Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Serangan Teror Pemuja Breivik

Pria asal Australia menembak mati puluhan anggota jemaah masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru. Terinspirasi teroris sayap kanan Anders Breivik.

16 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Evakuasi korban penembakan di Masjid Al-Noor di Christchurch, Selandia Baru, 15 Maret 2019./Reuters/SNPA/Martin Hunter

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang pria 28 tahun meng-unggah manifesto setebal 74 halaman di akun Twitternya pada Jumat, 15 Maret lalu. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Brenton Tarrant, kelahiran Australia. Dokumen tersebut memperkenalkan penulisnya sebagai orang kelas pekerja dari keluarga berpenghasilan rendah. “Saya hanya seorang pria kulit putih biasa, dari keluarga biasa, yang memutuskan mengambil sikap untuk memastikan masa depan bagi rakyat saya,” katanya.

Tarrant antara lain mengisahkan perjalanannya ke Prancis pada 2017 yang meyakinkannya bahwa negara itu sedang “diserang orang non-kulit putih”. “Ketika saya duduk di tempat parkir, di dalam mobil sewaan, saya menyaksikan arus penyerbu berjalan melalui pintu depan pusat belanja,” pria itu menulis dalam manifestonya, mengisahkan perhentiannya di sebuah kota menengah di Prancis timur. “Mengapa tidak ada seseorang yang melakukan sesuatu? Mengapa saya tidak melakukan sesuatu?”

Dalam bagian tanya-jawab di dokumen itu, Tarrant mengklaim tidak mencari ketenaran pribadi dan mengaku sebagai orang tertutup. Ia menggambarkan dirinya sebagai etnonasionalis dan fasis. Ia mengungkapkan, rencana serangan ke masjid tersebut sudah disiapkan selama dua tahun. Selandia Baru bukan pilihan awal untuk serangan itu. Lokasi Christchurch pun baru dipilih tiga bulan lalu. “Saya tiba di Selandia Baru untuk tinggal sementara sambil membuat rencana dan berlatih, tapi kemudian saya mendapati Selandia Baru sudah menjadi target seperti negara Barat lain,” ucapnya.

Menurut Washington Post, manifesto -Tarrant berjudul “The Great Replacement” itu merujuk pada judul buku tahun 2012 yang ditulis ahli polemik dari sayap kanan Prancis, Renaud Camus. Dalam buku itu, Camus menguraikan “teori” bahwa mayoritas kulit putih Eropa sedang dalam proses digantikan oleh imigran Afrika Utara dan Sub-Sahara non-kulit putih Afrika, yang sebagian besar muslim.

Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 13.30 waktu setempat, Tarrant datang ke Masjid Al-Noor, Christchurch. Salat Jumat baru saja usai. Dalam video yang ia buat, yang dibagikan di media sosial dan situs-situs berita, Tarrant memarkir mobilnya di sebuah gang sempit di samping masjid. Setelah itu, ia mengambil senjata dari belakang mobil dan melangkah masuk melalui gerbang utama masjid.

Setiba di depan pintu masuk masjid, ia langsung menembakkan senjatanya. Orang-orang tampak jatuh bergelimpangan. Beberapa lainnya tampak menyelamatkan diri dengan berusaha kabur dari pintu belakang. Tarrant terus merangsek maju menuju ruangan utama masjid sambil memberondongkan tembakan ke arah orang-orang yang dilihatnya.

Penembakan dilakukan bertubi-tubi. Tarrant hanya sesekali berhenti untuk mengganti magasin. Begitu magasin baru terpasang, dia mengokang senapan dan mengarahkannya ke pojok-pojok ruangan, tempat para anggota jemaah berkumpul dan meringkuk. Ia tampak memuntahkan tembakan ke arah tubuh korban yang sudah tak bergerak lagi.

Sam Clarke, reporter dari stasiun televisi TVNZ, sedang berbincang dengan beberapa orang di dalam Masjid Al-Noor saat tak lama kemudian terjadi serangan maut itu. “Seorang pria bersenjata api, berpakaian hitam, memakai helm, dan membawa senapan mesin memasuki masjid dan mulai menembaki orang-orang yang menunaikan salat,” kata Clarke.

Tarrant sempat kembali ke mobil untuk mengganti senjatanya. Ia juga menembak lima orang di jalan. Menurut Guardian, setidaknya 41 orang terbunuh dari 300 orang yang diperkirakan sedang beribadah salat di Masjid Al-Noor. Yang terluka dan dibawa ke rumah sakit terdekat lebih banyak.


“Seorang pria bersenjata api, berpakaian hitam, memakai helm, dan membawa senapan mesin memasuki masjid dan mulai menembaki orang-orang yang menunaikan salat.”


Sekitar pukul 14.00, seorang pria bersenjata juga mendatangi Masjid Linwood, yang berada sekitar 6 kilometer dari Al-Noor, dan menembaki jemaah. Polisi mengidentifikasi pria itu adalah Tarrant. Saat itu ada sekitar 70 anggota jemaah di masjid tersebut. Saksi mata mengatakan salah satu anggota jemaah berusaha mengambil senjatanya. Pria bersenjata itu kemudian melarikan diri.

Komisaris Kepolisian Selandia Baru Mike Bush mengatakan sedikitnya 49 orang tewas akibat penembakan Tarrant di Masjid Al-Noor di Deans Avenue dan di Masjid Linwood di pinggiran Christchurch. Sebanyak 41 orang meninggal seketika di Al-Noor dan 7 di Linwood, sementara 1 orang tewas di Rumah Sakit Umum Christchurch. Puluhan korban lain mengalami luka ringan hingga berat. “Serangan ini terencana dengan baik,” tutur Bush seperti dikutip Al Jazeera.

Dua warga negara Indonesia, bapak dan anak, juga menjadi korban tembakan saat berada di Masjid Linwood. Sang ayah, Zulfirmansyah, hingga Jumat malam masih dalam kondisi kritis dan dirawat di rumah sakit. “Anaknya dalam keadaan lebih stabil,” ucap juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir. Enam warga Indonesia lain diketahui berada di Masjid Al-Noor saat terjadi penembakan. Hingga Jumat, 15 Maret, lima di antaranya dilaporkan selamat. Adapun keberadaan satu orang lainnya, Muhammad Abdul Hamid, belum diketahui.

Polisi telah menangkap empat orang, termasuk Tarrant dan satu perempuan, yang dianggap terlibat dalam penembakan massal pertama di Selandia Baru ini. Tarrant didakwa dengan pasal pembunuhan dan akan segera menjalani persidangan. Polisi menjinakkan dua alat peledak rakitan yang dipasang pada mobil serta menemukan sejumlah senjata api di lokasi sekitar dua masjid tersebut.

Video penembakan di Christchurch sempat tersebar di dunia maya karena Tarrant menyiarkan langsung aksi brutalnya itu lewat Facebook, selain lantaran manifesto yang sebelumnya diunggah di media sosial. Tarrant juga merinci identitasnya, alasan menyerang dua masjid di Christchurch itu, serta orang yang menginspirasinya melakukan teror melalui manifesto yang disebar di akun media sosial beberapa jam sebelum ia melancarkan aksinya tersebut.

Tarrant mengaku terinspirasi oleh pembunuh massal dari Norwegia, Anders Behring Breivik, yang membantai 77 orang pada 22 Juli 2011. Hari itu, Breivik meledakkan bom di Regjeringskvartalet, Oslo, menewaskan delapan orang. Dua jam kemudian, ia melakukan penembakan massal di tempat perkemahan di Pulau Utøya, yang merenggut nyawa 69 orang. Breivik mendapat julukan sebagai teroris sayap kanan karena kebenciannya terhadap kelompok muslim. “Saya mengambil inspirasi sejati dari Kesatria Breivik,” tulis Tarrant seperti dikutip Daily Mail.

Ia menganggap Breivik sebagai “kesatria” karena dukungan pria Norwegia itu pada Kesatria Templar, kelompok ekstremis Kristen dari abad ke-12. Ia mengklaim aksinya kini sebagai serangan balasan atas serangkaian aksi teror di Eropa.

Masa lalu Tarrant kini menjadi sorotan media. Menurut media Australia, ABC, -Tarrant diketahui bekerja sebagai pelatih pribadi di Big River Gym di Kota Grafton di bagian utara Negara Bagian New South Wales. Manajer pusat kebugaran, Tracey Grey, mengkonfirmasi pria bersenjata itu adalah Tarrant. Tracey mengatakan Tarrant bekerja di gimnasium setelah menyelesaikan sekolah pada 2009-2011. “Dia pelatih pribadi yang sangat berdedikasi,” ujar Tracey.

Tarrant bekerja untuk waktu yang singkat sebelum menghasilkan uang dari Bitconnect, mata uang kripto seperti Bitcoin. Ia menggunakan uang itu untuk membiayai perjalanannya ke Eropa, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Ia juga ke Korea Utara. Dalam kunjungannya itu, ia tampak sedang berfoto bersama kelompok wisata yang mengunjungi Monumen Besar Samjiyon di Provinsi Ryanggang. Tarrant tidak terlihat sebagai seseorang yang memiliki minat pada senjata api. Namun Tracey menambahkan, “Saya kira pasti ada sesuatu yang berubah dalam dirinya selama bepergian ke luar negeri.”

MAHARDIKA SATRIA HADI (ABC NEWS, SYDNEY MORNING HERALD, CNN, GUARDIAN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus