Altaf Gauhar, anggota redaksi Guardian Third World Review,
pernah menjadi pejabat tinggi Deppen Pakistan. Setelah Bhutto
berkuasa, Gauhar yang pada waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi
harian Dawn ditahan karena mengeritik penguasa. Berikut ini
beberapa kutipan Gauhar dalam The Guardian menjelang Bhutto
digantung.
CUACA buruk sekali pada pagi hari bulan September 1958, ketika
dalam kamar hotel di Bloombsbury saya mendengar kabar bahwa di
Pakistan telah diumumkan Hukum Perang, Undang-Undang Dasar
dibatalkan, dan Dewan Perwakilan dibubarkan. Peristiwa ini
secara mendadak menghentikan berbagai kegiatan, antara lain
kursus dua-tahun yang sedang saya ikuti pada London School of
Economics Ayub Khan kini berkuasa.
Sepulang di Pakistan saya disuruh menghadap pada Kementerian
Perniagaan. Menterinya ialah Zulfikar Ali Bhutto, 30 tahun.
Secara yang tak dapat dipahami, untuk beberapa minggu lamanya,
tugas saya tidak ada.
Maka saya mencurahkan perhatian kepada arsitektur Buddhist,
suatu soal yang cukup adem pada masa kegandrungan Hukum Perang
itu. Saya sibuk dengan itu, ketika suatu hari Bhutto denan
tiba-tiba memanggil saya supaya menghadap di kantornya, lalu dia
bertanya, mengapa saya tidak diberi tugas. Saya mengaku tidak
mengetahuinya. "Sebabnya ialah karena anda pernah berlaku kasar
terhadap saya." Bila? 'Tiga tahun yang lampau, tatkala saya
datang ke kantor anda meminta izin senjata api," katanya. Pada
waktu itu saya menjabat hakim, dan untuk memulihkan ingatan
saya, diceritakannya peristiwa itu, dengan meniru-niru suara dan
gerak-gerik saya sehingga saya menjadi malu.
Saya telah bertanya, "Sudah berapa izin senjata api yang anda
miliki" Sahutnya, sudah ada 23. Maka saya menolak
permintaannya.
Yang mengherankan saya bukanlah bahwa ia telah gusar -- karena
izin senjata api merupakan lambang status -- tapi bahwa dia
dapat mengulangi setiap detil dengan teliti. "Namun saya
bersedia melupakan segala itu. Biarlah kita bersahabat
sekarang!" Maka kami pun menjad sahabat.
BHUTTO merobah Ayub Khan sebagai pahlawan, tokoh bapak yang
agung. Dia seperti Kemal Ataturk, bila ia mengemukakan
pembaharuan dan perubahan, dan bagaikan Abraham Lincoln, bila ia
membahas pokok-pokok demokrasi. Pada masa perencanaan UUD tahun
1961-62, Bhutto bertambah rapat dengan Ayub Khan. Bhutto
berikhtiar memperkokoh kedudukan Presiden dalam susunan
ketatanegaraan. Presiden harus menjadi pengemban segala
kekuasaan, dan pejabat-pejabat lain hanya merupakan punggawanya.
Tiada diperlukan Dewan Perwakilan Propinsi. Cukuplah Dewan
Legislatif di pusat, dipimpin oleh Presiden. Malah pernah ia
menyarankan kepada Ayub Khan, bahwa mungkin sistim monarkhi
merupakan pemecahan tepat atas masalah konstitusionil Pakistan.
Setelah diresmikan UUD tahun 1962, Menlu Pakistan Mansur Qadir,
seorang ahli hukum konstitusionil mengundurkan diri dari
Kabinet. Bhutto sangat menginginkan, namun jabatan ini diberikan
kepada Mohamad Ali Bogra dari Pakistan Timur. "Ini idamanku
semenjak masa kecil " kata Bhutto. Dan idaman itu pun
terlaksana, tatkala Bogra wafat, dan Bhutto diangkat menjadi
Menlu.
Ayub Khan menang dalam pemilihan. Dan Bhutto senantiasa
mendorong Ayub Khan dalam bidang baru dan mencapai kemenangan
baru. Hubungan Pakistan-Amerika dengan cepat memburuk. Kawan
Amerika yang paling erat semakin terang-terangan menggugat
kebijaksanaan Amerika.
"Yang kami kehendaki ialah kawan dan bukan majikan," ujar Ayub
Khan. Sementara itu India memperkuat angkatan bersenjatanya,
menimbulkan kecemasan Pakistan.
Sementara Ayub Khan masih menghendaki Pakistan mempertahankan
kebijaksanaan "bersandar kepada India", Bhutto menganjurkan
suatu bentrokan di Kashmir dan dia berhasil mengajak para
pembesar militer dan sipil yang penting untuk menyetujui
pendapatnya. Menlu yang bersikap agresif dan berperangai
cemerlang itu sudah menjadi tokoh yang mempesonakan. Segala
ucapannya diperhatikan seluruh dunia, dan dia sangat disenangi
dunia media.
Seluruh dunia kagum atas tindakannya di Aljazair pada peristiwa
Konperensi Asia-Afrika yang gagal dalam bulan Juni 1965.
Beberapa hari menjelang permulaan konperensi itu Ben Bella telah
digeser oleh Kolonel Boumedienne dalam suatu kup tentara.
Sebagian besar utusan negara telah hadir di Algiers. Rombongan
demonstran berjalan kian kemari di depan hotel saya, sambil
berteriak "Boumedienne assassin, Boumedienne pembunuh ", dan
tembak-menembak berlangsung secara sporadis.
PERUTUSAN Indonesia telah membawa suatu pesawat penuh bermuatan
penari. Dan sementara kaum pendukung Ben Bella masih bertempur
di jalan raya Algiers, para utusan Asia-Afrika dari 70 negara
menikmati keramahan dan hidangan Indonesia. Malam kesenian itu
selesai sekitar jam 2 pagi, dan Bhutto menyatakan kehendaknya
untuk mengunjungi klab malam Al Jamila. Niatnya itu tak dapat
dihalangi: Dan keruan saja kelab malam itu sunyi senyap. Pada
perjalanan kembali ke hotel, mobil kami ditahan pada suatu pos
penjagaan, dan digeledah habis-habisan. Mujur saja sekretarisnya
Bhutto mahir berbahasa Perancis, dan kami dapat pulang bebas,
tanpa kesukaran lagi.
Besok paginya Bhutto kembali cemerlang. Dia menghadiri rapat
panitia persiapan konperensi, dan berhasil memecahkan segala
permasalahan dalam waktu beberapa jam. Panitia itu akhirnya
mengumumkan suatu komunike yang disetujui bersama.
PERANG India-Pakistan tahun 1965 pada hakekatnya merupakan
perangnya Blutto. Memang tak mungkin bahwa ia yang
merancangkan segala gerakan dari semula, menjadi jelas sekali
bahwa ia mempunyai pengaruh yang menentukan atas perjalanan
peristiwa itu. Terutama dialah yang meyakinkan Ayub Khan agar
menyetujui operasi tentara di Kashmir yang diberi nama sandi
Gibraltar. Operasi itu merupakan malapetaka sejak permulaannya.
Apa yang dibayangkan sebagai suatu aksi lokal ternyata
berkembang menjadi perang besar-besaran. Menlu yang ulung itu
membawa negaraya ke dalam suatu situasi yang tak tertolong.
Pihak India membalas dengan kuat dan serangan Pakistan dalam
waktu singkat dilumpuhkan. Dalam kabinet Bhutto mengalami
serangan keras dengan tuduhan bahwa ia telah menyesatkan
pemerintah. Bhutto menangis, bercucuran air matanya, dan dengan
membingungkan semua hadirin dinyatakannya, "karir politik saya
kini tamat!"
Namun siapakah yang kalah perang bukan Bhutto, yang dalam
waktu singkat menyerang pihak India habis-habisan dalam sidang
Dewan Keamanan. Bukan pula para panglima tentara, yang
membanggakan kemenangan gemilang dalam sektornya masing-masing.
Tiap-tiap kompi Pakistan telah menundukan suatu brigade India.
Maka nyatalah bahwa yang kalah perang hanyalah Ayub Khan, yang
tidak dapat membanggakan suatu kemenangan di mana pun.
MEMANG suatu masa sedih terdapat setelah gencatan senjata dalam
bulan September 1965. Ayub Khan berdiam diri selama
berbulan-bulan. Ketika pihak Soviet menawarkan untuk mengatur
suatu pertemuan India-Pakistan, Ayub Khan meragukan bahwa
pertemuan semacam ini dapat menghasilkan sesuatu. Ayub Khan
telah berhasil menjalin suatu hubungan dengan para pemuka Soviet
pada waktu ia berkunjung ke Rusia beberapa bulan sebelumnya.
Kunjungan pertama ini oleh suatu Presiden Pakistan, telah
berlangsung baik, dan terutama Bhutto sangat senang dan
bersikap sangat santai. Pada hari terakhir disuguhkan wodka pada
waktu sarapan, wodka pula di Akademi Tank, anggur putih pada
santapan siang, disusul dengan beberapa gelas brandy untuk toast
-- maka pada waktu senja Bhutto sudah cukup mabuk.
Malam itu kami dijamu makan di Istana Kremlin. PM Kosygin duduk
di tengah-tengah bersama Presiden Ayub Khan pada sebelah kanan
dan Brezhnev di seberangnya. Bhutto dengan senyuman bahagia
dengan cepat menghabiskan hidangan zakuski, lalu dihabiskannya
acar bawang dari piring Podgorny, kemudian mengulurkan tangan
hendak mengambil acar mentimun dari piring Gromyko. Namun ia
dicegah dengn teguran "Berlakulah wajar saja, Zulfikar!" dalam
bahasa Urdu oleh Ayub Khan.
Namun suasana yang santai itu tidak berhasil mengurangkan
dukungan Soviet kepada India. Ayub Khan tiada melihat sesuatu
bukti bahwa pihak Soviet akan menggunakan pengaruhnya untuk
membantu Pakistan. Maka ia kecewa bahwa pihak Barat menyerahkan
segala inisiatif di wilayahnya kepada pihak Uni Soviet.
DI Tashkent kami ditampung pada rumah peristirahatan bernama
"Sikavishnia", sedang Ayub Khan dan PM India Shastri
masing-masing diberi villa tersendiri. Seperti sudah diduga,
pertemuan itu mengalami kesulitan dan segera menemui jalan buntu
berkenaan dengan soal kedua pihak sepakat menghindarkan setiap
kekerasan dalam menyelesaikan segala persengketaan.
BEBERAPA bulan setelah pertemuan Tashkent itu Ayub Khan
memecat Bhutto. Memang seluruh kebijaksanaannya terhadap India
ternyata gagal. Waktu ia melepaskan jabatannya, terdapat banyak
simpati kepadanya. Ia berhasil meyakinkan kalangan posisi bahwa
ia di jatuhkan karena tekanan Amerika. Pada waktu itu perasaan
anti-Amerika kian meningkat dan orang mudah saja percaya kepada
pernyataan Bhutto.
Dalam pemilihan tahun 1970 Pakistan People's Party pimpinan
Bhutto berhasil menang mayoritas kursi di Punjab dan Sind, namun
partainya tidak berhasil mendapat satu kursi pun di Pakistan
Timur ataupun di Baluchistan, dan hanya memperoleh satu kursi
saja di Propinsi Batas Barat-Laut.
Di pihak lain Sheikh Mujibur Rahman dengan Liga Awaminya telah
memperoleh mayoritas atas dasar keseluruhan negara. Bhutto
mengistilahkan mayoritasnya Mujib itu sebagai "despotisme
terpilih." Pihak tentara maupun pihak Bhutto tidak bersedia
menyerahkan kekuasaan negara kepada Liga Awami.
Hasil pemilihan itu hanya menegaskan perpisahan dasar di negara
itu. Maka Yahya Khan mengambil keputusan untuk terus menegakkan
kekuasaannya dan dibawanya negara pada arah bentrokan yang
hanya dapat berakhir dengan bencana dan kehancuran.
Setelah pasukan Pakistan menyerah di Dacca, yang menjadi soal
hanyalah: Dapatkah Pakistan hidup terus? Pihak tentara telah
terhina, para politisi yang mendukung Ayub Khan kehilangan
kepercayaan rakyat, para pemimpin suku Pathani dan Baluchi
terkucil. Harapan bangsa hanyalah Bhutto, satu-satunya tokoh
yang mampu menuntut kekuasaan.
Khalayak ramai bersedia melupakan riwayat lama Bhutto. Hanya
dialah yang memiliki kemampuan politik dan administratif untuk
memulihkan kerukunan bangsa. Namun tindakannya yang pertama
setelah menerima jabatannya menyingkapkan belangnya. Bhutto
diakui sebagai pemuka demokrasi yang terpilih dan diangkat
menjadi Presiden Pakistan tanpa suatu formalitas konstitusionil
ataupun legislatif. Dan Bhutto masih merasa perlu mengangkat
dirinya sebagai Penguasa Tertinggi Sipil Hukum Perang.
PERSAHABATAN kami mulai rusak semenjak Bhutto meninggalkan
Kabinet Ayub Khan. Tapi ketika saya mengambil alih pimpinan
redaksi Dazun (harian berbahasa Inggeris) dipandangnya ini
sebagai suatu ancaman terhadap dirinya. Dalam pada itu ia telah
membuang segala kedok demokrasi dan mulai berlaku, seolah-olah
negara menjadi milik pribadinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini