Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di jantung Kota Bagdad yang resah dan berdarah, Zona Hijau seperti layaknya sebuah surga kecil. Itulah kawasan tempat warga negara Amerika bisa menikmati suasana kampung halaman. Mereka dapat memesan burger di kafe Zona Hijau, dan mengunyahnya dengan segelas bir sembari membayangkan sedang berada di Beverly Hills. Khayalan itu benar adanya hingga Kamis 14 Oktober lalu, saat jam makan siang. Seorang pejuang Irak duduk di dekat meja dan dengan tenang ia menekan tombol bom. Rekannya meninggalkan tas besar berisi bom di dekat toko cendera mata dan meledak dalam jarak waktu hanya beberapa menit dari ledakan pertama.
Dua ledakan itu menewaskan lima orang dan melukai 20 orang lainnya. Tiga dari lima yang tewas adalah pegawai DynCorp, perusahaan keamanan Amerika yang antara lain memasok tentara bayaran untuk bertempur melawan pejuang Irak. "Kafe Zona Hijau lenyap seketika," kata seorang perwira Amerika. "Saya ada di sana tiga menit setelah ledakan dan di mana-mana bertebaran serpihan daging manusia." Para pejuang diduga masuk tiba-tiba ke kafe itu. "Tapi perasaan saya mengatakan mereka sudah ada di sini lebih lama dan akan banyak lagi yang akan datang," kata perwira tadi.
Ada sebuah pernyataan bertanggung jawab atas ledakan itu, yang datang dari Kelompok Tawhid wal Jihad pimpinan Abu Musab al-Zarqawi, buron nomor satu Amerika. Jika klaim itu benar, kelompok Zarqawi yang terdesak di Fallujah tampaknya kini meluaskan aksinya langsung ke jantung Kota Bagdad, yang selama ini dinilai tak akan tertembus oleh aksi kelompok perlawanan Irak. Sejam setelah ledakan di Zona Hijau, Amerika menggelar serangan udara di Fallujah. "Kami menanti mereka (Zarqawi) dan kami akan menyerang mereka di mana pun berada," ujar Kassim Daud, Penasihat Keamanan Nasional Irak.
Namun dua ledakan itu segera menimbulkan ketakutan bahwa tak ada lagi tempat aman di Bagdad. Zona Hijau merupakan lokasi kantor kedutaan besar Amerika, Inggris, pusat pemerintahan sementara Irak, dan lembaga internasional lainnya. Zona ini merupakan kawasan eksklusif bergaya hidup Barat yang dikelilingi dinding antiledakan, tumpukan karung pasir, kawat berduri, tank, menara dengan senapan mesin, dan pos pemeriksaan yang berisi pasukan Amerika dan Irak. Orang dan kendaraan yang masuk ke zona ini harus memperlihatkan identitas dan melewati sejumlah pemindai tubuh dan mesin sinar-X. Bahkan di beberapa pos pemeriksaan hanya orang tertentu yang boleh masuk atau hanya orang yang membawa paspor Amerika.
Tapi, menurut Mohammed Obeidi, 25 tahun, pegawai Mo Restaurant, pengamanan di zona ini menurun ketika militer Amerika menyerahkan otoritas pengamanan ke polisi Irak beberapa pekan belakangan ini. "Sebelumnya di sini benar-benar aman," kata Obeidi. Tapi, ketika Amerika menyerahkan tanggung jawab keamanan ke Pengawal Nasional Irak, polisi Irak membiarkan orang yang mereka kenal masuk tanpa melakukan prosedur standar pengamanan.
Amerika Serikat punya 138 ribu pasukan di Irak, yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap. Tapi kenapa mereka tak mampu mengamankan satu bagian kecil dari ibu kota Irak? Jawabannya sederhana, teroris dan pejuang tak mungkin dibedakan dengan kaum sipil, mereka didukung rakyat jelata Irak dan beroperasi di perkotaan. Pejuang menembakkan roket ke hotel besar dan menutup jalan di tengah keramaian lalu lintas untuk menculik orang asing. Jalan utama yang menghubungkan bandara internasional Bagdad dengan pusat kota adalah jalan paling vital, tapi penyergapan terjadi setiap pekan dan kadang kala setiap hari.
Pasukan Amerika memang berhasil di luar kota. Lebih dari 3.000 personel Brigade Kedua Tim Tempur Divisi Gunung ditempatkan di bagian barat Bagdad pada Juli silam. Sejak itu jumlah serangan mortir dekat bandara internasional turun drastis hingga 75 persen, dan tak ada roket yang ditembakkan ke dekat landasan pacu dalam dua bulan terakhir.
Tapi pejuang Irak juga menyesuaikan diri. Kasus pengeboman di jalan-jalan tempat pasukan Amerika beroperasi meningkat 50 persen. "Nyaris seperti bertempur dengan hantu," kata Sersan Wayne Hupman. Setiap orang yang memasuki kawasan itu menghadapi tiga hingga enam kali penggeledahan oleh pasukan Divisi Pertama Kavaleri yang bertanggung jawab mempertahankan Zona Hijau. Tapi tak seorang pun memeriksa tas dua lelaki dengan aksen Yordania yang menyesap semangkuk teh di kafe Zona Hijau sebelum salah satu di antaranya meledakkan diri.
Serangan mortir memang sering terjadi di Zona Hijau tapi tidak mengenai bangunan. Serangan pejuang Irak pertama kali terhadap Hotel Rashid pada 26 Oktober 2003. Selusin roket ditembakkan ketika Wakil Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz sedang bercukur di kamarnya di lantai 12. Serangan itu mengakibatkan seorang pasukan AS tewas. Sejak itu serangan sering terjadi tapi biasanya kurang efektif. Patroli helikopter mengakibatkan penyerang tak punya waktu memperoleh jarak tembak yang pas untuk mortir mereka, dan sebagian besar serangan jatuh di tanah.
Hampir setahun kemudian terjadi serangan bunuh diri pertama di dalam Zona Hijau, mengakibatkan semua warga Irak yang hidup dan bekerja di Zona Hijau tak dipercaya oleh orang Amerika. Ada sekitar 3.000 warga Irak di dalam zona itu. Warga Irak inilah yang menjadi pelindung terhadap penyusup yang berupaya masuk ke Zona Hijau. "Divisi Pertama Kavaleri telah gagal mengamankan gerbang benteng," ujar seorang perwira AS. Bahkan kata perwira itu, penerjemahnya, seorang warga Irak, mengeluh pasukan Amerika tidak melakukan penggeledahan saat mereka masuk ke Zona Hijau. "Jika hal ini tak berubah, tempat yang paling aman di Bagdad ini akan sama saja dengan zona panas lainnya," tambahnya.
Raihul Fadjri (Newsweek, BBC, Fox News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo