SAYA dilahirkan untuk membangun bangsa, memimpin rakyat," begitu
Zulfikar Ali Bhutto pernah berkata di depan sidang Mahkamah
Agung bulan Pebruari tahun silam. Ia lahir dari keluarga
terpandang -- ayahnya Sir Shahnawaz Bhutto, seorang pejabat
tinggi di Bombay dan Sind pada zaman penjajahan Inggeris.
Mendapatkan pendidikan tinggi di Amerika dan Inggeris, Bhutto
nampaknya memang ditakdirhan untuk berwatak "congkak". (Karena
watak demikian itulah rupanya ia manolak mengajukan permohonan
ampun kepada Zia-ul-Haq).
Bhutto masih mahasiswa di Berkeley, California, ketika Ali
Jinnah memproklamasikan berdirinya Pakistan di tahun 1947. Ia
melihat Republik Islam Pakistan untuk pertama kalinya di tahun
1954, dan memulai karirnya sebagai pengacara sekaligus pengajar
ilmu hukum konstitusi pada Karachi's Sind Muslim College di
tahun yang sama.
Kecerdasan dan kepribadiannya! yang menonjol dengan cepat
menarik perhatian kalangan politik. Pada tahun 1957 Bhutto
menjadi salah seorang anggota delegasi negerinya ke PBB. Dalam
waktu yang sama, Bhutto berhasil menarik perhatian Presiden
Iskandar Mirza. Pengacara muda berdarah Sind itu tiba-tiba
menemukan dirinya menjadi ketua delegasi Pakistan pada
konperensi hukum laut internasional di Jenewa di tahun 1958.
Di tahun 1958 itu juga Presiden Iskandar Mirza yang
"mengagumi"nya digulingkan oleh Jenderal Ayub Khan. Dan penguasa
baru itu ternyata juga terkesan oleh pengacara muda ini, dan
bahkan mengangkatnya menjadi Menteri Perniagaan. Bhutto baru
saja mencapai umur 30 tahun. Itulah pertama kalinya Pakistan
mempunyai seorang menteri berusia muda.
Sekali lagi Bhutto tertolong oleh pergantian penguasa.
Jenderal Ayub Khan digulingkan oleh Jenderal Yahya Khan pada
tahun 1967. Dan Bhutto bebas untuk aktif kembali sebagai ketua
partai. Pada pemilihan umum pertama Pakistan tahun 1970, Bhutto
dengan PPP-nya mencapai kemenangan gemilang. Kabarnya Bhutto
sendiri terkejut, "saya sebenarnya tidak membayangkan dukungan
demikian luas, " pengakuannya kemudian.
Kemenangan itu membuka babak baru dengan cakrawala jauh bagi
karir politik Bhutto. Dari pidato serta program partainya, debat
di parlemen maupun wawancara persnya, terlihat jelas bahwa
Bhutto merupakan politikus tak tertandingi oleh lawannya. Pada
saat itulah pula terjadinya musibah besar bagi Pakistan perang
pembebasan Bangladesh. Campur tangan India memaksa Pakistan
merelakan Pakistan Timur menjadi Bangladesh ketika ribuan
tentaranya menjadi tawanan di India.
Penghinaan ini idak tertahankan oleh Presiden Yahya Khan yang
kemudian mengundurkan diri. Satu-satunya yang bisa
menggantikannya masa inl cuma Bhutto. Dan Bhutto pun menjadi
presiden pada usia 43 di bulan Desember 1971. Membebaskan
,tentara yang menjadi tawanan India, ia berangsur memulihkan
harga diri negerinya.
Bhutto merevisi konstitusi Pakistan dan menjadi perdana menteri
negerinya pada tahun 1973. Ia menjadi tangkai harapan bagi
rakyatnya. Di mana-mana ia bicara tentang perlunya roti, kapra,
aur makan (pangan, sandang dan perumahan) bagi rakyat banyak.
Dan dengan slogan "Sosialisme Islam" ia melancarkan
nasionalisasi besar-besaran terhadap kegiatan industri dasar,
perbankan, asuransi jiwa, perkapalan, minyak goreng dan
prosesing pertanian. Pada saat kebijaksanaan ini menyenangkan
rakyat kecil, perekonomian negara menjadi makin tercekik.
Perusahaan yang berada di tangan para birokrat tidak berjalan
wajar, sedang pemilik modal mengungsikan kapital mereka. Bhutto
secara diam-diam kabarnya mengakui kegagalannya. "Saya memang
bukan ahli ekonomi," begitu ia dikutip.
Bhutto ternyata bukan politikus yang tahan kritik. Kecaman keras
maupun lembut, semuanya dengan cepat membuatnya berang. Dan
dengan Undang-undang Darurat -- yang berlaku sejak perang
Bangladesh -- Bhutto dengan mudah menggiring lawan-lawan
politiknya ke dalam penjara. Ratusan orang dipenjarakan,
sejumlah pertemuan politik dibubarkan dengan kekerasan, puluhan
orang terbunuh. Lawan politiknya yang hilang tanpa jejak jua
menjadi bahan pembicaraan. Dalam periode inilah terbunuhnya
Nawab Mohammad Ahmed Khan Kasuri, yang kemudian menjadi perkara
yang menarik leher Bhutto ke tiang gantungan.
Tantangan terbuka dialami Bhutto di tahun 1977. Pemilu bulan
Maret tahun itu dimenangkan secara hampir mutlak oleh PPP.
Partai oposisi menolak mengakui hasil pemilu itu dengan alasan
"Bhutto melakukan kecurangan." Ini menimbulkan ketegangan yang
kemudian berubah menjadi kekerasan dan huru-hara. Puluhan orang
mati, luka parah atau menjadi penghuni tahanan dalam kerusuhan
yang berlangsung selama 3 bulan sebelum pada akhirnya militer
pimpinan Jenderal Zia-ul-Haq mengambilalih kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini