Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jeon Sang-won berdiri tegak di depan jajaran kursi yang ditata seperti di ruang pertunjukan. Tampangnya lempeng. Tangannya memegang tongkat kecil panjang. Di sebelahnya terpajang miniatur kawasan zona demiliterisasi (DMZ), yang menjadi pagar pemisah raksasa antara Korea Selatan dan Korea Utara.
Di belakangnya, dinding kaca bangunan Pos Pengamatan 717 Gunung Kumgang di Gangwon, Korea Selatan, memungkinkan pandangan menerobos jauh. Terlihat jelas kawasan DMZ dan tepian wilayah Korea Utara. Dataran lapang dengan danau kecil bersambung rangkaian pegunungan dan pantai timur Korea yang diwarnai salju di sana-sini serta laut yang membuai. Tapi semua senyap. Apalagi musim dingin tengah membekap.
Sesekali Jeon Sang-won memperingatkan para tamunya, peserta Forum Perdamaian Pyeongchang 2019 yang digelar di sana awal Februari lalu. “No picture,” kata tentara 22 tahun itu.
Rekan-rekannya juga sibuk melarang tamu-tamu bandel yang memotret fasilitas militer yang tertutup bagi warga sipil tersebut. Setelah semua tamu duduk, Jeon mulai berbicara dan tangannya mengarahkan tongkatnya ke miniatur. Seorang tentara muda lain menggerakkan kamera besar ke kawasan Korea Utara. Di layar monitor terlihat jelas kawasan atau bangunan yang disasar kamera. “Arah pukul 14.00. Anda lihat ada bangunan pos keamanan Korea Utara…. Arah pukul 10.00....”
“Sayang sekali,” ujar Gwyn Kirk. Perempuan 73 tahun itu mengungkapkan keprihatinannya setelah mengunjungi Pos Pengamatan, program yang mengakhiri keramaian Forum Perdamaian Pyeongchang. “Penyia-nyiaan hidup, uang, waktu. Anak-anak muda itu telah lebih dari 70 tahun menjaga perbatasan,” tutur anggota Komite Eksekutif Women Cross DMZ asal Amerika Serikat ini.
Nyaris semua tentara yang kami temui sangat muda, termasuk yang mengecek kendaraan rombongan di pos militer sekitar 10 menit sebelum pos pengawasan. Mereka bertugas dalam sunyi di kawasan sepi, padahal daerah ini menyediakan pemandangan yang bisa mengundang keramaian wisatawan. “Saya emosional,” kata Kirk, yang pernah menyeberangi zona demiliterisasi.
Semenanjung Korea terbelah seusai Perang Dunia II ketika pecah perang antara Korea Utara dan Korea Selatan pada 1950. Tiga tahun kemudian perang berhenti, tapi hanya dengan kesepakatan gencatan senjata. Meski perang berlangsung hanya sekitar tiga tahun, dampaknya sangat besar. Sekitar 4 juta orang tewas, 3 juta mengungsi, dan 10 juta keluarga terpisah.
Pagar pun “menjulang” dengan ditetapkannya zona demiliterisasi di sepanjang 250 kilometer garis perbatasan kedua negara, yang lebarnya 2 kilometer masing-masing di utara dan selatan garis perbatasan. Zona ini kemudian juga menjadi kawa-san “mematikan” karena ranjau disebarkan sehingga menjadi “pagar raksasa” penghalang rakyat kedua negara saling kenal dan sapa. Ketegangan pun terus menggelayuti karena kadang ada provokasi di perbatasan.
Tapi perdamaian tetap menjadi impian. Banyak warga Korea dan masyarakat internasional turun tangan. Para perempuan bahkan berdiri di barisan terdepan, “Karena kami tahu konsekuensi kekerasan terhadap perempuan, anak-anak, dan masyarakat,” tutur Christine Ahn, koordinator internasional Women Cross DMZ yang lahir di Korea Selatan dan kini hidup di Amerika Serikat.
Pada Mei 2015, Ahn, Kirk, dan 28 perempuan pejuang perdamaian dari berbagai negara—termasuk penerima Hadiah Nobel Perdamaian dari Irlandia dan Liberia, Mairead Maguire dan Leymah Gbowee—menembus “pagar raksasa” penuh ranjau tersebut. “Itu bertepatan dengan peringatan 70 tahun Perang Korea,” Kirk menjelaskan.
Aksi tersebut menjadi debut besar gerakan Women Cross DMZ. Tujuan utama mereka adalah diakhirinya perang dengan traktat perdamaian dan pelibatan perempuan dalam proses perdamaian. “Studi menunjukkan, bila perempuan dan masyarakat sipil dilibatkan, perdamaian bisa lebih langgeng,” ucap Ahn.
Mereka bekerja sama dengan ribuan perempuan pengusung perdamaian di Korea Utara dan Selatan. Awalnya, mereka mengadakan simposium dan aksi jalan damai bersama di Pyongyang dan Kaesong, Korea Utara. “Mereka banyak menceritakan dampak Perang Korea kepada perempuan dan anak-anak,” kata Kirk. “Juga sanksi yang membuat hidup perempuan dan anak-anak sangat sulit.”
Setelah itu, dengan bus, rombongan tersebut menyeberangi zona demiliterisasi dan langsung disambut ribuan perempuan Korea Selatan. “Tapi ada juga yang memprotes,” Kirk menambahkan. Protes muncul karena Korea Utara dinilai seharusnya diberi tindakan keras.
Mereka kemudian berjalan menyusuri garis batas DMZ di Korea Selatan. Simposium juga digelar di Seoul, Korea Selatan. “Kami tidak ikut menyeberang karena hukum Korea Selatan melarang kami,” kata Ahn-Kim Jeong-ae dari Women Making Peace di Korea Selatan.
Tak mudah mencapai titik tersebut. Ahn menjelaskan, ia dan kawan-kawan harus mendapatkan izin dari Korea Utara, Korea Selatan, dan militer Amerika Serikat yang bertugas di perbatasan dengan bendera Komando Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Tantangan paling berat adalah berurusan dengan pemerintah Korea Utara,” tuturnya.
Menurut Kirk, komunikasi dengan para perempuan Korea Utara tidak bisa langsung, mesti lewat pemerintah. Toh, mereka akhirnya bisa berjalan dan bahkan terus berlanjut. Pada 2016, Women Cross DMZ kembali menggelar pertemuan dengan para perempuan Korea Utara dan Selatan di Bali. “Tapi pertemuan dilakukan terpisah. Pertama dengan delegasi Korea Utara, kemudian dengan delegasi Korea Selatan,” ujar Ahn.
Awalnya, kata Kirk, delegasi Korea Utara mencoba meyakinkan mitra dialognya bahwa negerinya terancam dan memerlukan senjata nuklir. “Tapi akhirnya mereka sepakat hendak mengakhiri perang.”
Pertemuan lebih luas digelar di Beijing, awal Desember 2018. “Kami mengadakan pertemuan perempuan Asia Timur Laut,” ucap Ahn.
Meski demikian, kawasan perbatasan tetap menjadi arena kaum perempuan menyerukan suara perdamaian. Setiap 24 Mei, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional untuk Perdamaian dan Pelucutan Senjata, mereka menggelar aksi jalan damai di sana. “Kami berjalan di sekitar perbatasan, bukan menyeberang,” kata Ahn-Kim Jeong-ae.
Bahkan, Ahn-Kim melanjutkan, ia tengah merancang program Eco-Femi Farm di tanah kawasan demiliterisasi di Panmunjom, tempat pertemuan bersejarah Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong-un, Mei 2018. Maksudnya agar bukan ranjau yang ditanam, tapi tanaman pangan. Namun, “Susah mengurus izinnya,” ujarnya.
Women Cross DMZ dan kawan-kawan, termasuk Nobel Women’s Initiatives, terus berkampanye dan melobi para pengambil kebijakan di masyarakat internasional. Bahkan, saat Presiden Amerika Serikat Donald Trump bertemu dengan Kim Jong-un di Hanoi, Vietnam, dua pekan lalu, mereka juga mengirimkan pesan kepada delegasi kedua negara. Para perempuan itu melihat titik terang perdamaian setelah berbagai perkembangan yang terjadi belakangan ini, meski pertemuan Kim dan Trump di Vietnam tak memberikan hasil yang menggembirakan.
Sejak menjadi Presiden Korea Selatan pada 2017, Moon Jae-in telah beberapa kali bertemu dengan Kim Jong-un. Ia kembali menghidupkan Kebijakan Sinar Matahari—kebijakan gagasan Kim Dae-jung pada 2008 yang memperlunak sikap Korea Selatan terhadap Korea Utara untuk mendorong perdamaian dan rekonsiliasi.
Moon menekankan proyek-proyek kerja sama ekonomi dan pertukaran budaya di antara kedua negara. Kedua Korea juga merencanakan pembangunan jalur kereta api, mengatur reuni keluarga yang terpisah, dan menggelar pertandingan olahraga bersama.
“Saya optimistis,” Christine Ahn menegaskan. Demikian pula Ahn-Kim Jeong-ae dan Gwyn Kirk. “Banyak orang tak percaya (perdamaian akan terwujud), tapi saya yakin,” kata Kirk.
PURWANI DIYAH PRABANDARI (GANGWON)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo