BUNG Tomo, 58 tahun, lagi sembahyang maghrib di kamar tahanan
ketika sedan Primier biru metalic B 1583 EG masuk halaman
perkampungan tahanan Nirbaya di pinggir selatan Jakarta, Senin
sore kemarin. Isteri dan ketiga anak Bung Tomo turun. Mereka
menjemput Bung Tomo yang hari itu bebas setelah ditahan setahun.
Tepat jam 19.00, menjelang Isya, Bung Tomo keluar. Wajahnya
gembira, ia tampak lebih sehat tapi tambah gendut. "Habis, di
sini makan melulu. Lagi pula ada larangan dokter untuk senam, "
katanya setengah berteriak.
Ia mengenakan baju hangat dari wool abu-abu. Ada 7 tas dan 3
ember plastik, 1 koper dan 1 ranjang lipat dibawanya pulang.
Juga sebuah kompor. Selama ditahan ia memang suka memanaskan
sayur kiriman isterinya atau menggoreng telur sendiri. Tampaknya
ia tidak kesepian. Sebab ada hikmah paling besar yang
dirasakannya, ialah jiwanya yang semakin dekat kepada Tuhan.
"Sembahyang di Nirbaya rasanya lebih tenang dan mantap,"
katanya.
Banyak penghuni Nirbaya yang menganggap Bung Tomo aneh. "Saya
juga dikira cengeng, karena suka nangis," katanya lagi.
Terutama, katanya, ketika bendera Merah Putih dikibarkan di
halaman Nirbaya pada peringatan 17 Agustus. "Bendera itu bikinan
isteri saya sendiri," tuturnya. Pagi hari, setiap kali sang
bendera dikerek, Bung Tomo mengambil "sikap hormat" dari kamar
tahanannya yang berjarak 100 meter dari halaman upacara.
Bersama Bung Tomo, ada 2 tokoh lagi yang juga bebas: Wakil
Sekjen PPP Mahbub Djunaidi, 46 tahun, dan Rektor Universitas
Muhammadiyah Ismail Suny, 49 tahun. Ketiganya dituduh subversi
dan ditahan setahun. Belakangan menurut seorang pejabat tinggi
Hankam, mereka dituduh "menghasut mahasiswa." Cuma Mahbub yang
harus berbaring 11 bulan di RS Gatot Subroto karena menderita
darah tinggi. Pembebasan itu diungkapkan oleh Jaksa Agung Ali
Said sesaat setelah menghadiri pelantikan Badan Pembina
Pelaksanaan Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (BP7) di Istana Negara Senin paginya.
Menurut Ali Said, berdasarkan pemeriksaan sementara tak ada
alasan lagi menahan mereka bertiga. "Mereka bebas tanpa
syarat," katanya.
Penjual Tulisan
Senin siang itu, ketiga tahanan dibawa ke Kejaksaan Agung,
diterima oleh Asisten Khusus Jaksa Agung, Singgih. Mereka
menerima surat pembebasan. "Sebagai ahli hukum, saya sudah tahu
sebelumnya tentang pembebasan ini. Penahanan perkara subversi
paling lama kan setahun," ujar Suny.
Mahbub, meski tampak agak kurusan tapi gembira. Tekanan darahnya
yang dulu mencapai 200, sudah mereda sclitar 140 dan 150. Yang
paling tampak cerah adalah Bung Tomo. Begitu istrinya datang ke
Kejaksaan Agung, kontan Bung Tomo membopongnya. "Ini sudah,
nazar saya. Kalau saya bebas, saya akan membopong isteri saya.
Dialah yang begitu tabah setiap hari menengok dan mengirim
makanan ke Nirbaya," katanya.
Dari Kejaksaan Agung, mereka kembali ke Nirbaya. Siang itu juga,
Mahbub dan Suny pulang, sementara Bung Tomo menunggu jemputan
keluarga sampai sore hari. Mahbub tak menduga bakal bebas ketika
Senin siang itu dibawa petugas ke kejaksaan Agung. Dua hari
sebelumnya saya masih diperiksa perkara subversi itu," katanya
kepada Karni Ilyas dari TEMPO.
Tuduhan itu, menurut cerita kolumnis Mahbub, bukan lantaran
tulisan-tulisannya. Tapi karena pembicaraannya di beberapa
seminar dan diskusi, juga waktu kampanye untuk PP. Apa
rencananya kini? "Menulis," jawabnya "Saya ini tukang jual
tulisan. Selama masih ada yang mau membeli saya akan tetap
menjual," tambahnya.
Dan selama dalam tahanan, "si penjual tulisan" ini ternyata
berhasil menterjemahkan buku The Road to Ramadhan karangan
wartawan Mesir Hassanain Heikal, yang sudah ia kirim kesebuah
penerbit di Bandung. Ia juga sempat menulis novel, "tapi tak
sempat menulis artikel," katanya. Betapa pun, yang paling
gembira tampaknya Ny. Tuti, isteri Mahbub yang di Pasar Minggu,
Jakarta. Pembebasan suaminya, bagi Tuti "melebihi masa
penganten, karena dari duka menjadi bahagia," katanya. "Dua
bulan lalu mas Mahbub pingsan di kamar mandi rumah sakit, tak
ada yang tahu. Tapi kemudian siuman sendiri."
Ismail Suny, dengan Mercedes putih 220 S, pulang ke rumahnya di
Jalan Jenggala Kebayoran Baru. Ia juga tampak lebih sehat.
"Dengan badminton tiap hari, berat badan saya turun. Dulu 72
kg, sekarang 66 kg," katanya kepada A. Margana dari TEMPO.
Selama ditahan ia tak sulit mendapat bacaan, terutama buku-buku
ilmiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini