aga-ma Katolik lokal pertama yang men-dapat musibah saat komunis menguasai Cina. Selain sebagai Uskup Shanghai, Kardinal Kung saat itu juga administrator apostolik di Souchou dan Nanking sejak tahun 1950. Pada hari peraya-an Santa Maria dari Rosario 7 Oktober 1949, setelah pasukan komunis menguasai- daratan Cina, Kung diangkat sebagai kardinal oleh Sri Paus Yohanes Paulus II secara in pectore—dalam hati Sri Paus, tanpa pengumuman kepada seorang pun termasuk Kardinal Kung sendiri.

Kisah tentang Uskup Kung adalah kisah heroik seorang gembala iman. Kung menolak menyangkal Tuhan dan Gereja Katolik, meski konsekuensinya ia dihukum penjara seumur hidup. Berbulan-bulan sebelum penangkapannya pada tahun 1955, Uskup Kung bersike-ras- untuk tetap berada bersama-sama para imam dan di tengah-tengah umatnya—kendati berkali-kali ia ditawari ke-luar dari daratan Cina secara diam-di-am. Kung membawa inspirasi bagi war-ga Cina beragama Katolik untuk meng-ikuti teladan kesetiaannya terhadap iman dan gereja.

Dalam waktu lima tahun setelah pengangkatannya sebagai uskup, Kung telah menjadi musuh yang paling ditakuti oleh komunis Cina. Ia menentang Asosiasi Katolik Patriotik Cina, sempal-an Gereja Katolik yang didirikan oleh pemerintahan komunis. Uskup Kung se-cara pribadi membimbing Legio Maria, suatu kerasulan awam Katolik yang didedikasikan bagi Perawan Maria. Ratusan anggota Legio Maria, termasuk mahasiswa-mahasiswi, ditangkap dan dihukum kerja paksa selama 10 sampai 20 tahun.

Pada 8 September 1955, Uskup Kung di-tangkap bersama lebih dari 200 imam dan para pemimpin Gereja lainnya di- Shanghai. Beberapa bulan setelah penangkapan, ia dibawa ke hadapan- publik di stadion pacuan anjing di Shang-hai. Ribuan orang hadir untuk men-dengar peng-akuan Uskup Kung atas ”ke-jahatankejahatannya”. Dengan ke-dua- tangannya terikat di belakang dan me-ngenakan piyama khas Cina, uskup yang tingginya cuma 150 sentimeter itu di-dorong ke depan ke hadapan mikrofon un-tuk mengakui ”dosa-dosanya”.

Namun, polisi khusus yang menjaga-nya tercengang. Mereka mendengar ia ber-teriak, ”Terpujilah Kristus Raja, terpujilah Sri Paus.” Sejak itu, ia menghi-lang.

Ignatius Kardinal Kung Pin Mei wafat 12 Maret 2000 di Stamford, Connec-ticut, Amerika Serikat, saat berusia 98 ta-hun. Namun, pengorbanannya tak siasia. Penganut agama Katolik yang saat ia menjabat sebagai Uskup Shanghai cuma tiga juta orang, kini telah men-capai 12 juta le-bih. Yang mewa-risi semangat he-roik Kung saat ini adalah Uskup- Jia, yang sudah belasan kali ditangkap karena menolak men-jadi bagian da-ri Asosiasi Patriotik Katolik Cina.

Karena tekanan- pemerintah Cina sam-pai saat ini, Gereja Katolik ter-ba-gi menjadi ge-reja terbuka dan ba-wah tanah. Gereja bawah ta-nah- mengikuti- pe-rintah- dari Takhta Suci di Vatikan. Pa-da awal tahun- 2006, pengikut Katolik dari 138 ke-uskupan di Cina Da-ratan memili-ki 65 uskup ”gere-ja terbuka” dan 38 uskup ”ge-reja- bawah tanah”. Da-ri 103 uskup itu, ke-banyakan hampir sudah pensiun pada usia 75 tahun. Hanya ada 20 orang yang berusia di bawah 70 tahun, bahkan bebe-rapa di antaranya menderita sakit. Menurut Uskup Hong Kong, Mounsigneur Joseph Zen Ze-Kiun, dalam si-node para uskup di Roma sepakat mayoritas uskup Cina menyatakan berada di bawah persekutuan penuh Paus Benediktus XVI.

Menurut Wakil Ketua Asosiasi Patriotik Katolik Cina, Liu Bainian, penunjuk-an beberapa uskup di Cina tanpa restu Takhta Suci tak perlu diributkan. Vatikan-Cina tak memiliki hubungan diplomatik. Pemerintah Cina bersedia memperbaiki hubungan dengan Vatikan jika negeri para rohaniwan Katolik itu memutuskan hubungan dengan Taiwan. Isu yang juga diusung Presiden Hu Jintao saat bertemu Presiden Bush. Lagi-lagi politik yang menjadi sandungan kehidupan beragama.

Ahmad Taufik (AP, Catholic Online, Indian Catholic, Reuters, Mirifica)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus