Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bagaimana Satu Generasi Palestina Punah Akibat Perang Gaza

Ibu hamil, perempuan, dan anak baru lahir menghadapi situasi buruk di Gaza. Bayi terancam mengalami malnutrisi dan kelaparan.

21 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BADAN Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) meluncurkan Kewaspadaan Gender di Gaza terbaru pada Selasa, 16 April 2024. Mereka merilis analisis mengenai kondisi perempuan dan gadis di Jalur Gaza dalam hampir enam bulan sejak serbuan Israel ke Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, antara lain mengenai akses terhadap air bersih, sanitasi, dan kesehatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UN Women mencatat, pada periode tersebut, 10 ribu perempuan Palestina terbunuh—6.000 di antaranya adalah ibu-ibu—yang meninggalkan 19 ribu anak menjadi yatim. Yang selamat dari pengeboman Israel tetap menderita karena menjadi janda, kehilangan tempat tinggal, dan terancam kelaparan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laila Baker, Direktur Regional untuk Negara-Negara Arab di Dana PBB untuk Kegiatan Populasi (UNFPA), menggambarkan situasi Gaza yang luar biasa. “Ada krisis di seluruh dunia yang meminta perhatian semua orang untuk diatasi, entah itu di Myanmar, Haiti, Sudan, entah Yaman. Tapi tak ada situasi yang dapat dibandingkan dengan Gaza,” ujarnya kepada Tempo, Senin, 8 April 2024.

Mahkamah Internasional (ICJ), kata Baker, menetapkan bahwa ada bukti mengenai potensi genosida. “Sekitar 30 ribu orang meninggal. Satu setengah persen penduduk Palestina telah dibunuh secara brutal, kehilangan tempat tinggal, dan terpaksa mengungsi beberapa kali. Tidak ada yang aman di Gaza,” tutur perempuan warga Amerika Serikat keturunan Palestina itu. “Apakah Anda seorang lelaki, perempuan, anak-anak, atau seseorang yang mempunyai cacat fisik, baik besar, kecil, maupun tua. Tidak jadi masalah. Pengeboman tersebut dilakukan tanpa pandang bulu.”

Serbuan Israel ke Gaza telah menewaskan 32.623 orang. Menurut UNFPA, sebanyak 22.836 atau 70 persen di antaranya adalah anak-anak dan perempuan, kelompok yang paling rentan dalam perang. Selain itu, ada 75.092 orang yang cedera selama operasi militer Israel.

Anak-anak Palestina yang menderita kekurangan gizi menerima perawatan di pusat kesehatan al-Awda, di Rafah, Jalur Gaza 1 April 2024. REUTERS/Mohammed Salem

UNFPA, yang mempromosikan kesehatan, martabat, serta hak perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia, kata Baker, berfokus pada kenyataan bahwa kondisi antara perempuan yang sedang hamil dan orang lain tidak sama. “Apa yang terjadi di lapangan saat ini adalah sesuatu yang sangat memprihatinkan. Hampir sulit dijelaskan ketika seorang perempuan hamil tidak dapat menemukan rumah sakit karena hanya ada tiga dari 36 rumah sakit di Gaza yang menyediakan pelayanan bersalin, dan bahkan ada yang tidak berfungsi,” ucapnya.

Baker menuturkan, ada laporan tentang perempuan hamil yang datang ke rumah sakit untuk melahirkan. “Ketika mereka tidak mendapatkan obat bius yang cukup untuk operasi caesar, beberapa di antaranya menjalani operasi caesar tanpa obat bius,” tutur Baker, yang meraih magister kesehatan masyarakat dari University of Wales, Inggris.

Dia juga menceritakan seorang perempuan hamil yang datang ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri akibat pengeboman dan para dokter harus melakukan operasi kelahiran. Ada pula yang mengalami aborsi spontan karena kecemasan.

Para gadis juga menghadapi kondisi buruk di tengah perang dan para pengungsi yang menyesakkan kamp-kamp pengungsian. “Tempatkan diri Anda pada posisi gadis remaja yang akhirnya memasuki masa kedewasaan. Dia mulai mendapat menstruasi, mulai tumbuh menjadi seorang perempuan muda. Semua remaja, terutama remaja perempuan, membutuhkan privasi. Mereka membutuhkan bimbingan. Mereka membutuhkan dukungan. Mereka membutuhkan kebersihan. Tak satu pun dari kondisi itu yang mungkin terjadi ketika satu kamar mandi dipakai seribu orang,” ujar Baker.

Data UNFPA menunjukkan ada 541.567 perempuan usia produktif di Gaza. Adapun perempuan hamil yang diperkirakan melahirkan pada Mei mendatang sebanyak 5.522 orang. Serangan Israel telah menghancurkan sebagian besar rumah sakit dan menyisakan 10 dari 36 rumah sakit yang ada di Gaza. Itu pun hanya separuh berfungsi dan menyediakan layanan terbatas.

Kondisi makin buruk karena Israel melarang masuk bantuan kemanusiaan dan kesehatan ke Gaza, yang membuat perempuan, ibu hamil, dan anak baru lahir tak mendapat alat medis dan barang higienis yang mereka butuhkan, seperti obat bius, obat penghilang rasa sakit, alkohol, air bersih, makanan, dan imunisasi. Akibatnya, anak baru lahir meninggal kelaparan.

Islamic Relief, organisasi kemanusiaan di Gaza, melaporkan bahwa ketiadaan bahan kebersihan menstruasi membuat perempuan dan gadis terkena infeksi karena mereka menggunakan potongan kain atau pakaian robek seadanya.

Perempuan hamil akhirnya menjalani operasi caesar tanpa obat bius atau obat penghilang rasa sakit. “Kehamilan saat ini seperti yang dialami perempuan 100 tahun yang lalu; tanpa perawatan medis, pemeriksaan, scan, atau nutrisi yang baik. Banyak perempuan yang saya kenal mengalami keguguran dan masalah karena kurangnya perawatan medis,” ucap Fatima, pekerja kemanusiaan, dalam siaran pers Islamic Relief.

Dampak kondisi semacam ini memang belum tampak nyata. Namun, kata Baker, sebelum Oktober 2023, tingkat gizi buruk pada anak di bawah lima tahun sekitar 0,8 persen. Sekarang Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sudah 15,6 persen dan hampir 3 persen di antaranya menderita wasting atau kekurangan gizi yang parah—malnutrisi yang paling mengancam jiwa. “Ini tingkat malnutrisi yang paling cepat dalam sejarah zaman modern,” ujar Baker.

Laila Baker, Direktur Regional untuk Negara-Negara Arab di Dana PBB untuk Kegiatan Populasi (UNFPA)

Israel juga menghancurkan bangunan sekolah sehingga praktis sistem pendidikan di sana lumpuh, padahal ada lebih dari setengah juta anak yang dulu bersekolah di sekolah dasar dan menengah. “Saya khawatir kita menghadapi risiko kehilangan satu generasi anak-anak,” kata Phillippe Lazzarini, Komisioner Umum untuk UNRWA, kepada BBC.

Menurut Baker, upaya menyelamatkan situasi ini adalah hanya dengan membuka semua perbatasan ke Gaza agar bisa menerima bantuan untuk membangun kembali pasar lokal sehingga masyarakat dapat membeli makanan dengan aman dan selamat. Selain itu, pekerja kemanusiaan PBB seperti UNFPA, kata dia, diizinkan bekerja dengan bebas dan aman untuk memberikan bantuan kemanusiaan yang penting dan kritis.

“Ini mencakup obat-obatan yang kami perlukan di rumah sakit untuk diberikan kepada perempuan. Ini mencakup semua hal untuk membantu bayi yang baru lahir agar bertahan hidup dan tumbuh, termasuk memberikan perawatan kebersihan menstruasi, air, makanan,” ujarnya.

Tidak boleh pula ada pemindahan paksa warga Palestina ke luar Gaza atau di luar wilayah Palestina. “Mereka mempunyai hak untuk hidup bebas di tanah asal mereka dan hal itu juga perlu diberikan dengan membangun kembali Gaza agar mereka dapat tinggal di sana lagi,” ucap Baker.

Situasi di Gaza sekarang bahkan berbeda dari situasi bencana alam dan perang di tempat lain. Baker pernah bekerja di wilayah perang seperti Suriah atau menangani bencana alam di Indonesia. Dalam semua kasus tersebut, pemerintah masih memfasilitasi akses PBB untuk memberikan bantuan kemanusiaan.

“Sekarang di Gaza tidak demikian. Karena itu, saya khawatir kita belum melihat dampak kelaparan yang lebih buruk, dampak malnutrisi, ditambah kurangnya perlindungan dan dampak hidup di tengah kepadatan kamp pengungsi tanpa kebersihan dan bantuan yang memadai,” tuturnya.

Baker khawatir kondisi di Gaza akan terjadi pada skala yang belum pernah dilihat oleh umat manusia. “Dalam hal ini merupakan sebuah keharusan bagi semua komunitas internasional untuk bersatu dan pertama-tama menghentikan hal ini. Tidak ada lagi pengeboman. Dan, izinkan tanpa syarat, seperti yang diminta oleh Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, yang memungkinkan aliran bebas bantuan kemanusiaan dan pembukaan semua perbatasan untuk rekonstruksi dan stabilitas rakyat Palestina di Gaza.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terancam Hilang Satu Generasi"

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus