Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI berjenggot putih itu tertatih-tatih memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Pasaman Barat, sekitar 197 kilometer dari Kota Padang. Menyelinap di tengah puluhan orang yang memenuhi ruangan, dia tak tahan lama berdiri. Kursi terdekat, di deretan kedua, segera menjadi penopang tubuh yang mulai renta itu.
Tuanku Makmur, lelaki itu, berharap hakim memberi kemenangan. Tahun ini sudah menginjak 22 tahun ia berjuang tanpa hasil bersama Kaum Simaharajo Batang Gadang, yang dia pimpin. ”Selama ini mereka selalu saja mengelak dan berkelit,” kata kepala suku berusia 71 tahun itu seusai sidang 24 April lalu kepada Tempo.
Atas nama masyarakat adat Nagari Kinali, Pasaman Barat, Tuanku Makmur menggugat tiga pihak sekaligus. Mereka adalah PT Tri Sangga Guna, PT Laras Inter Nusa, dan Bupati Pasaman Barat. Mewakili 1.200 keluarga, Tuanku Makmur menuntut ganti rugi sekitar Rp 3,2 triliun.
Selasa pekan lalu, sidang gugatan perdata Kaum Simaharajo itu kembali digelar. Pada sidang kedua itu, Tuanku Makmur tak hadir karena sakit. Tapi pengikut setianya datang bersama kuasa hukum mereka dari kantor hukum Anwar Rachman & Rekan, Jakarta.
Memang tak ada keributan di ruang sidang. Tapi perjalanan sengketa tanah adat ini bisa dibilang dipenuhi darah dan air mata warga yang tanahnya diambil alih perusahaan. Pada pertengahan 2005, misalnya, pengikut Tuanku Makmur bentrok dengan penjaga lahan adat, yang dikuasai perusahaan swasta. Delapan penduduk terluka hingga diangkut ke rumah sakit. ”Waktu itu kami kehilangan kesabaran,” kata Tuanku Makmur, yang juga pernah dijebloskan ke tahanan polisi karena memperjuangkan tanah leluhurnya itu.
Kasus sengketa tanah ini bermula pada 24 Mei 1989. Waktu itu masyarakat adat di Jorong Langgam, Nagari Kinali, menyerahkan tanah ulayat seluas 7.000 hektare kepada Bupati Pasaman Rajuddin Nur. Tanah tersebut berlokasi di dua desa, yakni Desa Langgam dan Desa Katiagan, Kecamatan Pasaman. Kini tanah itu berada di wilayah Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat. ”Itu bukan tanah adat kami,” kata Tuanku Makmur.
Untuk mengelola tanah tersebut, PT Tri Sangga Guna mengajukan sertifikat hak guna usaha kepada Kantor Pertanahan Pasaman. Sertifikat pun terbit pada 21 Maret 1995. Sertifikat bernomor HGU 1/Desa Langgam itu merujuk pada peta lokasi di Langgam dan Katiagan yang dibuat pada 20 November 1991.
Masalah muncul ketika PT Tri Sangga Guna membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Menurut warga setempat, perusahaan itu membuka lahan di luar peta lokasi. Lahan yang dibersihkan berada di Jorong Anam Koto, Desa Sidodadi, Kecamatan Kinali. Nah, tanah itu milik Kaum Simaharajo. ”Tanah kami diserobot,” ujar Tuanku Makmur.
Tuanku Makmur pernah mengadu kepada Gubernur Sumatera Barat, Bupati Pasaman Barat, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Kehutanan, dan Menteri Pertanian perihal penyerobotan tanah itu. Namun tanggapan pemerintah pusat dan daerah tak memuaskan mereka.
Lantas warga memilih berunjuk rasa. Mereka menuntut ganti rugi atas tanah yang telanjur jadi perkebunan sawit. Mereka pun meminta dibuatkan kebun plasma, perkebunan yang bisa dikelola masyarakat di sekitar perkebunan inti milik perusahaan.
Tekanan itu awalnya cukup ampuh. Menurut Tuanku Makmur, PT Tri Sangga berjanji memenuhi tuntutan warga. Tapi ternyata janji hanya di mulut. Tuanku Makmur dan pengikutnya menghadapi kenyataan pahit. Berulang kali menagih janji, mereka tak kunjung mendapatkan ganti rugi. Tuanku Makmur akhirnya melaporkan kasus penyerobotan lahan itu ke Kepolisian Daerah Sumatera Barat. Waktu itu polisi berjanji menyelesaikan sengketa. ”Tapi janji itu tak terwujud,” ujar bapak 12 anak itu.
Tantangan bagi Kaum Simaharajo kian berat karena PT Tri Sangga ternyata menjaminkan sertifikat tanah garapannya itu ke sebuah bank. Waktu kredit PT Tri Sangga macet, tanah yang jadi bahan sengketa pun dilelang. Lelang dilakukan atas dasar putusan Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping, 25 Februari 2005.
Sebelum lelang terjadi, Tuanku Makmur dan kawan-kawan sempat mengajukan keberatan. Namun keberatan mereka diabaikan, lelang tetap berjalan, dan PT Laras Inter Nusa keluar sebagai pemenang. Tanah adat Simaharajo pun jatuh ke PT Laras, yang belakangan diakuisisi TSH Resources Bhd, kelompok usaha agrobisnis asal Malaysia.
Kaum Simaharajo mencoba lagi bermusyawarah dengan manajemen PT Laras. Tuntutan mereka tak berubah: meminta ganti rugi dan kebun plasma. Perusahaan kembali berjanji memenuhi tuntutan warga. Tapi, lagi-lagi, janji tinggal janji. Warga Kinali pun geram. Mereka kembali berunjuk rasa. Bentrok tak terelakkan ketika petugas keamanan menghalangi aksi massa di sekitar perkebunan sawit itu.
Bentrokan berdarah itu akhirnya membuat Bupati Pasaman Barat Syahiran Lubis, pada 14 Oktober 2005, membentuk tim khusus untuk meneliti kembali kecocokan tanah dan sertifikat yang dipegang perusahaan. Hasil tim itu: kebun sawit PT Laras memang berada di tanah ulayat Kaum Simaharajo. Adapun sertifikat yang dipegang perusahaan merujuk pada tanah di Desa Langgam.
Inilah pertama kalinya pemerintah memihak Tuanku Makmur dan pengikutnya. Rekomendasi tim khusus bentukan bupati itu juga melegakan warga: PT Laras harus membayar ganti rugi dan menyediakan kebun plasma. Tapi belakangan rekomendasi itu ternyata juga mandul. PT Laras terus menguasai seluruh lahan sawit.
Tuanku Makmur dan kaumnya tak menyerah. Pada 4 Februari 2007, mereka menyurati Gubernur Sumatera Barat meminta penyelesaian konflik. Gubernur membalas surat itu dengan meminta Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasaman Barat menghentikan kegiatan PT Laras sebelum ada penyelesaian sengketa dengan penduduk adat. Alih-alih menghentikan paksa kegiatan PT Laras, Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat malah mengeluarkan izin usaha perkebunan baru. Terakhir PT Laras menguasai lahan seluas 14 ribu hektare.
Walau berkali-kali gagal, Tuanku Makmur kembali membuka jalur dialog. Pada 21 Juni 2007, terjadi kesepakatan di kantor DPRD Pasaman Barat. Intinya, PT Laras berjanji membayar ganti rugi Rp 750 ribu per hektare tanah adat. Di samping itu, perusahaan tersebut juga berjanji menyerahkan 60 persen lahan mereka sebagai kebun plasma. ”Tapi mereka kembali ingkar janji,” kata Tuanku Makmur.
Mentok di banyak jalur, Tuanku Makmur dan pengikutnya akhirnya menggugat ke pengadilan. Sejauh ini gugatan itu masih dianggap sepi. Majelis hakim yang dipimpin Admiral sampai dua kali menunda sidang karena tergugat pertama, PT Tri Sangga Guna, tak pernah datang.
Sekretaris Daerah Kabupaten Pasaman Barat Yulizal Bahrin juga mengaku belum tahu bahwa Bupati Pasaman Barat Baharuddin R. turut menjadi tergugat. ”Jika betul, akan kami ikuti proses hukum,” katanya. Tapi, hingga persidangan kedua pekan lalu, Bupati belum menampakkan diri di pengadilan.
Juru bicara PT Laras Inti Nusa, Ali Nasri, menolak berkomentar. Menurut dia, perusahaan sudah menunjuk kuasa hukum perihal kasus ini. ”Saya tak berhak membuat pernyataan,” kata Ali melalui telepon. Adapun Asisten Manajer PT Laras, Sudarto, menyatakan pihaknya tak melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan masyarakat. ”Sudah beberapa kali kami digugat, tapi tak pernah divonis bersalah.” Jadi, kata dia, ”Kami hadapi saja.”
Deputi Kajian dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin menilai langkah masyarakat adat menggugat ke pengadilan sudah tepat. Kalaupun warga menyerahkan tanah adat tanpa paksaan kepada pemerintah daerah, hak kepemilikan tanah tersebut tak bisa dialihkan kepada pihak ketiga. Paling jauh pemerintah hanya bisa memberikan hak pengelolaan lahan. ”Tak bisa sampai hak guna usaha. Makanya bupati bisa digugat,” kata Iwan.
Bila kebun sawit terbukti di luar lahan yang dirujuk sertifikat, kata Iwan, posisi masyarakat adat lebih kuat lagi. Selain bisa digugat secara perdata, perusahaan bisa diseret ke jalur pidana. ”Polisi mestinya segera bergerak,” ujar Iwan.
Jajang Jamaludin (Jakarta), Andri el Faruqi (Pasaman Barat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo