Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Dua Teladan Wimar Witoelar

Wimar Witoelar berperan cukup instrumental dalam mendorong terjadinya reformasi 1998. Ia konsisten menjaga marwah demokrasi di tahun-tahun awal pergulatan politik yang mengikutinya.

22 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wimar Witoelar, mantan juru bicara Presiden Republik Indonesia pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid , Jakarta, 13 Agustus 2010. Dok. TEMPO/Jacky Rachmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Wimar Witoelar berpulang pada Rabu, 19 Mei lalu.

  • Wimar Witoelar mengarahkan platform televisi swasta, yang semula salurannya dikuasai oleh bisnis anak-anak Soeharto, menjadi ruang pendidikan politik melalui acara Perspektif yang dipandunya.

  • Ditempa dalam gerakan mahasiswa di masanya, kelihaian Wimar dalam berkomunikasi tumbuh menjadi kekuatannya.

ARNOLD Toynbee, seorang sejarawan terkemuka, sekali waktu menyatakan bahwa sejarah perubahan sejarah sering kali mengandalkan kehadiran apa yang ia sebut sebagai creative minority, yaitu sejumlah kecil orang yang ide dan gagasannya menular dan kemudian diadopsi sehingga menjadi landasan pergerakan zaman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rezim otoritarian di mana pun, termasuk di Indonesia semasa Orde Baru, akan berusaha menghegemoni alam pikir warganya hingga menerima tanpa keberatan kekuasaan tanpa perwakilan dan kekuasaan tanpa kontrol yang memadai dan menerimanya sebagai kewajaran belaka. Di bawah rezim Orde Baru yang hegemonik, mereka yang kritis dan melawan justru dilihat sebagai sekelompok orang aneh di mata masyarakat umum yang menerima ketidakbebasan. Namun, ketika direfleksikan ke belakang, akan disadari peran kelompok minoritas kreatif yang signifikan dalam menjaga semangat perubahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wimar Witoelar salah satu "orang aneh" tersebut, mengingat jejaknya dalam episode peralihan sistem politik kita dari otoritarianisme menuju demokrasi yang hingga hari ini masih berjalan dengan segala pasang-surutnya.

Ditempa dalam gerakan mahasiswa pada masanya, kelihaian Wimar dalam berkomunikasi tumbuh menjadi kekuatannya. Ketika tiba waktunya, platform televisi swasta yang semula salurannya dikuasai (dan mungkin diperuntukkan bagi) oleh bisnis anak-anak Soeharto justru bisa diarahkan Wimar menjadi ruang pendidikan politik lewat acara bincang-bincang Perspektif yang dipandunya. Yang terjadi adalah penyadaran politik secara subtil, tidak hanya bagi pemirsa yang mungkin saat itu sangat apatis terhadap politik, tapi juga untuk mereka para penopang tegak berdirinya Orde Baru. Acara Perspektif di SCTV, yang berlangsung sejak September 1994 hingga September 1995, menjadi medium repertoar yang diperagakan Wimar. Ia berhasil membangun narasi kritis tanpa menjadi nyinyir terhadap beragam persoalan sosial-politik pada tahun-tahun terakhir Orde Baru tersebut.

Agak unik dan ironis bagi Orde Baru bahwa rezim itu justru menanamkan benih kejatuhannya sendiri pada tahun-tahun itu karena memberikan ruang informasi baru berupa saluran televisi swasta di luar monopoli TVRI. Di tangan Wimar, saluran televisi swasta yang awalnya sangat mungkin hanya akan dijadikan ruang hiburan berubah menjadi ruang bagi narasi alternatif, berbeda dengan narasi yang disampaikan melalui operasi mesin politik dan informasi Orde Baru yang membosankan.

Penguasa Orde Baru terlalu terlambat menyadari bahwa acara Perspektif membahayakan kelangsungan rezim. Saat dihentikan, acara itu telah berjalan 70 episode. Pada masa-masa itu, talk show seputar persoalan politik dan humaniora ramai dibuat di radio dan dalam beragam format lain. Selain Tempo yang jauh lebih senior, di awal 1990-an hingga kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998, media cetak dan elektronik perlahan berubah menjadi sumber kritisisme, sedikit mampu berkelit dari cengkeraman Orde Baru, walaupun akhirnya diberangus dengan pembredelan majalah Tempo dan Editor serta tabloid Detik pada 1994. Perspektif yang dipandu Wimar itu berhenti pada 1995, konon belum sempat menyiarkan dua rekaman acara—bersama hakim Benyamin Mangkudilaga yang mengabulkan gugatan Tempo terkait dengan pembredelan tersebut dan rekaman wawancara dengan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang tentu saja saat itu adalah figur yang berdiri berhadapan dengan rezim Orde Baru.

Wimar Witoelar tentu saja tidak bisa dihentikan. Saya beruntung bisa mengenal Wimar untuk pertama kali dalam latar aktivismenya itu. Saat baru lulus kuliah sarjana, saya bekerja di sebuah perusahaan periklanan yang kantornya bersebelahan dengan kantor InterMatrix Communications, perusahaan komunikasi milik Wimar. Masa itu adalah masa krisis moneter yang menghantam Republik dengan keras. Suasana Jakarta panas, nilai tukar rupiah hancur, pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana, demonstrasi mahasiswa pun masif terjadi setiap hari.

Suatu sore, beberapa waktu menjelang kejatuhan Soeharto, kami mendapat undangan dari InterMatrix Communications untuk sebuah acara perbincangan dengan Ron Moreau, wartawan senior majalah Newsweek, yang sedang berada di Jakarta untuk meliput krisis ekonomi (dan politik) di tengah demonstrasi mahasiswa yang makin intensif. Sebagai lulusan baru, saya bersemangat ketika pemimpin tempat kerja saya menawarkan undangan menghadiri acara Wimar bila berminat.

Kantor InterMatrix Communications malam itu penuh sesak dengan para pengusaha. Wimar bertindak sebagai tuan rumah. Diskusi dipenuhi ungkapan kegelisahan para pengusaha mengenai masa depan bisnis mereka yang terpuruk karena krisis. Ungkapan "Soeharto must go" juga bertebaran. Belum lama lulus dari bangku kuliah, saya meradang dalam hati.

Saat memberanikan diri mengangkat tangan meminta berbicara, Wimar dengan baik hati mempersilakan, walaupun tentu saja ia tidak mengenal saya. Sudah jelas pula bahwa saya adalah orang paling muda di ruangan itu dan mungkin paling tidak mengerti apa-apa.

Dengan naif saya mengkritik keras semua yang ada di dalam ruangan malam itu sebagai tipikal kelas menengah yang baru peduli terhadap demokrasi ketika perutnya sendiri yang terancam, sementara sebelumnya mereka adalah bagian dan penikmat struktur rente ekonomi Orde Baru. Tipikal kelas menengah yang bergantung pada penguasa dan kekuasaan. Kapitalis palsu, meminjam istilah Yoshihara Kunio dalam bukunya, The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia (1988), yang pada awal 1990-an edisi terjemahannya, Kapitalisme Semu di Asia Tenggara, dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung.

Atas kelancangan bicara itu, Wimar tidak marah. Justru kami berkenalan dan masih melanjutkan perbincangan sedikit seusai diskusi. Beberapa waktu kemudian, majalah Newsweek terbit, memuat liputan panjang mengenai Orde Baru yang mendekati ujungnya. Dengan jaringan internasionalnya, sejatinya yang dilakukan Wimar dengan menjadi tuan rumah diskusi bersama wartawan asing itu adalah memberikan gentle push melalui pemberitaan Newsweek bahwa legitimasi ekonomi Orde Baru telah bangkrut. Begitu pula legitimasi politiknya.

Pada era pemerintahan Gus Dur, Wimar menyumbangkan dua teladan yang teramat penting. Pertama, di masa kepresidenan yang singkat itu, akibat akrobat politik segelintir orang yang menginterupsi sistem presidensial fixed-term sehingga luka dan dampak buruknya secara institusional terbawa hingga hari ini, Wimar ikut mendemistifikasi Istana dan lembaga kepresidenan. “Istana” tidak lagi ditempati pemimpin yang berlaku bak raja yang tidak bisa disentuh dan dihalangi penggawanya dari banyak orang.

Sebagai juru bicara Gus Dur, Wimar Witoelar membuat dirinya, juga Presiden yang dilayaninya, bisa melakukan komunikasi dua arah secara natural. Wimar mungkin adalah juru bicara kepresidenan yang paling accessible. Kecerdasan dan kepercayaan dirinya membuat ia mampu berdialog tanpa perlu menunjukkan keharusan memenangi perdebatan.

Teladan besar kedua adalah memberi contoh bagaimana hubungannya dengan Presiden adalah hubungan among the equals, hubungan di antara yang sederajat, hubungan kolegial. Wimar memiliki kecakapan intelektual yang bisa mengimbangi intelektualitas Gus Dur. Sebagai “pembisik” terdekat Presiden, hampir pasti bahwa Wimar, lantaran hubungan kerja berbasis kesamaan derajat itu, akan mampu dan berani mengatakan hal paling pahit sekalipun kepada Gus Dur.

Tapi yang melandasi semua itu adalah semangat egalitarianisme yang dijalankan Wimar secara terus-menerus. Ia menjadi mentor banyak penulis dan anak-anak muda tanpa tendensi mempatronasi mereka. Seperti hubungannya dengan Gus Dur, hubungan yang ia bangun dengan anak-anak muda adalah hubungan among the equals. Beragam testimoni tentang Wimar saat ia berpulang pada usia 75 tahun, Rabu, 19 Mei lalu, yang terserak di media sosial menunjukkan hal itu.

Hubungan among the equals dan semangat egalitarianisme yang dijalankan Wimar sepanjang hidupnya adalah teladan bagi kita hari ini. Sebab, Indonesia hari ini adalah Indonesia yang modern, yang sudah seharusnya meninggalkan atmosfer kekuasaan yang feodalistik yang makin tidak relevan dengan zaman yang bergerak cepat.

Selamat beristirahat, WW.

PHILIPS VERMONTE (DIREKTUR EKSEKUTIF CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES/DEKAN FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM INTERNASIONAL INDONESIA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus