Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sahabat Saya, Musuh Saya

Kisah Ali Bhutto ketika meminta izin memiliki senjata api, mengunjungi kelab malam, mengunjungi Soviet, mencanangkan perang dengan India sampai diangkatnya jadi presiden TNP formalitas konstitusional. (ln)

14 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Altaf Gauhar, anggota redaksi Guardian Third World Review, pernah menjadi pejabat tinggi Deppen Pakistan. Setelah Bhutto berkuasa, Gauhar yang pada waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi harian Dawn ditahan karena mengeritik penguasa. Berikut ini beberapa kutipan Gauhar dalam The Guardian menjelang Bhutto digantung. CUACA buruk sekali pada pagi hari bulan September 1958, ketika dalam kamar hotel di Bloombsbury saya mendengar kabar bahwa di Pakistan telah diumumkan Hukum Perang, Undang-Undang Dasar dibatalkan, dan Dewan Perwakilan dibubarkan. Peristiwa ini secara mendadak menghentikan berbagai kegiatan, antara lain kursus dua-tahun yang sedang saya ikuti pada London School of Economics Ayub Khan kini berkuasa. Sepulang di Pakistan saya disuruh menghadap pada Kementerian Perniagaan. Menterinya ialah Zulfikar Ali Bhutto, 30 tahun. Secara yang tak dapat dipahami, untuk beberapa minggu lamanya, tugas saya tidak ada. Maka saya mencurahkan perhatian kepada arsitektur Buddhist, suatu soal yang cukup adem pada masa kegandrungan Hukum Perang itu. Saya sibuk dengan itu, ketika suatu hari Bhutto denan tiba-tiba memanggil saya supaya menghadap di kantornya, lalu dia bertanya, mengapa saya tidak diberi tugas. Saya mengaku tidak mengetahuinya. "Sebabnya ialah karena anda pernah berlaku kasar terhadap saya." Bila? 'Tiga tahun yang lampau, tatkala saya datang ke kantor anda meminta izin senjata api," katanya. Pada waktu itu saya menjabat hakim, dan untuk memulihkan ingatan saya, diceritakannya peristiwa itu, dengan meniru-niru suara dan gerak-gerik saya sehingga saya menjadi malu. Saya telah bertanya, "Sudah berapa izin senjata api yang anda miliki" Sahutnya, sudah ada 23. Maka saya menolak permintaannya. Yang mengherankan saya bukanlah bahwa ia telah gusar -- karena izin senjata api merupakan lambang status -- tapi bahwa dia dapat mengulangi setiap detil dengan teliti. "Namun saya bersedia melupakan segala itu. Biarlah kita bersahabat sekarang!" Maka kami pun menjad sahabat. BHUTTO merobah Ayub Khan sebagai pahlawan, tokoh bapak yang agung. Dia seperti Kemal Ataturk, bila ia mengemukakan pembaharuan dan perubahan, dan bagaikan Abraham Lincoln, bila ia membahas pokok-pokok demokrasi. Pada masa perencanaan UUD tahun 1961-62, Bhutto bertambah rapat dengan Ayub Khan. Bhutto berikhtiar memperkokoh kedudukan Presiden dalam susunan ketatanegaraan. Presiden harus menjadi pengemban segala kekuasaan, dan pejabat-pejabat lain hanya merupakan punggawanya. Tiada diperlukan Dewan Perwakilan Propinsi. Cukuplah Dewan Legislatif di pusat, dipimpin oleh Presiden. Malah pernah ia menyarankan kepada Ayub Khan, bahwa mungkin sistim monarkhi merupakan pemecahan tepat atas masalah konstitusionil Pakistan. Setelah diresmikan UUD tahun 1962, Menlu Pakistan Mansur Qadir, seorang ahli hukum konstitusionil mengundurkan diri dari Kabinet. Bhutto sangat menginginkan, namun jabatan ini diberikan kepada Mohamad Ali Bogra dari Pakistan Timur. "Ini idamanku semenjak masa kecil " kata Bhutto. Dan idaman itu pun terlaksana, tatkala Bogra wafat, dan Bhutto diangkat menjadi Menlu. Ayub Khan menang dalam pemilihan. Dan Bhutto senantiasa mendorong Ayub Khan dalam bidang baru dan mencapai kemenangan baru. Hubungan Pakistan-Amerika dengan cepat memburuk. Kawan Amerika yang paling erat semakin terang-terangan menggugat kebijaksanaan Amerika. "Yang kami kehendaki ialah kawan dan bukan majikan," ujar Ayub Khan. Sementara itu India memperkuat angkatan bersenjatanya, menimbulkan kecemasan Pakistan. Sementara Ayub Khan masih menghendaki Pakistan mempertahankan kebijaksanaan "bersandar kepada India", Bhutto menganjurkan suatu bentrokan di Kashmir dan dia berhasil mengajak para pembesar militer dan sipil yang penting untuk menyetujui pendapatnya. Menlu yang bersikap agresif dan berperangai cemerlang itu sudah menjadi tokoh yang mempesonakan. Segala ucapannya diperhatikan seluruh dunia, dan dia sangat disenangi dunia media. Seluruh dunia kagum atas tindakannya di Aljazair pada peristiwa Konperensi Asia-Afrika yang gagal dalam bulan Juni 1965. Beberapa hari menjelang permulaan konperensi itu Ben Bella telah digeser oleh Kolonel Boumedienne dalam suatu kup tentara. Sebagian besar utusan negara telah hadir di Algiers. Rombongan demonstran berjalan kian kemari di depan hotel saya, sambil berteriak "Boumedienne assassin, Boumedienne pembunuh ", dan tembak-menembak berlangsung secara sporadis. PERUTUSAN Indonesia telah membawa suatu pesawat penuh bermuatan penari. Dan sementara kaum pendukung Ben Bella masih bertempur di jalan raya Algiers, para utusan Asia-Afrika dari 70 negara menikmati keramahan dan hidangan Indonesia. Malam kesenian itu selesai sekitar jam 2 pagi, dan Bhutto menyatakan kehendaknya untuk mengunjungi klab malam Al Jamila. Niatnya itu tak dapat dihalangi: Dan keruan saja kelab malam itu sunyi senyap. Pada perjalanan kembali ke hotel, mobil kami ditahan pada suatu pos penjagaan, dan digeledah habis-habisan. Mujur saja sekretarisnya Bhutto mahir berbahasa Perancis, dan kami dapat pulang bebas, tanpa kesukaran lagi. Besok paginya Bhutto kembali cemerlang. Dia menghadiri rapat panitia persiapan konperensi, dan berhasil memecahkan segala permasalahan dalam waktu beberapa jam. Panitia itu akhirnya mengumumkan suatu komunike yang disetujui bersama. PERANG India-Pakistan tahun 1965 pada hakekatnya merupakan perangnya Blutto. Memang tak mungkin bahwa ia yang merancangkan segala gerakan dari semula, menjadi jelas sekali bahwa ia mempunyai pengaruh yang menentukan atas perjalanan peristiwa itu. Terutama dialah yang meyakinkan Ayub Khan agar menyetujui operasi tentara di Kashmir yang diberi nama sandi Gibraltar. Operasi itu merupakan malapetaka sejak permulaannya. Apa yang dibayangkan sebagai suatu aksi lokal ternyata berkembang menjadi perang besar-besaran. Menlu yang ulung itu membawa negaraya ke dalam suatu situasi yang tak tertolong. Pihak India membalas dengan kuat dan serangan Pakistan dalam waktu singkat dilumpuhkan. Dalam kabinet Bhutto mengalami serangan keras dengan tuduhan bahwa ia telah menyesatkan pemerintah. Bhutto menangis, bercucuran air matanya, dan dengan membingungkan semua hadirin dinyatakannya, "karir politik saya kini tamat!" Namun siapakah yang kalah perang bukan Bhutto, yang dalam waktu singkat menyerang pihak India habis-habisan dalam sidang Dewan Keamanan. Bukan pula para panglima tentara, yang membanggakan kemenangan gemilang dalam sektornya masing-masing. Tiap-tiap kompi Pakistan telah menundukan suatu brigade India. Maka nyatalah bahwa yang kalah perang hanyalah Ayub Khan, yang tidak dapat membanggakan suatu kemenangan di mana pun. MEMANG suatu masa sedih terdapat setelah gencatan senjata dalam bulan September 1965. Ayub Khan berdiam diri selama berbulan-bulan. Ketika pihak Soviet menawarkan untuk mengatur suatu pertemuan India-Pakistan, Ayub Khan meragukan bahwa pertemuan semacam ini dapat menghasilkan sesuatu. Ayub Khan telah berhasil menjalin suatu hubungan dengan para pemuka Soviet pada waktu ia berkunjung ke Rusia beberapa bulan sebelumnya. Kunjungan pertama ini oleh suatu Presiden Pakistan, telah berlangsung baik, dan terutama Bhutto sangat senang dan bersikap sangat santai. Pada hari terakhir disuguhkan wodka pada waktu sarapan, wodka pula di Akademi Tank, anggur putih pada santapan siang, disusul dengan beberapa gelas brandy untuk toast -- maka pada waktu senja Bhutto sudah cukup mabuk. Malam itu kami dijamu makan di Istana Kremlin. PM Kosygin duduk di tengah-tengah bersama Presiden Ayub Khan pada sebelah kanan dan Brezhnev di seberangnya. Bhutto dengan senyuman bahagia dengan cepat menghabiskan hidangan zakuski, lalu dihabiskannya acar bawang dari piring Podgorny, kemudian mengulurkan tangan hendak mengambil acar mentimun dari piring Gromyko. Namun ia dicegah dengn teguran "Berlakulah wajar saja, Zulfikar!" dalam bahasa Urdu oleh Ayub Khan. Namun suasana yang santai itu tidak berhasil mengurangkan dukungan Soviet kepada India. Ayub Khan tiada melihat sesuatu bukti bahwa pihak Soviet akan menggunakan pengaruhnya untuk membantu Pakistan. Maka ia kecewa bahwa pihak Barat menyerahkan segala inisiatif di wilayahnya kepada pihak Uni Soviet. DI Tashkent kami ditampung pada rumah peristirahatan bernama "Sikavishnia", sedang Ayub Khan dan PM India Shastri masing-masing diberi villa tersendiri. Seperti sudah diduga, pertemuan itu mengalami kesulitan dan segera menemui jalan buntu berkenaan dengan soal kedua pihak sepakat menghindarkan setiap kekerasan dalam menyelesaikan segala persengketaan. BEBERAPA bulan setelah pertemuan Tashkent itu Ayub Khan memecat Bhutto. Memang seluruh kebijaksanaannya terhadap India ternyata gagal. Waktu ia melepaskan jabatannya, terdapat banyak simpati kepadanya. Ia berhasil meyakinkan kalangan posisi bahwa ia di jatuhkan karena tekanan Amerika. Pada waktu itu perasaan anti-Amerika kian meningkat dan orang mudah saja percaya kepada pernyataan Bhutto. Dalam pemilihan tahun 1970 Pakistan People's Party pimpinan Bhutto berhasil menang mayoritas kursi di Punjab dan Sind, namun partainya tidak berhasil mendapat satu kursi pun di Pakistan Timur ataupun di Baluchistan, dan hanya memperoleh satu kursi saja di Propinsi Batas Barat-Laut. Di pihak lain Sheikh Mujibur Rahman dengan Liga Awaminya telah memperoleh mayoritas atas dasar keseluruhan negara. Bhutto mengistilahkan mayoritasnya Mujib itu sebagai "despotisme terpilih." Pihak tentara maupun pihak Bhutto tidak bersedia menyerahkan kekuasaan negara kepada Liga Awami. Hasil pemilihan itu hanya menegaskan perpisahan dasar di negara itu. Maka Yahya Khan mengambil keputusan untuk terus menegakkan kekuasaannya dan dibawanya negara pada arah bentrokan yang hanya dapat berakhir dengan bencana dan kehancuran. Setelah pasukan Pakistan menyerah di Dacca, yang menjadi soal hanyalah: Dapatkah Pakistan hidup terus? Pihak tentara telah terhina, para politisi yang mendukung Ayub Khan kehilangan kepercayaan rakyat, para pemimpin suku Pathani dan Baluchi terkucil. Harapan bangsa hanyalah Bhutto, satu-satunya tokoh yang mampu menuntut kekuasaan. Khalayak ramai bersedia melupakan riwayat lama Bhutto. Hanya dialah yang memiliki kemampuan politik dan administratif untuk memulihkan kerukunan bangsa. Namun tindakannya yang pertama setelah menerima jabatannya menyingkapkan belangnya. Bhutto diakui sebagai pemuka demokrasi yang terpilih dan diangkat menjadi Presiden Pakistan tanpa suatu formalitas konstitusionil ataupun legislatif. Dan Bhutto masih merasa perlu mengangkat dirinya sebagai Penguasa Tertinggi Sipil Hukum Perang. PERSAHABATAN kami mulai rusak semenjak Bhutto meninggalkan Kabinet Ayub Khan. Tapi ketika saya mengambil alih pimpinan redaksi Dazun (harian berbahasa Inggeris) dipandangnya ini sebagai suatu ancaman terhadap dirinya. Dalam pada itu ia telah membuang segala kedok demokrasi dan mulai berlaku, seolah-olah negara menjadi milik pribadinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus