Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tersengat Gugatan dari Gujarat

Komunitas nelayan di India memenangi gugatan hukum melawan perusahaan afiliasi Bank Dunia. Memutus rantai kekebalan hukum lembaga keuangan global.

16 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penjagaan di depan gedung Mahkamah Agung Amerika Serikat di Washington, DC, Januari 2018./REUTERS/Joshua Roberts

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Budha Ismail Jam akhirnya bisa bernapas lega. Empat tahun setelah gugatan hukum Jam terhadap International Finance Corporation (IFC) bergulir di pengadilan Amerika Serikat, Mahkamah Agung negara itu menyatakan lembaga internasional tidak lagi memiliki kekebalan hukum mutlak.

Bagi Jam dan komunitas nelayan di Mundra, Negara Bagian Gujarat, India, putusan tersebut bersejarah. Mereka dapat menuntut IFC bertanggung jawab atas dampak negatif pembangunan pembangkit listrik yang didanai lembaga itu.

“Ini kemenangan besar warga Mundra,” kata Bharat Patel, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perjuangan untuk Hak Nelayan, menyambut pengumuman Mahkamah Agung Amerika Serikat, Rabu, 26 Februari lalu. Dari sembilan hakim agung, hanya Stephen Breyer- dan Brett Kavanaugh yang tidak mendukung putusan itu.

Kisah Jam bermula dari beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tata Mundra pada 2012. Pembangkit berada di dekat tempat warga mencari ikan di pesisir Tragadi. Di lokasi yang menghadap Teluk Kutch, tidak jauh dari dermaga Mundra, tersebut, dua cerobong raksasa berkelir merah-putih memuntahkan asapnya. Pembangkit berbahan bakar batu bara itu menghasilkan 4.150 megawatt listrik.

Pembangkit Tata Mundra merupakan proyek garapan Tata Power, anak perusahaan Tata Group—salah satu konglomerasi terbesar India. Untuk menuntaskan mega-proyek senilai Rp 57 triliun itu, Tata Power mendapat pinjaman sebesar Rp 6,4 triliun lebih dari IFC pada 2008. IFC adalah perusahaan afiliasi Kelompok Bank Dunia yang memberikan pinjaman kepada perusahaan-perusahaan swasta di negara-negara berkembang.

Dari segi pasokan energi, proyek Tata Mundra terbilang sukses besar. Pembangkit yang melahap 12 juta metrik ton batu bara per tahun tersebut telah mengalirkan listrik kepada 16 juta penduduk di Negara Bagian Gujarat, Maharashtra, Haryana, Punjab, dan Rajasthan. Tapi pembangkit Tata Mundra rupanya menyisakan penderitaan bagi nelayan seperti Jam.

Jam adalah anggota komunitas Wagher, kelompok minoritas muslim di India yang mengandalkan Teluk Kutch sebagai sumber penghidupan selama dua abad terakhir. Setiap kali musim panas, sekitar 1.000 keluarga Wagher—terdiri atas 10 ribu pria, wanita, dan anak-anak—bermigrasi dari desa-desa pedalaman menuju beberapa daerah penangkapan ikan di dekat Mundra.

Mereka mengangkut barang keperluan sehari-hari ke truk sewaan dan membawanya ke tempat-tempat pemancingan berpasir di sepanjang teluk. Di sana mereka mendirikan pondok-pondok kayu berdinding goni dan mendiaminya hingga sembilan bulan tanpa listrik serta aliran air.

Kaum lelaki Wagher memanen ikan dari perahu atau berburu sambil berjalan menyusuri pantai. Para perempuan menyortir ikan tangkapan, mengeringkannya di terali bambu panjang, lalu menyiapkannya untuk dijual di sejumlah pasar di India selatan, Bangladesh, Sri Lanka, juga Nepal.

“Kami hidup berkecukupan,” tutur Jam, mengenang masa lalunya. Pria paruh baya ini menuturkan, ia dan para pria Wagher lain setiap hari mencari ikan dari pukul 8 pagi hingga nyaris tengah malam. Tapi jerih payah mereka terbayar oleh berlimpahnya ikan tangkapan.

Persoalan muncul setelah pembangkit Tata Mundra beroperasi. Menurut Jam dan para tetangganya, Tata Mundra telah mengubah garis pantai yang subur menjadi gersang. Limbah air panas dari sistem pendingin pembangkit yang dibuang melalui kanal ke laut mengancam komunitas ikan. Apalagi saluran pembuangan limbah terletak tepat di sebelah area penangkapan ikan.


“Kekebalan dari semua pertanggungjawaban hukum tidak memajukan tujuan pembangunan yang diusung organisasi internasional,” ucapnya. “Itu hanya membuat mereka menjadi ceroboh, dan itulah yang terjadi di sini (Mundra).”


Hutan bakau dan gumuk pasir, yang dilindungi di bawah hukum India, turut hancur akibat pengerukan pantai untuk pembangunan pembangkit. Padahal bakau adalah tempat pemijahan ikan. Kondisi itu diperparah oleh debu dan abu sisa pembakaran batu bara yang mengganggu pernapasan serta mengotori ikan-ikan yang dikeringkan. “Sukacita kami telah hilang,” ucap Jam.

Jam bersama kelompok nelayan Wagher sebenarnya telah menyampaikan keluhan bahkan sejak Tata Mundra belum beroperasi. Pada Juni 2011, lewat paguyuban nelayan Asosiasi Perjuangan untuk Hak Nelayan, mereka mengadu ke Ombudsman IFC. Mereka mengatakan jumlah ikan tangkapan terus merosot. “Nelayan sulit memperoleh udang dan ikan yang bernilai tinggi. Mereka harus memancing lebih jauh dari pantai,” kata Bharat Patel, yang mendampingi para nelayan.

Ombudsman merespons aduan itu dengan menggelar audit dan penyelidikan independen. Hasil investigasi mereka, yang dirilis pada 24 Oktober 2013, menyebutkan IFC terbukti melanggar aturan sosial dan lingkungannya sendiri. IFC dianggap gagal menjalankan pengawasan serius dalam proyek Tata Mundra. “IFC tidak mempertimbangkan dampak proyek terhadap komunitas nelayan musiman dan populasi minoritas muslim di sana,” tulis Ombuds-man dalam laporannya.

Alih-alih melakukan perbaikan, dua direktur Asia-Pasifik IFC, Anita George dan Willian Balmer, justru menolak temuan Ombudsman. Dalam surat tanggapan setebal sebelas halaman, mereka membela keputusan IFC mendanai proyek Tata Mundra. Mereka juga membela kliennya, Coastal- Gujarat Power Ltd, yang mengoperasikan pembangkit.

Jam dan rekan-rekannya hanya bisa meringis tatkala Presiden Bank Dunia saat itu, Jim Yong Kim, malah mengiyakan tanggapan IFC. “Presiden Kim telah mendukung sikap anak buahnya yang menyangkal temuan ilmiah dan pendapat ahli, serta mendorong manajemen organisasi mengelak dari tanggung jawab,” tutur Patel, menanggapi sikap petinggi Bank Dunia.

Mentok lewat jalur pengaduan, Jam menggugat IFC ke pengadilan federal di Washington, DC—lokasi markas IFC—pada April 2015. Dibantu tim pengacara dari lembaga advokasi EarthRights International, Jam dan asosiasi nelayan Wagher berargumen bahwa IFC telah gagal mengawasi proyek Tata Mundra yang dibiayai perusahaan tersebut. Karena itu, IFC harus bertanggung jawab atas dampak merugikan yang dirasakan komunitas nelayan di sekitar lokasi pembangkit.

Hakim pengadilan distrik John Bates menolak gugatan Jam. Hakim menyatakan IFC tidak bisa digugat karena memiliki kekebalan mutlak di bawah Undang-Undang Imunitas Organisasi Internasional 1945 (IOIA). Tidak puas atas putusan itu, Jam mengajukan permohonan banding. Sayangnya, dia keok lagi setelah panel tiga hakim memperkuat putusan pengadilan sebelumnya.

Tak patah semangat, Jam dan para tetangganya meminta kasasi ke Mahkamah Agung. Mereka menyoroti pasal dalam undang-undang yang menyebutkan bahwa organisasi “publik” seperti Bank Dunia dan IFC, yang terdiri atas negara-negara anggota, termasuk Amerika Serikat, dapat berdiri di atas hukum dan kebal dari gugatan serta segala bentuk proses peradilan seperti dinikmati pemerintah asing.

Dalam putusannya, Mahkamah Agung menganulir kekebalan penuh IFC karena, berdasarkan Undang-Undang Kekebalan Asing 1976, lembaga itu bisa dimintai pertanggungjawaban atas “kegiatan komersial yang memiliki hubungan cukup dekat dengan Amerika Serikat”. Tapi pertimbangan ini tidak berlaku untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dana Moneter Internasional.

Marco Simon, pengacara dari Earth-Rights Inter--national, yang mewakili penggugat, menyambut antusias putusan Mahkamah. “Kekebalan dari semua pertanggungjawaban hukum tidak memajukan tujuan pembangunan yang diusung organisasi internasional,” ucapnya. “Itu hanya membuat mereka menjadi ceroboh, dan itulah yang terjadi di sini (Mundra).”

Bagi Budha Ismail Jam dan kaum nelayan Wagher, putusan bersejarah ini tidak hanya dapat membantu mereka mencari keadilan. Masih ada sederet bencana kemanusiaan dan lingkungan lain yang turut menyeret nama Bank Dunia. Menurut laporan Konsorsium Internasional Jurnalis Investigatif (ICIJ) pada 2015, proyek-proyek yang didanai Bank Dunia dalam beberapa dekade terakhir menyebabkan 3,4 juta orang telantar secara fisik atau ekonomi.

Sepanjang 2009-2013, konsorsium mencatat, Bank Dunia dan IFC telah menginvestasikan lebih dari Rp 700 triliun dalam sejumlah proyek yang dinilai “berisiko tinggi untuk dampak sosial atau lingkungan yang tidak dapat dipulihkan”. Proyek-proyek itu tersebar antara lain di Honduras, Kenya, Ethiopia, serta Laos, dan acap bermasalah seperti yang terjadi di Gujarat.

MAHARDIKA SATRIA HADI (ICIJ, THE NATION, NPR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus