Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sesudah Bhutto, Tak Licin Jalan

Hukuman mati PM. Pakistan Ali Bhutto membuat dunia terkejut. Zia Ul Haq memegang kunci bagi hidup Bhutto. Setelah Bhutto tiada akan muncul huru-hara yang mengancam negeri. (ln)

14 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YA Allah, lindungilah hambamu. Saya tidak bersalah." Kalimat itu diucapkan Zulfikar Ali Bhutto beberapa detik sebelum jerat mencekik lehernya pada dinihari yang dingin itu. Beberapa jam sebelumnya ia diperkenankan mandi, mencukur janggut menikmati makanan dan kemudian membaca beberapa ayat dari kitab suci Al Quran. Kepala penjara muncul dalam sel maut dengan surat perintah eksekusi. Tangan Bhutto diikat - kabarnya mula-mula ia menolak --sebelum akhirnya ia digiring dengan pengawalan ke lapangan tempat tiang gantungan berdiri kukuh sejak penjara Rawalpindi itu didirikan tahun 1870. Dari sel-sel penjara tua itu terdengar sendu suara ayat-ayat suci Al Quran dibacakan oleh sejumlah besar tahanan yang nampaknya mengetahui saat terakhir bagi Bhutto telah tiba. Bhutto muncul di tiang kematiannya dalam pakaian sendiri, bukan dalam pakaian narapidana sebagai yang lazim terjadi. Ia kabarnya meminta agar tali yang meringkus tangannya sedikit direnggangkan. Permintaan itu dipenuhi. Berdiri sabar menanti di sekitar tiang gantungan adalah Tara Masih, seorang tukang gantung profesional yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang kelontong. Upahnya menggantung orang 25 rupee (Rp 1875) tambah bonus sekedarnya. Jam di dinding penjara tua itu menunjukkan pukul 02.00 kurang beberapa menit ketika Masih meloloskan jerat maut itu ke leher Bhutto yang nampak tenang. Ia memeriksa ikatan tangan dan letak kaki terhukum. Semua beres. Dan saat yang dinanti pun tiba. Diperlukan waktu 35 menit untuk mengakhiri semuanya sebelum tubuh tergantung kulai itu diturunkan dari tiang gantungan. Seorang dokter melakukan pemeriksaan. Dan Bhutto, 51 tahun, jabatan terakhir Perdana Menteri Pakistan, secara resmi dinyatakannya mati. Beberapa jam kemudian, ia dimakamkan secara amat sederhana di kota kelahirannya, Larnaka, tanpa dihadiri anak bini dan para pengikutnya. Bhutto diberi kesempatan bertemu isteri dan seorang anaknya sehari sebelum saat kematiannya. Ketika Rabu siang pekan lalu itu Radio Pakistan mengumumkan berita kematian Bhutto, suasana duka dan terkejut tiba-tiba melanda Pakistan. Di berbagai penjuru dunia rasa terkejut menjalar lewat siaran radio, televisi dan berita surat kabar. Para pejabat tinggi -- komunis, kapitalis, Islam, Kristen, Budha -- segera mengetahul usaha mereka menolong Bhutto pada hari-hari sebelumnya sia-sia belaka. Keesokan harinya 6000 pengikut Bhutto mengamuk di Rawalpindi, sementara di berbagai penjuru Pakistan huru-hara juga dilaporkan berkecamuk. Pemerintahan militer menangkap Mumtaz Ali Bhutto, saudara misan Bhutto, dan Hamid Pirzada, bekas Menteri Keuangan dalam kabinet Bhutto, dengan tuduhan menghasut orang banyak di kota Rawalpindi mengobarkan huru-hara sesudah kematian Bhutto. Orang-orang yang melakukan sembahyang gaib untuk Bhutto di taman Liaqat, Rawalpindi, dibubarkan oleh polisi dengan pentungan karet dan gas air mata. Massa melancarkan serangan membabi-buta terhadap kendaraan polisi, pos polisi, kantor suratkabar dan gedung pemerintah. Bahkan bis-bis angkutan umum milik pemerintah jadi sasaran pembakaran. Perusakan terjadi di mana-mana. Penahanan juga terjadi di berbagai tempat. Lebih dari 100 orang ditahan di Larnaka akhir pekan silam. Belum diketahui jumlah seluruh tahanan dari berbagai kota yang dilanda huru-hara. Polisi yang bertopi baja, bertongkat panjang terutama tidak berdaya menghadapi demonstran wanita yang seringkali berada di barisan terdepan gelombang demonstrasi. Mereka meraung-raung dan memukul-mukul tubuh mereka sendiri sembari juga melempari polisi dengan batu atau apa saja yang mereka bisa capai. "Keadaan makin buruk tiap hari. Orang-orang ini menuntut juga semua jenderal dan hakim yang mengadili Bhutto itu segera digiring ke tiang gantungan," kata seorang mahasiswa diantara para demonstran itu. Di tengah-tengah berita tewasnya beberapa demonstran -- yang kemudian dibenarkan oleh polisi -- seorang berteriak: "Ini adalah akhir dari pemerintah ini. Zia (Ul Haq) akan tahu bahwa rakyat di jalan raya ini lebih berkuasa dari para serdadu. " Zia Ul Haq, Presiden, Panglima Angkatan Darat dan Pemegang Kuasa Keadaan Darurat, sampai awal pekan ini memilih berdiam diri. Ia nampaknya masih tetap pada pendiriannya semula. Kepada sejumlah wartawan pernah tahun lalu ia berkata: "Saya tidak berkuasa menolong Bhutto. Kalau toh bisa, saya enggan melakukannya. Setiap orang sama di depan hukum. Bhutto memang pernah menjadi perdana menteri, tapi itu tidak membuatnya berada di atas hukum." Sikap keras Zia yang terkenal fanatik Islam itu -- ia tidak pernah memberi ampun pada sejumlah terhukum mati di Pakistan sejak ia berkuasa - menggelisahkan banyak pemimpin di dunia. Maka telah mengalir sejumlah surat, telegram, pesan pribadi dari berbagai ibukota negara memohon ampunan bagi Bhutto. Yang paling penting datang dari Raja Khaled dari Arab Saudi Zia pernah berkata "Keinginan Raja Khaled adalah perintah bagi saya." Tapi ternyata Raja Khaled pun gagal menyelamatkan nyawa Bhutto. APA pun alasannya, usaha keras ribuan orang untuk menolong jiwa Bhutto itu bukanlah teriakan sepi di tengah hutan. Bersidangnya Mahkamah Agung Pakistan tanggal 6 Pebruari -- membicarakan kembali kasus Bhutto -- haruslah dilihat sebagai hasil desakan dari berbagai penjuru itu. Mahkamah ternyata tetap pada keputusannya yaitu Bhutto harus dihukum gantung karena "memerintahkan pembunuhan politik di tahun 1974." Tapi berbeda dengan keputusan sidang sebelumnya, sidang terakhir mahkamah itu menyebutkan secara jelas Presiden Pakistan sebagai satu-satunya orang yang bisa mengubah hukuman atau membebaskan Bhutto. Zia tetap berdiam diri dan Bhutto tidak minta pengampunan. "Kalau saya mohon pengampunan, itu berarti saya memang bersalah," kata almarhum. Jenderal Zia dari semula memang memperlihatkan sikap benci pada Bhutto. Pernah ia berkata: "Kalau mahkamah menyalahkan Bhutto, akan saya gantung bajingan itu." Bekas perdana menteri itu mungkin yakin pula bahwa Zia tidak akan memberi ampun pada. dirinya. Secara tradisionil di Pakistan terjadi rivalitas kepemimpinan antara orang-orang Sind dan Punjabi. Bhutto orang Sind dan Ziil, orang Punjabi. Tapi para pengamat di Islamabad melihat pula alasan keagamaan sebagai fakor yang makin memperkental permusuhan itu. Bhutto yang suka hidup enak -- senang makan enak, minuman keras dan kehidupan malam -- jelas tidak akur dengan Zia yang saleh, spartan dan fanatik. Dan ketika partai-partai oposisi membongkar "kebobrokan hidup pribadi Bhutto," tidak sulit bagi Zia untuk bersimpati kepada pihak oposisi. Salah seorang pemimpin oposisi itu, Maulana Tufair Mahmood, ketua partai Jamiat El Islami adalah paman Zia. Itulah barangkali sebabnya Zia enggan bertindak terhadap oposisi yang mengobarkan kerusuhan selepas pemilu Maret 1977 di Pakistan yang menggugat kemenangan mutlak PPP pimpinan Bhutto. Waktu itu kabarnya Bhutto sudah bertekad memecat Zia, tapi dua minggu kemudian, Juli 1977, Zia mengambil alih kekuasaan. Beberapa saat setelah pengambilalihan itulah munculnya kembali perkara "Bhutto melakukan pembunuhan politik." Perkara ini sebenarnya perkara lama. Terjadinya pada tanggal 10 Nopember 1974 ketika Ahmad Reza Khan Kasuri, bekas anggota PPP, lolos dari pembunuhan. Peluru yang diarahkan kepada dirinya mengenai dan membunuh ayahnya, Nawab Mohammad Ahmed Khan. "Saya mencurigai kepala pemerintahan negeri ini, Perdana Menteri Ali Bhutto, yang mungkin mencoba melepaskan diri dari saya karena saya terlalu kritis terhadap pemerintahannya akhir-akhir ini," kata Ahmad Reza setelah lolos dari maut. Jaksa tinggi Lahore, Shafiurrahman, yang memeriksa perkara itu tidak menemukan keterlibatan Bhutto. Ahmad Reza kemudian bergabung ke dalam PPP. Ia mengumumkan keputusannya bergabung dengan Bhutto dalam suatu pesta yang diadakannya untuk menghormat Nusrat Bhutto, isteri Ali Bhutto. Tingkah laku Ahmad Reza yang bisa berubah setiap saat itu bukan hal istimewa bagi kalangan politik Pakistan. "Keinginan untuk selalu dekat pada pusat kekuasaan itulah yang membuat dia sulit dipegang," kata seorang politikus tua di Islamabad tahun silam. Ketika ia ditolak menjadi calon PPP dalam Pemilu, ia dengan gampang saja mendekatkan diri kepada partai oposisi. Ditolak di sana, ia maju sebagai calon bebas. Tapi betulkah Bhutto terlibat persekongkolan pembunuhan politik itu? Sampai akhir hayatnya Bhutto menolak tuduhan itu. Tapi 4 anggota Pasukan Keamanan Federal (FSF) di pengadilan mengaku melakukan perintah atasan. Tapi pengakuan ini kemudian meragukan. Contoh: Mian Abbas, seorang direktur FSF -- yang tadinya dianggap dan "mengaku" melakukan tugas menyingkirkan Ahmad Reza -- pada mulanya mengaku tidak tahu menahu rencana pembunuhan itu. Ia kemudian mengaku melakukan pembunuhan setelah disiksa. Tapi kemudian menolak kembali kesaksiannya dan menyebut pemerintah "menekan" dirinya. Seorang saksi penting, seoran bekas perwira polisi, Rao Abdul Rashid, bahkan menulis surat kepada ketua Mahkamah Agung. Dalam surat itu Rashid menuduh para pengacara Angkatan Darat memaksa dirinya berlatih dalam menyampaikan kesaksiannya sebelum sidang. Rashid segera ditahan setelah surat diterima ketua Mahkamah Agung. Yang terus ditahan sejak penangkapannya 18 September 1977 adalah Bhutto. Sebelum itu Bhutto dua kali ditahan -- lepas karena membayar jaminan dengan tuduhan melakukan penculikan politik terhadap seorang lawan politiknya serta melakukan penghinaan terbuka lewat wawancaranya dengan seorang wartawan asing. Terhadap dua penahan sebelumnya, pemerintahan militer Pakistan nampaknya tidak bisa menjerat leher Bhutto. Maka pada saat ia ditahan oleh pengaduan Ahmad Reza, jalan keluar dari penjara bagi Bhutto nampak sudah tertutup. KETIKA Zia mengambil alih jabatan presiden dari Baizal Elahi di bulan September tahun silam, para pengamat hampir sepakat bahwa hal itu terjadi atas desakan para perwira bawahannya. Dengan jabatan presiden di tangannya Zia memegang kunci terakhir bagi hidup matinya Bhutto. Bahkan pemilu Pakistan yang direncanakan Zia bakal dilangsungkan akhir tahun 1977 ditunda hingga tak terbatas. "Pemilu Pakistan de ngan Bhutto yang masih hidup -- di tahan atau dalam pengasingan -- bukanlah jalan aman bagi Zia dan kaum militer yang terlanjur anti Bhutto," kata seorang diplomat di Islamabad Januari lalu. Kini, setelah Bhutto tiada, ternyata jalan juga tidak licin bagi Zia. Huru-hara di Pakistan sekarang kelihatannya bukanlah akhir dari sebuah periode. Bahaya laten --pertentangan antar suku, ancaman dari tetangga, kemerosotan ekonomi -- yang mengancam negeri itu sejak lama diduga muncul lagi ke permukaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus