Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sesumbar fujio

Menteri pendidikan jepang, masayuki fujio, menolak campur tangan kor-sel & rrc terhadap penyusunan buku sejarah jepang. diduga fujio mengetes situasi, apakah jepang bebas dari kecurigaan militerismenya. (ln)

16 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASAYUKI Fujio, 69, bikin geger. Baru tiga hari dilantik sebagai menteri pendidikan, ia sudah menantang tetangga terdekat dengan sikap "Ini dadaku mana dadamu!" Bicara keras dalam satu konperensi pers di Tokyo pekan silam, tokoh tua itu menggebrak Korea Selatan dan RRC. Seakan belum cukup, ia kemudian mengecam pihak Sekutu yang dituduhnya telah "dengan segala cara memutar balik sistem pendidikan Jepang". Akhirnya Fujio mengimbau rakyat agar mengibarkan Hinomaru di rumah masing-masing. Hinomaru, yang berlatar putih dengan bulatan merah di tengah, tidaklah cuma sekadar bendera. Bagi banyak negara Asia dan Pasifik, Hinomaru melambangkan invasi militer Jepang semasa Perang Dunia II. Karena itu, sinyalemen Fujio tak ubahnya menorehkan luka lama. Rakyat Jepang sendiri banyak yang terkesiap mendengar gagasan Fujio, sementara Korea Selatan dan RRC sukar sekali menahan rasa amarah. Malah buku sejarah Jepang yang jadi masalah. Sejak tahun 1982, Seoul dan Beijing sudah mengirimkan protes empat kali sehubungan dengan isi buku yang dinilai tidak mengungkap kebenaran sejarah yang sesungguhnya. Di situ, misalnya, tidak tercantum istilah shinrayaku -- yang berarti invasi militer -- sementara sistem kekaisaran Jepang cenderung dibagus-baguskan. Sebagai bangsa yang pernah sangat disengsarakan oleh keganasan aksi militer Jepang itu, Korea dan RRC merasa berhak menuntut agar penulisan buku diubah. Tuntutn itu diperhatikan oleh pemerintahan Nakasone, satu hal yang rupanya tidak berkenan di hati Fujio. "Apakah para penggugat," demikian tokoh tua itu membahasakan Korea Selatan dan RRC, "tidak pernah melakukan kegiatan semacam itu (maksudnya ekspansi militer) sepanjang sejarah?" Harian The Korean Times kontan menjawab, "Dalam sejarah modern, RRC tidak pernah menyerang Jepang, sedangkan Korea Selatan justru diserang oleh Jepang." Sejumlah demonstran kemudian menggempur kedutaan Jepang di Seoul, sedangkan Menpen Lee Won-hong menyindir, "Generasi Jepang masa kini tidak merasa bertanggung jawab untuk segala tindakan nenek moyang mereka." Dari Beijing juga tercetus penyesalan yang bernada sama. PM Yasuhiro Nakasone tidak dapat berbuat lain kecuali menyatakan penyesalan untuk kesalahpahaman itu. Ia sudah "dipermalukan" oleh seorang pembantunya, tapi para pengamat berpendapat lain. Menurut mereka, fakta belum tentu mencerminkan keadaan sebenarnya. Peri laku Fujio tidak dengan sendirinya bisa diterima sebagai pantulan pandangan dan sikap politiknya yang ultrakonservatif. Mengapa? Kuat dugaan, Fujio "berbuat onar" dengan sengaja. Singkatnya, ia telah diperalat Nakasone untuk sekadar mengetes "keadaan cuaca". Dan tes itu membuktikan bahwa situasi lingkungan belum memungkinkan bagi Jepang untuk bebas dari kecurigaan. SEJAK berkuasa empat tahun silam Nakasone bertekad membebaskan kehidupan dan alam pikiran Jepang dari beban dosa PD II di satu pihak, dan mengikis kecurigaan dunia terhadap bahaya militerisme Jepang di pihak lain. Namun, ziarah yang dilakukannya ke kuil Yasunuki -- tempat 750 korban perang dimakamkan -- telah memancing reaksi keras dari banyak negara tetangga. Tidak heran jika ziarah itu tidak akan diulanginya 15 Agustus pekan ini -- untuk menghindari protes -- tapi ada delapan menteri yang kabarnya ganti berkunjung ke sana. Mereka akan bersembahyang untuk para pahlawan Jepang, korban perang mahadahsyat yang dilancarkan sendiri oleh pemimpin-pemimpin masa lalu. Sementara itu, ada kesan bahwa ziarah Yasunuki ini merupakan pembenaran untuk perang yang pada gilirannya pembenaran pula untuk militerisme Jepang. Dan ini tentu saja dengan mudah menyulut kecurigaan apalagi Fujio tiba-tiba saja memancing kekeruhan. Untuk apa? Mungkin sekadar aba-aba, supaya para tetangga tidak kaget oleh peningkatan anggaran pertahanan Jepang di atas 1% dari GNP. Mungkin juga sebagai isyarat bahwa zaman telah berubah dan yang perlu ditakuti kini bukan Jepang tapi satu negara adidaya nun di sana. Isma Sawitri Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus