Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rumah Sakit Pun Porak Poranda

Sejumlah rumah sakit, termasuk milik Indonesia, di Gaza rusak berat akibat serangan udara Israel. Dua dokter senior tewas.

22 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang anggota staf MSF memeriksa kerusakan pada pusat trauma dan luka bakar MSF di Gaza, setelah penembakan oleh pasukan Israel, di Gaza, Palestina, 16 Mei 2021. msf.org

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gempuran Israel telah merusak sejumlah fasilitas kesehatan.

  • Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza juga porak poranda.

  • Pasokan kebutuhan medis dan pergerakan ambulans terhambat.

RUMAH Sakit Indonesia di Jalur Gaza, Palestina, porak-poranda akibat serangan udara Israel. Ledakan misil Israel di lokasi yang berdekatan dengan rumah sakit pada 12 Mei lalu telah merusak atap bangunan. "Kerusakan ada di bagian administrasi dan beberapa tempat di lantai atas," kata Ketua Presidium Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C) Sarbini Abdul Murad kepada Tempo pada Jumat, 21 Mei lalu. Serangan itu juga merusak akses jalan menuju rumah sakit sehingga perjalanan ambulans atau kendaraan yang membawa korban terhambat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serangan Israel sempat membuat para pegawai Rumah Sakit Indonesia panik. Para dokter juga kelelahan menangani gelombang korban luka yang terus mengalir. Stok obat terus berkurang dan jalur pasokan tertutup karena blokade negara Yahudi itu. Alat bedah dan anestesi yang menjadi kebutuhan utama rumah sakit pun terkuras. "Dalam kondisi normal saja mereka susah mencari pasokan, apalagi sekarang dalam situasi perang," ucap Sarbini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah Sakit Indonesia merupakan bantuan Indonesia untuk Palestina yang dibangun pada 2011 atas gagasan Mer-C. Pembangunannya menelan biaya sebesar Rp 126 miliar. Pada Desember 2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla meresmikan rumah sakit tersebut.

Berjarak sekitar dua setengah kilometer dari perbatasan Israel, rumah sakit itu rentan terkena imbas pertempuran yang kerap terjadi di daerah ini. Pada 2018, rumah sakit itu pernah terkena dampak gempuran serangan udara Israel saat menghadapi demonstran Palestina. Lima roket jatuh di dekat rumah sakit dan ledakannya merusak sejumlah ruangan, seperti bagian administrasi, toilet, koridor, dan fasilitas perawatan intensif.

Warga Gaza korban rudal Israel menunggu perawatan lebih lanjut di Rumah Sakit Shifa, Gaza, Palestina, 17 Mei 2021. Reuters/Homammed Salem

Meski demikian, rumah sakit itu terus beroperasi dan menjadi andalan penduduk di kawasan Gaza. "Pernah dalam sehari korban luka akibat serangan Israel yang datang atau diantar mencapai 600 orang," ujar Sarbini.

Gempuran Israel menewaskan setidaknya 230 orang, termasuk 65 anak-anak, dan melukai lebih dari 1.500 penduduk Gaza. Serangan itu juga membuat banyak fasilitas kesehatan di Gaza yang sudah minim jadi berantakan. Badan Bantuan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Palestina (OCHA) melaporkan enam rumah sakit dan 11 klinik rusak. Satu rumah sakit bahkan tidak bisa berfungsi lagi karena suplai listrik terputus.

Klinik Dokter tanpa Batas (MSF) bahkan terpaksa ditutup. "Klinik ditutup karena strukturnya rusak, akses jalannya hancur, dan situasi wilayah di sana belum aman," tutur Wakil Koordinator MSF di Gaza, Mohammed Abu Mughaiseeb.

Dua dokter senior Rumah Sakit Al-Shifa ditemukan tewas di tengah timbunan puing-puing gedung tempat tinggalnya yang hancur dihantam misil Israel. Mereka adalah Ayman Abu al-Ouf, kepala tim internis atau dokter penyakit, dan dokter saraf Mooein al-Aloul. Mereka meninggal bersama 40 orang lain di permukiman. Pemerintah Israel mengklaim hanya menyerang "struktur bawah tanah" milik lawan mereka, milisi Hamas, di sana.

Sarbini mengutuk serangan udara Israel ke permukiman sipil dan fasilitas kesehatan ini. "Apalagi rumah sakit adalah institusi yang wajib dilindungi, bahkan dalam kondisi perang sekalipun," katanya.

Kerusakan fasilitas kesehatan di Palestina kali ini dinilai lebih parah, bahkan jika dibandingkan dengan kehancuran dalam perang Israel pada 2014 yang berlangsung selama 50 hari. "Saya tak pernah melihat tingkat kerusakan separah ini selama 14 tahun bekerja," ujar petugas medis di Gaza, Samir al-Khatib, seperti dilaporkan The Guardian.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus