YA Allah, lindungilah hambamu. Saya tidak bersalah." Kalimat itu
diucapkan Zulfikar Ali Bhutto beberapa detik sebelum jerat
mencekik lehernya pada dinihari yang dingin itu. Beberapa jam
sebelumnya ia diperkenankan mandi, mencukur janggut menikmati
makanan dan kemudian membaca beberapa ayat dari kitab suci Al
Quran. Kepala penjara muncul dalam sel maut dengan surat
perintah eksekusi. Tangan Bhutto diikat - kabarnya mula-mula ia
menolak --sebelum akhirnya ia digiring dengan pengawalan ke
lapangan tempat tiang gantungan berdiri kukuh sejak penjara
Rawalpindi itu didirikan tahun 1870.
Dari sel-sel penjara tua itu terdengar sendu suara ayat-ayat
suci Al Quran dibacakan oleh sejumlah besar tahanan yang
nampaknya mengetahui saat terakhir bagi Bhutto telah tiba.
Bhutto muncul di tiang kematiannya dalam pakaian sendiri, bukan
dalam pakaian narapidana sebagai yang lazim terjadi. Ia kabarnya
meminta agar tali yang meringkus tangannya sedikit
direnggangkan. Permintaan itu dipenuhi. Berdiri sabar menanti di
sekitar tiang gantungan adalah Tara Masih, seorang tukang
gantung profesional yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang
kelontong. Upahnya menggantung orang 25 rupee (Rp 1875) tambah
bonus sekedarnya.
Jam di dinding penjara tua itu menunjukkan pukul 02.00 kurang
beberapa menit ketika Masih meloloskan jerat maut itu ke leher
Bhutto yang nampak tenang. Ia memeriksa ikatan tangan dan letak
kaki terhukum. Semua beres. Dan saat yang dinanti pun tiba.
Diperlukan waktu 35 menit untuk mengakhiri semuanya sebelum
tubuh tergantung kulai itu diturunkan dari tiang gantungan.
Seorang dokter melakukan pemeriksaan. Dan Bhutto, 51 tahun,
jabatan terakhir Perdana Menteri Pakistan, secara resmi
dinyatakannya mati. Beberapa jam kemudian, ia dimakamkan secara
amat sederhana di kota kelahirannya, Larnaka, tanpa dihadiri
anak bini dan para pengikutnya. Bhutto diberi kesempatan bertemu
isteri dan seorang anaknya sehari sebelum saat kematiannya.
Ketika Rabu siang pekan lalu itu Radio Pakistan mengumumkan
berita kematian Bhutto, suasana duka dan terkejut tiba-tiba
melanda Pakistan. Di berbagai penjuru dunia rasa terkejut
menjalar lewat siaran radio, televisi dan berita surat kabar.
Para pejabat tinggi -- komunis, kapitalis, Islam, Kristen, Budha
-- segera mengetahul usaha mereka menolong Bhutto pada hari-hari
sebelumnya sia-sia belaka.
Keesokan harinya 6000 pengikut Bhutto mengamuk di Rawalpindi,
sementara di berbagai penjuru Pakistan huru-hara juga dilaporkan
berkecamuk. Pemerintahan militer menangkap Mumtaz Ali Bhutto,
saudara misan Bhutto, dan Hamid Pirzada, bekas Menteri Keuangan
dalam kabinet Bhutto, dengan tuduhan menghasut orang banyak di
kota Rawalpindi mengobarkan huru-hara sesudah kematian Bhutto.
Orang-orang yang melakukan sembahyang gaib untuk Bhutto di taman
Liaqat, Rawalpindi, dibubarkan oleh polisi dengan pentungan
karet dan gas air mata. Massa melancarkan serangan membabi-buta
terhadap kendaraan polisi, pos polisi, kantor suratkabar dan
gedung pemerintah. Bahkan bis-bis angkutan umum milik
pemerintah jadi sasaran pembakaran. Perusakan terjadi di
mana-mana. Penahanan juga terjadi di berbagai tempat. Lebih dari
100 orang ditahan di Larnaka akhir pekan silam. Belum diketahui
jumlah seluruh tahanan dari berbagai kota yang dilanda
huru-hara.
Polisi yang bertopi baja, bertongkat panjang terutama tidak
berdaya menghadapi demonstran wanita yang seringkali berada di
barisan terdepan gelombang demonstrasi. Mereka meraung-raung dan
memukul-mukul tubuh mereka sendiri sembari juga melempari
polisi dengan batu atau apa saja yang mereka bisa capai.
"Keadaan makin buruk tiap hari. Orang-orang ini menuntut juga
semua jenderal dan hakim yang mengadili Bhutto itu segera
digiring ke tiang gantungan," kata seorang mahasiswa diantara
para demonstran itu. Di tengah-tengah berita tewasnya beberapa
demonstran -- yang kemudian dibenarkan oleh polisi -- seorang
berteriak: "Ini adalah akhir dari pemerintah ini. Zia (Ul Haq)
akan tahu bahwa rakyat di jalan raya ini lebih berkuasa dari
para serdadu. "
Zia Ul Haq, Presiden, Panglima Angkatan Darat dan Pemegang
Kuasa Keadaan Darurat, sampai awal pekan ini memilih berdiam
diri. Ia nampaknya masih tetap pada pendiriannya semula. Kepada
sejumlah wartawan pernah tahun lalu ia berkata: "Saya tidak
berkuasa menolong Bhutto. Kalau toh bisa, saya enggan
melakukannya. Setiap orang sama di depan hukum. Bhutto memang
pernah menjadi perdana menteri, tapi itu tidak membuatnya
berada di atas hukum." Sikap keras Zia yang terkenal fanatik
Islam itu -- ia tidak pernah memberi ampun pada sejumlah
terhukum mati di Pakistan sejak ia berkuasa - menggelisahkan
banyak pemimpin di dunia. Maka telah mengalir sejumlah surat,
telegram, pesan pribadi dari berbagai ibukota negara memohon
ampunan bagi Bhutto. Yang paling penting datang dari Raja Khaled
dari Arab Saudi Zia pernah berkata "Keinginan Raja Khaled adalah
perintah bagi saya." Tapi ternyata Raja Khaled pun gagal
menyelamatkan nyawa Bhutto.
APA pun alasannya, usaha keras ribuan orang untuk menolong jiwa
Bhutto itu bukanlah teriakan sepi di tengah hutan. Bersidangnya
Mahkamah Agung Pakistan tanggal 6 Pebruari -- membicarakan
kembali kasus Bhutto -- haruslah dilihat sebagai hasil desakan
dari berbagai penjuru itu. Mahkamah ternyata tetap pada
keputusannya yaitu Bhutto harus dihukum gantung karena
"memerintahkan pembunuhan politik di tahun 1974." Tapi berbeda
dengan keputusan sidang sebelumnya, sidang terakhir mahkamah itu
menyebutkan secara jelas Presiden Pakistan sebagai satu-satunya
orang yang bisa mengubah hukuman atau membebaskan Bhutto. Zia
tetap berdiam diri dan Bhutto tidak minta pengampunan. "Kalau
saya mohon pengampunan, itu berarti saya memang bersalah," kata
almarhum.
Jenderal Zia dari semula memang memperlihatkan sikap benci pada
Bhutto. Pernah ia berkata: "Kalau mahkamah menyalahkan Bhutto,
akan saya gantung bajingan itu." Bekas perdana menteri itu
mungkin yakin pula bahwa Zia tidak akan memberi ampun pada.
dirinya.
Secara tradisionil di Pakistan terjadi rivalitas kepemimpinan
antara orang-orang Sind dan Punjabi. Bhutto orang Sind dan Ziil,
orang Punjabi. Tapi para pengamat di Islamabad melihat pula
alasan keagamaan sebagai fakor yang makin memperkental
permusuhan itu. Bhutto yang suka hidup enak -- senang makan
enak, minuman keras dan kehidupan malam -- jelas tidak akur
dengan Zia yang saleh, spartan dan fanatik. Dan ketika
partai-partai oposisi membongkar "kebobrokan hidup pribadi
Bhutto," tidak sulit bagi Zia untuk bersimpati kepada pihak
oposisi. Salah seorang pemimpin oposisi itu, Maulana Tufair
Mahmood, ketua partai Jamiat El Islami adalah paman Zia. Itulah
barangkali sebabnya Zia enggan bertindak terhadap oposisi yang
mengobarkan kerusuhan selepas pemilu Maret 1977 di Pakistan yang
menggugat kemenangan mutlak PPP pimpinan Bhutto. Waktu itu
kabarnya Bhutto sudah bertekad memecat Zia, tapi dua minggu
kemudian, Juli 1977, Zia mengambil alih kekuasaan.
Beberapa saat setelah pengambilalihan itulah munculnya kembali
perkara "Bhutto melakukan pembunuhan politik." Perkara ini
sebenarnya perkara lama. Terjadinya pada tanggal 10 Nopember
1974 ketika Ahmad Reza Khan Kasuri, bekas anggota PPP, lolos
dari pembunuhan. Peluru yang diarahkan kepada dirinya mengenai
dan membunuh ayahnya, Nawab Mohammad Ahmed Khan. "Saya
mencurigai kepala pemerintahan negeri ini, Perdana Menteri Ali
Bhutto, yang mungkin mencoba melepaskan diri dari saya karena
saya terlalu kritis terhadap pemerintahannya akhir-akhir ini,"
kata Ahmad Reza setelah lolos dari maut.
Jaksa tinggi Lahore, Shafiurrahman, yang memeriksa perkara itu
tidak menemukan keterlibatan Bhutto. Ahmad Reza kemudian
bergabung ke dalam PPP. Ia mengumumkan keputusannya bergabung
dengan Bhutto dalam suatu pesta yang diadakannya untuk
menghormat Nusrat Bhutto, isteri Ali Bhutto. Tingkah laku Ahmad
Reza yang bisa berubah setiap saat itu bukan hal istimewa bagi
kalangan politik Pakistan. "Keinginan untuk selalu dekat pada
pusat kekuasaan itulah yang membuat dia sulit dipegang," kata
seorang politikus tua di Islamabad tahun silam. Ketika ia
ditolak menjadi calon PPP dalam Pemilu, ia dengan gampang saja
mendekatkan diri kepada partai oposisi. Ditolak di sana, ia maju
sebagai calon bebas.
Tapi betulkah Bhutto terlibat persekongkolan pembunuhan politik
itu? Sampai akhir hayatnya Bhutto menolak tuduhan itu. Tapi 4
anggota Pasukan Keamanan Federal (FSF) di pengadilan mengaku
melakukan perintah atasan. Tapi pengakuan ini kemudian
meragukan. Contoh: Mian Abbas, seorang direktur FSF -- yang
tadinya dianggap dan "mengaku" melakukan tugas menyingkirkan
Ahmad Reza -- pada mulanya mengaku tidak tahu menahu rencana
pembunuhan itu. Ia kemudian mengaku melakukan pembunuhan setelah
disiksa. Tapi kemudian menolak kembali kesaksiannya dan menyebut
pemerintah "menekan" dirinya. Seorang saksi penting, seoran
bekas perwira polisi, Rao Abdul Rashid, bahkan menulis surat
kepada ketua Mahkamah Agung. Dalam surat itu Rashid menuduh para
pengacara Angkatan Darat memaksa dirinya berlatih dalam
menyampaikan kesaksiannya sebelum sidang. Rashid segera ditahan
setelah surat diterima ketua Mahkamah Agung.
Yang terus ditahan sejak penangkapannya 18 September 1977 adalah
Bhutto. Sebelum itu Bhutto dua kali ditahan -- lepas karena
membayar jaminan dengan tuduhan melakukan penculikan politik
terhadap seorang lawan politiknya serta melakukan penghinaan
terbuka lewat wawancaranya dengan seorang wartawan asing.
Terhadap dua penahan sebelumnya, pemerintahan militer Pakistan
nampaknya tidak bisa menjerat leher Bhutto. Maka pada saat ia
ditahan oleh pengaduan Ahmad Reza, jalan keluar dari penjara
bagi Bhutto nampak sudah tertutup.
KETIKA Zia mengambil alih jabatan presiden dari Baizal Elahi di
bulan September tahun silam, para pengamat hampir sepakat bahwa
hal itu terjadi atas desakan para perwira bawahannya. Dengan
jabatan presiden di tangannya Zia memegang kunci terakhir bagi
hidup matinya Bhutto. Bahkan pemilu Pakistan yang direncanakan
Zia bakal dilangsungkan akhir tahun 1977 ditunda hingga tak
terbatas. "Pemilu Pakistan de ngan Bhutto yang masih hidup -- di
tahan atau dalam pengasingan -- bukanlah jalan aman bagi Zia dan
kaum militer yang terlanjur anti Bhutto," kata seorang diplomat
di Islamabad Januari lalu. Kini, setelah Bhutto tiada, ternyata
jalan juga tidak licin bagi Zia. Huru-hara di Pakistan sekarang
kelihatannya bukanlah akhir dari sebuah periode. Bahaya laten
--pertentangan antar suku, ancaman dari tetangga, kemerosotan
ekonomi -- yang mengancam negeri itu sejak lama diduga muncul
lagi ke permukaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini