Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI ROMY Sasmita, memproduksi video penyiksaan anak monyet ekor panjang merupakan upaya balas dendam. Beberapa tahun silam, pria 42 tahun itu mengklaim anaknya diserang monyet hingga terluka. “Saya mau melakukannya lantaran benci monyet,” ujar Kepala Unit I Subdirektorat IV Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Komisaris Supriyadi, menirukan keterangan Romy kepada polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulanya pegawai negeri di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, itu mengunggah video penyiksaan tersebut di akun YouTube miliknya pada 2022. Rupanya, video itu memikat sejumlah penonton dari luar negeri. Lewat percakapan di kolom komentar, Romy lantas menjalin komunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan para “penggemarnya” lewat aplikasi percakapan Telegram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah awal mula Romy terlibat pembuatan video penyiksaan anak monyet. Ia dimasukkan ke sebuah grup Telegram yang dibuat calon pemesan video penyiksaan anak monyet ekor panjang. Dalam grup itu, Romy dikenal dengan nama samaran Black Pearl. Ia juga tergabung dalam sebuah dark web, situs ilegal yang dijadikan wadah transaksi pembelian konten.
Kepada polisi, Romy menyatakan pembeli video berasal dari Amerika Serikat, Australia, dan Jerman. Satu video dibanderol US$ 50-100 atau Rp 813 ribu-1,6 juta dengan kurs Rp 16.270. Pembayaran dilakukan melalui salah satu aplikasi jual-beli mata uang digital kripto.
Komisaris Supriyadi menyebutkan Romy membuat akun dompet digital atas saran pembeli. Bayaran terus naik seiring dengan makin kejamnya Romy menyiksa anak monyet ekor panjang. Menurut Supriyadi, selama beberapa tahun Romy menghasilkan 58 video. “Kasus ini mendapat atensi langsung dari FBI (Federal Bureau of Investigation),” kata Supriyadi.
Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Besar Indra Lutrianto Amstoni membenarkan informasi bahwa pihaknya pernah membahas kasus Romy dengan FBI. Awalnya lembaga federal penegak hukum Amerika Serikat itu menghubungi Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Mereka melaporkan dugaan pembuatan video penyiksaan hewan yang terjadi di Indonesia.
Romy Sasmita. Instagram.com/pembelasatwaliar
Pihak kedutaan lantas berkomunikasi dengan Bareskrim Polri pada Februari 2024. Polisi Indonesia, Komisaris Besar Indra menerangkan, bersepakat mendampingi FBI menyelidiki kasus ini di Kota Singkawang. “Mereka tertarik karena perkara ini melibatkan warga negara Amerika,” ujarnya, Kamis, 18 April 2024.
Polda Kalimantan Barat mengungkap perkara yang menjerat Romy Sasmita pada 7 Februari 2024. Petunjuk awal yang diperoleh polisi adalah foto pelat nomor kendaraan asal Kalimantan Barat. Setelah ditelusuri, pemilik kendaraan adalah seorang perempuan paruh baya yang ternyata ibu mertua Romy. Polisi kemudian mendatangi rumah kontrakan Romy dan kantor kelurahan tempatnya bekerja.
Saat ditangkap di salah satu warung kopi dekat kantornya, Romy menyangkal jika disebut telah memproduksi video penyiksaan hewan. Ia tak berkutik lantaran polisi menemukan 58 video penyiksaan anak monyet ekor panjang yang tersimpan di dua telepon selulernya. Salah satu video yang diterima Tempo menunjukkan dua anak monyet ekor panjang dibakar hidup-hidup di dalam panci sampai mati.
Lewat penyidikan, terungkap pemesan konten meminta Romy menyakiti hewan primata itu dengan cara yang variatif. Ada yang ingin melihat anak monyet dicekik dan dibanting atau dipukul dengan palu sampai mati. Penyiksaan sadis lain adalah menggoreng atau memotong anak monyet hidup-hidup. “Pelaku mengunggah konten tersebut di YouTube dan banyak penontonnya,” tutur Supriyadi.
Di rumah Romy, polisi mendapati bangkai anak monyet yang terbungkus dalam plastik hitam. Bangkai ini dibuang ke tempat sampah samping halaman rumah kontrakan Romy di Singkawang Tengah, Kota Singkawang. Tubuh anak monyet itu ditemukan dengan kondisi semua jari sudah dipotong dan kepala bolong serta mengalami luka bakar.
Darah segar masih menempel di sekujur tubuh mungil monyet tersebut. Bercak darah juga masih tercecer di lantai rumah Romy. Alat yang dipakai untuk menghabisi nyawa si anak monyet, seperti alat penyolder, gunting kuku, katapel, pisau, dan palu, pun teronggok di sana. “Rumahnya sangat tidak terawat dan tercium aroma tak sedap,” ujar penyidik Polda Kalimantan Barat yang memimpin penyelidikan perkara ini, Inspektur Polisi Satu Eko Kurniawan.
Polisi telah menyita peralatan tersebut untuk dijadikan bukti. Selain mendapati bangkai anak monyet dan benda tajam, polisi menemukan kantong plastik kecil berisi sisa sabu dan sebutir ekstasi. Belakangan, Romy terbukti positif mengkonsumsi sabu. Ia berdalih merasa gentar saat menganiaya anak monyet sehingga memutuskan menggunakan narkotik. Karena itulah ia kini mendekam di rumah tahanan Polda Kalimantan Barat dalam kasus narkotik, bukan penganiayaan anak monyet.
Namun polisi tetap berencana menjerat Romy dengan pasal penyiksaan hewan. Dua pasal yang siap menjeratnya adalah Pasal 91B ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Pasal 302 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam kasus ini, ia terancam hukuman bui paling lama enam bulan dan denda maksimal Rp 5 juta.
Garda Animalia, salah satu organisasi pembela satwa liar yang turut menelusuri kasus ini, mencatat Romy merekam video penyiksaan anak monyet terbanyak pada 2022, yakni 27 konten. Romy lanjut memproduksi enam konten dan menjualnya ke jaringan internasional pada 2023 dan membuat satu video setahun berikutnya.
Petugas Kepolisian Daerah Kalimantan Barat dalam konferensi pers penangkapan pegawai negeri Singkawang, Romy Sasmita, yang membuat konten video penyiksaan monyet, 9 Februari 2024. Dok. Polda Kalbar
Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Komisaris Besar Indra Lutrianto Amstoni menjelaskan, pemesan konten tak hanya meminta dibuatkan video utuh, tapi juga pernah menyaksikan proses penyiksaan anak monyet melalui video call di grup Telegram secara langsung. “Mereka memang menginginkan adanya penyiksaan dan menikmati itu,” ucapnya.
Tempo telah dua kali menyurati Kepala Polda Kalimantan Barat Inspektur Jenderal Pipit Rismanto untuk bisa mewawancarai Romy. Hingga laporan ini ditulis pada Sabtu, 20 April 2024, Pipit belum merespons permohonan wawancara tersebut.
Romy tak sendirian. Social Media Animal Cruelty Coalition dari Asia for Animals Coalition, jaringan organisasi pelindungan satwa, mencatat Indonesia merupakan negara dengan angka pembuatan konten penyiksaan hewan tertinggi di dunia pada 2021. Pada tahun itu, ada 1.626 konten penyiksaan hewan yang berasal dari Indonesia. Selanjutnya disusul Amerika Serikat dengan temuan 296 konten dan Australia sebanyak 135 video.
Kasus penyiksaan anak monyet ekor panjang juga pernah muncul di Kota Magelang, Jawa Tengah. Dalam kasus ini polisi menangkap M. Ajis Rasajana, 30 tahun, pada 2022. Ia dituduh memproduksi video penyiksaan anak monyet ekor panjang di sebuah rumah kontrakan di Dusun Banyakan, Desa Pasuruhan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang.
Mulanya Ajis memproduksi video cara memelihara anak monyet pada 2019-2020 di akun YouTube miliknya. Konten ini laku dan banyak ditonton penggemar di luar negeri. Sejumlah penonton dari luar negeri menghubungi nomor telepon Ajis yang ditulis di akun YouTube itu. Dari situlah mereka memesan konten penyiksaan anak monyet. Walhasil, konten di akun YouTube milik Ajis yang berisi video tingkah lucu anak monyet berubah menjadi konten pembantaian anak monyet.
Untuk menjalankan bisnisnya, Ajis membuat lebih dari satu akun YouTube karena beberapa kali kanalnya ditutup pengelola. Akun miliknya di antaranya bernama Monkeyj***d, Daddy***l, dan Babbymonkey ****. Menurut Ajis, para pemesan konten adalah orang-orang yang senang melihat monyet disakiti. Monyet, dia mengungkapkan, dianggap sebagai hewan yang harus disiksa. “Semua monyet bagi mereka musuh,” katanya kepada Tempo, Rabu, 17 April 2024.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Magelang Komisaris Rifeld Constantien Baba mengatakan komunikasi dengan jaringan luar negeri terjadi di aplikasi Telegram. Pemesan menghubungi Ajis melalui jaringan pribadi. Tawar-menawar konten dan harga ditentukan saat komunikasi itu terjalin. “Dia menerima pesanan lewat pesan pribadi, bukan dari grup Telegram,” tutur Rifeld.
Ajis menerima berbagai permintaan pembeli mancanegara, dari melempar dan memukul monyet hingga menyiramnya dengan air panas. Video tersebut dijual ke Amerika Serikat, Australia, dan negara Amerika Latin. Kekejaman ini dilakukan selama Oktober 2021-November 2022. Ia diduga menyiksa enam monyet ekor panjang dalam waktu setahun itu. Penyiksaan dilakukan seorang diri. Ia pernah menyiksa anak monyet di tengah sawah.
Salah satu potongan video penyiksaan anak monyet ekor panjang. Dok. Istimewa
Meski terbukti memproduksi video penyiksaan anak monyet, Ajis mengaku tak pernah memutilasi anak monyet. Ia mengklaim cuma mengajak bermain monyet untuk memancing para pemesan video. “Saya hanya mengirim video-video penyiksaan monyet dari hasil forward,” ucapnya.
Kenyataannya, polisi mendapati empat monyet tewas dan dikubur oleh Ajis. Sementara itu, dua anak monyet lain ditemukan masih hidup, yang bernama Mini dan Milo. Ia membeli anak monyet di Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat ditemukan, Mini dan Milo hidup dalam kondisi stres dan terluka. Mini diduga mengalami trauma karena ekornya menebal dan jaringan tubuhnya mengeras. “Kalau dari fisiknya terdapat luka pada mulut dan ekor,” ujar Komisaris Rifeld.
Polisi menduga Ajis menyiksa anak monyet karena membutuhkan uang. Satu video dihargai US$ 5. Ada juga pembeli yang memesan satu paket berisi beberapa video seharga US$ 50. Pembeli mentransfer uang ke rekening Ajis melalui alat pembayaran PayPal. Dari bisnis ini, Ajis meraup cuan Rp 30 juta. “Harganya makin mahal kalau penyiksaan lebih bengis,” kata Rifeld.
Kepada polisi, Ajis mengaku menemukan video penyiksaan monyet di dunia maya. Ajis bahkan mencomot video itu lalu menjualnya kepada pelanggannya. Caranya, ia memperlihatkan cuplikan rekaman yang diunggah di tempat lain kepada calon pembeli. Ia baru mengirimkan video secara utuh setelah pembeli membayar lunas.
Perkara Ajis berjalan di Pengadilan Negeri Mungkid. Pada 28 Februari 2023, majelis hakim memvonis Ajis bersalah karena telah menganiaya hewan. Ia melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ajis tercatat menganiaya anak monyet sebanyak 16 kali sepanjang Oktober 2021-November 2022.
Dari persidangan, terungkap Ajis berkali-kali melempar anak monyet ke tembok lalu memukulnya. Makin lama penyiksaan makin keji. Anak monyet diikat di atas kandang agar Ajis bisa meneteskan lelehan lilin panas. Hewan-hewan itu juga dipukul dan disiram dengan air hingga lemas. Terakhir, ia memotong dan mengoyak perut anak monyet yang sudah mati. Organ tubuh monyet itu ditarik keluar. Tujuannya adalah memanipulasi konten seolah-olah anak monyet yang disembelih masih hidup. “Pelaku tidak mau rugi atau kehilangan aset monyetnya,” tutur Komisaris Rifeld.
Ajis dihukum penjara delapan bulan. Ajis dan jaksa penuntut umum pernah mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Semarang. Putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Semarang justru memperkuat vonis Pengadilan Negeri Mungkid. Tapi Komisaris Rifeld mengatakan polisi sempat kebingungan menentukan pasal pidana untuk menjerat Ajis. “Karena kera ekor panjang termasuk hewan yang tidak dilindungi,” ucapnya.
Setahun sebelum menangkap Ajis, Kepolisian Resor Tasikmalaya Kota di Jawa Barat menahan Asep Yadi Nurul Hikmah karena membuat video penyiksaan anak monyet. Perkara ini terungkap karena Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri sempat mengejar terduga pelaku penyiksaan anak monyet di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, pada 2022. Polisi menerima informasi bahwa pelaku terhubung dengan Asep.
Petunjuk awal yang diterima polisi adalah laporan dari luar negeri berupa cuplikan video penyiksaan anak monyet. Setelah diselisik, video itu direkam di Indonesia. Namun pengungkapan kasus di Situbondo gagal karena polisi tak menemukan alat bukti yang cukup. Polisi hanya mendapati monyet terdiam di dalam kandang, tapi tidak ada tanda-tanda penyiksaan.
Sementara itu, Asep sudah diadili pada 15 Desember 2022. Majelis hakim Pengadilan Negeri Tasikmalaya menjatuhkan hukuman tiga tahun bui dan denda Rp 5 juta subsider kurungan tiga bulan. Asep terbukti memperdagangkan satwa yang dilindungi serta beberapa kali menganiaya hewan. Dalam persidangan, terungkap fakta bahwa Asep menganiaya anak monyet sepanjang 2021-2022.
Dari berkas putusan Asep terungkap bahwa ia menjalankan bisnis ini karena dihubungi seseorang bernama Deni Novianto asal Solo, Jawa Tengah. Ia meminta Asep merekam adegan penyiksaan anak monyet. Satu video dibanderol Rp 150-300 ribu. Sepakat dengan tawaran itu, Asep mulai membeli anak monyet ekor panjang. Ia menganiaya anak monyet sebanyak 14 kali dan merekamnya dengan durasi masing-masing 2-2,5 menit.
Konten pertama yang ia buat adalah memandikan anak monyet di dalam lumpur sawah Kampung Sukajadi, Desa Lengkongbarang, Kecamatan Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya. Penyiksaan berikutnya lebih sadis. Asep mengikat kaki dan tangan monyet pada bambu yang ditancapkan ke tanah. Ini untuk mempermudah pelaku memukul monyet menggunakan ranting kayu. Penyiksaan terhadap anak monyet yang sama dilakukan berulang kali.
Seekor anak monyet ekor panjang sebelum disiksa dalam sebuah potongan video. Dok. Istimewa
Asep juga memasukkan monyet itu ke stoples berisi empat kepiting. Stoples itu lalu ditutup. Ia membiarkan anak monyet itu dicapit oleh kepiting-kepiting tersebut. Pada hari berikutnya, monyet itu ditenggelamkan ke sumur sebanyak lima kali. Ekornya juga dibakar hingga akhirnya monyet tersebut tewas.
Asep kembali menganiaya anak monyet pada Maret 2022. Kali ini dia mengebor kaki hewan berekor panjang itu. Mata kanan monyet tersebut juga dibor hingga tembus ke belakang kepala. Dua bulan berselang, Asep memasukkan anak monyet ke blender. Tubuh hewan itu sobek hingga tewas. Dua video ini dibuat dengan durasi lebih lama, yaitu sepuluh menit. Ia tak bekerja sendiri. Asep mengajak seseorang bernama Aji Maulana dan keponakannya, Zulpan Wijaya.
Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Komisaris Besar Indra Lutrianto Amstoni menuturkan, Deni Novianto mendapatkan order dari forum luar negeri yang ditemukan dalam dark web. Deni lantas menghubungi Asep. Anggota forum adalah para penikmat konten penganiayaan monyet. Indra memaparkan, pembeli memiliki kelainan kejiwaan atau layak disebut sebagai psikopat. “Kelompok itu sudah diproses oleh polisi negaranya masing-masing,” katanya.
Dalam forum yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang penyuka konten penganiayaan satwa itu, Deni menawarkan video penyiksaan monyet. Deni juga yang mengarahkan Asep menyakiti anak monyet sesuai dengan pesanan dari negara lain. Deni bahkan menyediakan telepon seluler dan beberapa monyet untuk Asep. “Deni adalah otak pembuatan konten penganiayaan tersebut,” tutur Komisaris Besar Indra.
Jakarta Animal Aid Network (JAAN) memperoleh beberapa laporan soal penjualan konten penyiksaan anak monyet ekor panjang. Direktur JAAN Benfica menyebutkan laporan ini datang dari warga luar negeri yang tak sengaja menonton video penderitaan anak monyet di YouTube. Seorang pencinta satwa mengirimkan sejumlah bukti berupa video dan tautan situs unggahan konten kepada JAAN cabang Belanda pada awal tahun ini.
Asep Yadi Nurul Hikmah. @gardaanimalia
JAAN meneruskan data tersebut ke Bareskrim Polri. Dari laporan inilah terungkap penyiksaan anak monyet di Singkawang yang melibatkan Romy Sasmita yang kasusnya ditangani Polda Kalimantan Barat pada Februari 2024. Konten penyiksaan hewan, Benfica menerangkan, marak diniagakan di dark web, pun demikian dengan perdagangan satwa antarnegara. “Dark web memang pasar gelap,” ujarnya, Selasa, 16 April 2024.
Komisaris Besar Indra memaparkan, pelaku dan pembeli memakai dark web sebagai medium pembayaran. Adapun perintah menyiksa monyet langsung dikomunikasikan calon konsumen kepada pelaku. Namun ketiga pelaku penyiksaan anak monyet ekor panjang di Tasikmalaya, Magelang, dan Singkawang mengaku tak saling kenal. Indra menjelaskan, polisi belum memperoleh bukti bahwa ketiganya terkoneksi. Pemesan konten penyiksaan pun mengundang mereka ke grup Telegram yang berbeda.
Supervisor Media dan Advokasi Garda Animalia, Liana Dee, mengatakan sebagian video yang dijual dua pelaku penyiksaan anak monyet ekor panjang, M. Ajis Rasajana dan Asep Yadi Nurul Hikmah, dapat ditemukan di dark web. Liana membeberkan 105 alamat dark web yang memuat konten penyiksaan binatang. Garda Animalia merupakan salah satu organisasi yang berfokus menyelisik kasus ini setelah konten penyiksaan anak monyet beredar luas. “Di luar negeri, ada jaringan yang sangat membenci monyet ekor panjang,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Moh. Khory Alfarizi, Aseanty Pahlevi (Singkawang), dan Shinta Maharani (Magelang) berkontribusi pada artikel ini. Di versi cetak, artikel ini berjudul "Pemikat Psikopat Video Anak Monyet".