Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BABAK baru perang Israel-Iran dimulai. Sebagai balasan atas serangan terhadap konsulatnya di Damaskus, Suriah, yang menewaskan dua komandan senior Garda Revolusi Iran, Brigadir Jenderal Mohammad Reza Zahedi dan Brigadir Jenderal Mohammad Hadi Haji Rahimi, Iran mengirim 300 drone dan peluru kendali ke Israel pada 14 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan itu menandai peningkatan tensi permusuhan kedua pihak dari permusuhan perwakilan (al harb bil wakalah) atau perang proksi ke permusuhan dengan serangan langsung dan terbuka. Iran jelas mengirimkan pesan serius kepada Israel bahwa serangan itu belum mencerminkan kekuatan Iran yang sebenarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan besar yang diduga didesain tidak menimbulkan destruksi fatal ini sebenarnya dimaksudkan untuk menyatakan kepada Israel bahwa Iran bisa menjadi ancaman serius jika “garis merah” terus dilanggar Israel, seperti serangan ke konsulatnya di Suriah. Konsulat dan kedutaan dalam tradisi hubungan internasional adalah “tanah suci” yang tak boleh disentuh, bahkan oleh penguasa di negeri tempat perwakilan tersebut berada. Israel dianggap sudah bertindak terlalu jauh, meskipun mereka mengklaim konsulat berbeda dengan kedutaan. Israel dianggap telah menginjak-injak harga diri Iran sebagai kekuatan raksasa di kawasan, bangsa ahli waris peradaban superpower kuno Persia, pemimpin dunia Syiah, dan bangsa pembawa spiritualitas ahlul bait yang bahkan konon sangat disegani oleh para Kabbalis, penganut Yahudi.
Juru bicara militer Israel Daniel Hagari menunjukkan rudal balistik Iran yang diambil dari Laut Mati di pangkalan militer Julis, Israel, 16 April. 2024. REUTERS/Amir Cohen
Meskipun momentumnya berbarengan dengan serangan Israel ke Gaza dan kontribusi Iran sangat jelas dalam perlawanan Palestina, termasuk dalam serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, faktanya Iran tidak melakukan ofensif langsung ke Israel ketika Gaza luluh lantak dan para pemimpin Hamas dihabisi. Yang dilakukan Iran “hanyalah” mendorong peningkatan “gangguan” melalui Hizbullah di Israel selatan dan aktivitas proksi-proksinya yang lain dalam skala terbatas.
Hubungan Iran dengan Israel sebetulnya cukup dinamis. Hubungan itu semula diwarnai oleh penolakan Iran terhadap kelahiran Israel pada 1948. Tapi, setelah pergantian kekuasaan di Teheran lewat Revolusi Islam Iran 1979, hubungan kedua negara berubah relatif cepat menjadi kerja sama yang didorong oleh kepentingan dan kecemasan yang sama. Namun hubungan ini kemudian lambat-laun berubah menjadi rivalitas terbatas.
Naiknya Shah Reza Pahlevi ke tampuk kekuasaan Iran pada 1953 menandai babak penting hubungan baru Israel dengan Iran. Irisan kepentingan dan persamaan persepsi mengenai ancaman bagi kedua negara mendorong perbaikan hubungan mereka secara signifikan. Menurut Dalia Dassa Kaye dkk. dalam Israel and Iran: A Dangerous Rivalry (2011), kerja sama ekonomi, energi, dan militer kedua negara meningkat signifikan pada masa ini.
Ada pula suasana kebatinan Israel. Para pemimpin gerakan Zionisme, seperti Theodor Herzl dan Chaim Weizmann, serta para pemimpin awal negara Israel merasa “sendirian” dan terisolasi, sebagaimana digambarkan Arthur Hertzberg dalam Zionist Ideas: A Historical Analysis and Reader (1997). Israel memang dikelilingi oleh negara-negara Arab besar yang memusuhinya. Israel ibarat pulau kecil di tengah lautan besar Arab. Karena itu, doktrin terpenting yang digariskan Ben Gurion, proklamator dan pemimpin terlama Israel, adalah doktrin pinggiran. Doktrin itu menegaskan kesadaran posisi sulit Israel secara geopolitik dan karenanya harus berupaya mencari teman-teman yang juga “pinggiran” untuk menjadi mitra strategis.
Kuatnya gaung ideologi Pan Arabisme dan pekikan Presiden Mesir Jamal Abdul Nasser membuat Israel melihat ideologi dan arus Pan Arabisme sebagai ancaman utama. Inilah yang kemudian mendorong Israel membangun kerja sama “strategis” dengan kekuatan pinggiran lain (baca: non-Arab), termasuk Iran. Israel melihat Iran sebagai kekuatan penyeimbang dari kuatnya gemuruh Pan Arabisme, yang salah satu proyeknya adalah menghapus Israel dari muka bumi.
Sebaliknya, rezim Pahlevi juga melihat Israel sebagai teman yang potensial di berbagai bidang dan secara khusus membantu mendekatkan Iran dengan Amerika Serikat. Proyek modernisasi dan pembaratan masif di Iran pada masa Pahlevi membantu proses ini sehingga lambat-laun terbangun aliansi strategis kedua negara.
Pada 1960, Iran sudah menerima delegasi permanen Israel. Pendirian perusahaan Trans Asiatic Oil di Panama dan Swiss menandai kerja sama di bidang energi. Perusahaan tersebut secara de facto mengoperasikan kerja sama energi antara Israel dan perusahaan minyak nasional Israel (Kaye dkk., 2011). Bahkan badan intelijen kedua negara, Savak dan Mossad, disebut-sebut juga terlibat kerja sama intens, termasuk membantu pemberontakan Kurdi di Irak. Kerja sama itu juga penting bagi Israel di tengah embargo minyak Arab pada 1973.
Kedekatan Israel dengan Iran bahkan masih berlangsung setelah Revolusi Islam Iran. Kendati retorika anti-Barat rezim baru Iran memekakkan telinga pemimpin negara-negara Arab Teluk, hubungan Iran dengan Israel terus berjalan. Faktor perekatnya adalah adanya musuh bersama, yaitu rezim Baath yang ugal-ugalan di bawah pimpinan Presiden Irak Saddam Hussein, yang dipandang sebagai ancaman besar oleh Israel dan Iran. Saddam ingin meneguhkan dirinya sebagai pemimpin besar Arab, sebagaimana Jamal Abdul Nasser di Mesir, dengan melabrak rezim baru Iran pada 1980. Perang Teluk yang begitu destruktif berkobar selama delapan tahun.
Israel aktif memberikan bantuan militer ke Iran, tentu dengan harapan kekalahan rezim Saddam. Pada 1980, Perdana Menteri Israel Menachem Begin menyetujui pengiriman ban untuk pesawat tempur jenis Phantom dan sejumlah persenjataan lain untuk Iran. Sementara itu, negara-negara Arab Teluk, yang mulai kaya raya, memanfaatkan keberingasan Saddam untuk mendorongnya melahap calon raksasa baru di depan rumahnya dengan memberikan dukungan finansial secara besar-besaran buat proyek perangnya, meskipun kemudian Saddam “dicampakkan”.
Pergeseran hubungan Iran dengan Israel baru mulai signifikan setelah 1990-an, ketika permusuhan negara-negara Arab terhadap Israel “melemah”. Rentetan perang pada 1960-an dan 1970-an serta negosiasi damai Israel-Palestina menghasilkan suasana baru yang membuat Israel bisa bernapas lebih lega di kawasan yang “asing” itu. Mesir, pemimpin besar Arab, menandatangani perjanjian damai dengan Israel dengan dikembalikannya Sinai. Para pejuang Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berbaris ke meja perundingan di bawah sorot kamera di Madrid, lalu di Oslo, yang kemudian membawa Yordania dan Mesir berdamai dengan Israel pada 1994.
Dalam kondisi yang relatif tenang ini, kepentingan Israel terhadap Iran tidak lagi semendesak dan sebesar sebelumnya. Demikian pula rezim Iran makin menegaskan retorika perlawanannya terhadap Amerika Serikat dan Israel. Rezim mullah yang sejak awal memang ingin menebar pengaruh di kawasan dan dunia Islam ini makin memperoleh momentum dan posisi di dunia Islam, khususnya masyarakat Syiah, sebagai pemimpin perlawanan. Pengaruh Iran makin kokoh setelah serangan Amerika ke Irak pada 1991 dan 2003 dengan jatuhnya Saddam serta tergulingnya musuh Iran di selatan, Taliban, pada 2001.
Naiknya Mahmud Ahmadinejad sebagai presiden pada 2005 memperkeras haluan politik luar negeri Iran yang anti-Barat dan anti-Israel. Dia dianggap sudah melampaui batas oleh Israel karena tidak mengakui Holocaust.
Dukungan Iran kepada musuh-musuh dekat Israel yang non-negara, seperti Hizbullah, Hamas, dan kelompok-kelompok lain, terus menguat. Ini beriringan dengan menguatnya konsolidasi kekuatan-kekuatan Bulan Sabit Syiah, yang mulai memantapkan “kekuasaan”-nya di Irak, Yaman, dan Libanon. Suasana intermestic politics di wilayah Bulan Sabit Subur, menurut Imad Salamey dalam jurnal Muslim World pada 2016, memperkuat keberhasilan konsolidasi kekuatan berbasis sektarian di subkawasan ini. Hasilnya, subkawasan yang dulu dikenal sebagai panggung peradaban kuno itu menjadi kawasan paling eksplosif dalam beberapa dekade belakangan ini.
Konsulat Iran yang hancur akibat serangan udara Israel di Damaskus, Suriah, 1 April 2024. REUTERS/Firas Makdesi
Dampak semua itu begitu nyata bagi Israel, yang sebenarnya sudah merasa “sangat aman” dari ancaman negara-negara di sekitarnya sejak 1990-an berkat proses perdamaian dan superioritas militernya. Aktor-aktor non-negara dukungan Iran itu menjelma menjadi ancaman baru yang sangat serius dan dekat dengan Israel. Operasi militer skala besar dan bahkan deklarasi perang dilancarkan beberapa kali oleh Israel terhadap aktor non-negara dukungan Iran, seperti Hizbullah di Libanon Selatan (2006) dan Hamas di Gaza (2008, 2014, 2019, dan 2023-sekarang). Karena itu, Israel sebenarnya sudah lama geram terhadap sepak terjang Iran dalam memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok “perlawanan” tersebut. Serangan ke konsulat Iran itu adalah bentuk balasan tegas terhadap perilaku Iran di sekitar wilayah Israel dalam waktu panjang dan terus meningkat pada masa perang Gaza kali ini.
Ancaman bertubi-tubi dari para aktor non-negara dukungan Iran terhadap Israel benar-benar membuat para pengambil kebijakan di Tel Aviv geram. Sesumbar para pemimpin Israel untuk melakukan “tindakan” terhadap Iran sangat sering terdengar. Apalagi serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 membawa korban dalam jumlah besar dan benar-benar mencoreng muka militer Israel. Militer dengan sistem pertahanan berlapis dan canggih itu ternyata bobol oleh kekuatan milisi dukungan Iran. Di tengah kemarahan Israel, perang membabi buta dan penuh amarah terhadap Hamas di Gaza terjadi. Korban kemanusiaan luar biasa besar dan kehancuran Gaza sudah tak terkira.
Di tengah amukan Israel di Gaza, kekuatan proksi Iran di Libanon tak henti-hentinya melancarkan ancaman terbatas ke wilayah Israel selatan. Demikian juga Houthi di Yaman dan Hasyd Sya'biy di Irak terus berupaya mengganggu Israel sebisanya.
Israel menyadari bahwa strategi dalam menghadapi Iran dan proksi-proksinya harus sedikit diubah. Selama ini Israel memblokir pengiriman senjata dari Teheran ke Hamas, Hizbullah, dan lainnya serta memukul kekuatan-kekuatan proksi ini. Itu tidak menyelesaikan masalah secara cukup memadai. Salah satu sumber masalah bagi Israel adalah adanya kepemimpinan militer Iran di Suriah sebagai hasil perang panjang di negeri itu. Karena itu, opsi “gila” diambil Israel dengan melancarkan serangan ke konsulat Iran di Damaskus, yang diyakini Israel sebagai salah satu pusat komando militer Iran di Suriah.
Baca Juga:
Israel selama ini diyakini telah banyak melakukan serangan ke target kepentingan Iran di berbagai wilayah, seperti Irak dan Suriah, atau bahkan ke wilayah Iran secara langsung, seperti pengeboman masif ke Natanz, yang diyakini sebagai arsenal nuklir Iran pada 2020; kematian sejumlah ilmuwan nuklir Iran dalam kecelakaan janggal sejak 2010; dan puncaknya kematian ilmuwan top Iran, Mohsen Fakhrizadeh, pada 2020.
Iran juga menuduh Israel terlibat dalam intervensi provokatif ke masyarakat Iran untuk mendorong mereka memprotes rezim Iran. Gerakan Hijau, yang mirip Musim Semi Arab di Iran pada 2009; Revolusi Jilbab 2022; hingga arus “Andalusianisasi” di masyarakat Iran dituduh bagian dari konspirasi Barat dan Mossad. Afshin Shahi dan Alam Saleh dalam Andalusiasation: Is Iran on The Trajectory of Deislamisation? (2015) menyebut arus kuat deislamisasi di masyarakat Iran dengan “Andalusianisasi”, istilah yang digunakan rezim Iran untuk mengecam arus deislamisasi yang bertentangan dengan kehendak rezim dan menguntungkan musuh Iran, yaitu Amerika dan Israel.
Dimensi lain yang memompa permusuhan dua negara ini adalah penangkalan (deterrence). Israel berusaha dengan segala cara menjaga monopoli kepemilikan senjata nuklir di Timur Tengah ketika Iran mati-matian menjadi penantangnya. Status kepemilikan senjata nuklir Israel sejak 1980, meskipun tidak dideklarasikan, menurut Isham Fahim Amiry dalam Khashaish Tursunah Israel al-Nawawiyah wa Bina al-Syarqi al-awsat al-Jadid (1999), seperti menjadi “jaminan” keamanan terakhir bagi negara itu dari sergapan negara-negara Arab di sekitarnya. Nuklir memang tidak digunakan dalam perang karena dampaknya yang tidak dapat diterima bagi kemanusiaan, tapi sangat berpengaruh terhadap perilaku negara-negara musuh. Israel bahkan mendoktrinkan dan beberapa kali melakukan serangan pendahuluan (preemptive attack) terhadap sumber-sumber ancaman di luar wilayahnya, termasuk ke Iran.
Akankah serangan Iran ke Israel kali ini memicu rentetan aksi saling balas dalam skala besar di antara kedua pihak sehingga berpotensi terjadi eskalasi dan konfrontasi luas di kawasan? Kendati saling menebar ancaman akan melakukan serangan balasan lagi, menilik pernyataan-pernyataan para pemimpinnya, kedua pihak sepertinya berupaya lebih berhati-hati dan menahan diri agar tidak terjerumus dalam konfrontasi besar.
Iran dan Israel sangat memahami akibat-akibat konfrontasi terbuka terhadap yang lain. Dalam konteks hubungan yang memiliki paritas relatif seperti Iran-Israel ini, opsi perang adalah naif karena sangat kecil kemungkinan akan mengantarkan kepada tujuan, tapi kehancuran bersama pasti akan terjadi. Apalagi posisi Israel saat ini tidak mudah akibat tekanan internasional terhadap perang di Gaza. Kedua pihak untuk sementara akan mengambil pilihan lebih rasional dengan tetap menjaga muruah dan kepentingan strategis masing-masing.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kecemasan Dua Seteru"