Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berebut Rumah Pendiri BTN

Anak pendiri Bank Tabungan Negara menjadi terdakwa karena menempati rumah dinas bekas ayahnya. Status anak pungut menjadi alasan.

21 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIMBUNNYA pohon jarak menutupi bagian depan rumah di Jalan Lamandau IV di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bangunannya terlihat klasik. Atap­nya tinggi dengan kusen yang terlihat kukuh. Berdiri sejak 1950-an, rumah ini salah satu rumah tertua di kawasan yang berdempetan dengan keriuhan pasar burung di Jalan Barito itu.

Rumah 496 meter persegi itulah yang kini diperebutkan Devita Shafiananda, 49 tahun, dan Bank Tabungan Negara (BTN). Devita adalah anak tunggal R. Dahmono, yang menjadi direktur utama bank yang bisnis utamanya kredit pemilikan rumah itu sejak 1967 hingga 1972. Sebelumnya, bank ini milik Belanda, bernama Postpaar Bank, yang berdiri sejak 1897. Postpaar Bank berubah jadi BTN pada 1968 lewat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1968. ”Ayah saya pendiri bank ini,” kata Devita kepada Tempo.

Sejak 1967, Dahmono dan Sri Roekaja—istrinya yang sudah lebih dulu meninggal—menempati rumah itu hingga ia wafat pada 2002. Di sana pula Devita dan Iman P. Moelyadi, suaminya, tinggal bersama empat anak mereka hingga sekarang. Sengkarut rumah dimulai setahun setelah Devita menjadi yatim piatu. Bank berniat menarik rumah yang sertifikatnya atas nama BTN itu agar ditempati pejabat bank lainnya. Devita dan suami membuat penawaran dengan mengajukan diri membeli rumah yang kini ditaksir seharga Rp 5,8 miliar itu. ”Ada ikatan emosional yang kuat antara saya dan rumah ini,” katanya.

Negosiasi dengan BTN awalnya berjalan lancar. Pihak bank membuka diri dengan akan mempersiapkan tim perumus harga dan lelang. Namun hingga tiga tahun, kata Iman, BTN tak kunjung memberi kepastian. Surat permohonan pembelian rumah kembali dilayangkan Devita dan Iman pada 2006. Namun kembali tak direspons. Pada Mei 2010, bagai geledek di siang hari, pasangan yang sudah menikah selama 19 tahun ini menerima surat dari BTN agar mengosongkan rumah tersebut. Rumah mereka juga sempat disatroni siang dan malam oleh belasan orang tak dikenal. ”Mereka (BTN) menggunakan jasa preman untuk meneror rumah kami,” kata Iman.

Mereka tetap bertahan di rumah itu. Berkali-kali mereka mencoba bertemu dengan pejabat BTN, tapi tetap tak ada kesepahaman. Pada Desember 2010, BTN malah melaporkan Devita dan Iman ke polisi karena melanggar Pasal 167 KUHP tentang ”memaksa tinggal di rumah orang lain” dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan. Setelah diadakan pemeriksaan selama setahun, kasus ini mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setahun lalu. Pekan ini keduanya akan menghadapi vonis hakim. ”Di pengadilan, BTN menganggap kami bukan keluarga sah almarhum Pak Dahmono,” kata Iman.

Pada Januari silam, Iman dan Devita mengirim surat ke Kementerian Sekretariat Negara. Mereka mengadu karena merasa dizalimi oleh bank yang dengan susah payah dibangun ayahnya itu. Pemerintah kemudian menyampaikan pengaduan ini ke direksi BTN, dan sebulan kemudian muncul jawaban. Dalam surat itu, BTN menceritakan kronologi sengketa itu lewat versi mereka. Di akhir surat, mereka menyebut Devita bukan anak kandung Dahmono, sehingga tak bisa disebut ahli waris, karena itu tak berhak atas rumah tersebut. ”Devita selama ini hanya mengulur-ulur waktu negosiasi untuk mempertahankan rumah itu,” demikian petikan surat yang ditandatangani Direktur Utama BTN Iqbal Latanro dan wakilnya, Evi Firmansyah, itu.

Devita hanya tertawa bila status kelahirannya dibicarakan. Ketika kasusnya berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia sudah menunjukkan akta kelahiran kepada hakim dan dianggap sah. Artinya, ia memang anak kandung Dahmono. ”BTN hanya menggunakan alasan yang dibuat-buat sendiri,” kata Iman. Juru bicara BTN, Rakhmat Nugroho, saat dihubungi pada Rabu pekan lalu, enggan mengomentari perkara ini. Begitu pula pejabat BTN lainnya yang dicoba dihubungi Tempo. ”Kasus ini masih belum bisa kami ekspos,” kata Rakhmat.

Mustafa Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus