Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kereta Api Republik Indonesia adalah contoh sempurna betapa ketololan itu bisa diawetkan untuk diestafetkan menjadi lebih konyol lagi. Lokomotif-lokomotif perkasa tampak bagai kepala yang kosong, yang tak mau tahu segala sesuatu. Rangkaian gerbong di belakangnya merupakan rangkaian kebohongan, dengan pembenaran selalu berada di atas sepasang rel yang tak pernah bisa bertemu di ujungnya. Stasiun-stasiun merupakan tempat penyiksaan dan penyekapan, lengkap dengan calo dan ketakpedulian petugasnya. Ruang tunggu yang tak nyaman diduduki, bau pesing dari toilet yang memasang harga, papan petunjuk arah yang masih perlu dipertanyakan, dengan papan pengumuman kedatangan kereta yang tak mencantumkan kapan datang, serta pengeras suara yang meneriakkan ada kereta apa di rel berapa yang menganggap semua penumpang tuli, semua menyatakan ciri-ciri masyarakat terbelakang, tak tertata, tak beretika.
Kereta api mungkin sudah mati. Dan mayatnya diperas berkali-kali untuk disedot rezekinya. Dan selalu, korbannya adalah masyarakat.
Dosa terbesar kereta api yang terutama, dan utama, adalah bahwa ia merupakan baja tua yang tak bisa diajak bicara. Ia hanya mendengus-dengus kelelahan. Ia seperti tak bisa disalahkan, sehingga upaya untuk berdialog dengannya menjadi "jeblok" dan dianggap kebodohan yang lain. Siapa yang mau mengeluhkan keterlambatan mereka, karena akan sia-sia mempersoalkan. Kalau dalam gerbong yang tadinya ada pesawat televisi, ada gorden, kemudian tak ada lagi, yang tersedia adalah supaya maklum. Bahkan kalau kereta api nabrak, atau tabrakan, atau anjlok?dengan korban jiwa yang terkapar?sudah ada pegawai yang ditangkap, diperiksa, dan dilupakan. Pegawai-pegawai sudah lama dijinakkan dengan gaji kecil?walau seragamnya bagus, mewah, dan suka-suka kegedean?untuk mencari obyekan. Mereka berbagi pekerjaan yang bisa dikerjakan satu atau dua tenaga?pembawa nasi ada sendiri, pembawa minuman lain lagi, pemeriksa karcis lain lagi, pengawalnya juga beda, bagian diesel turut mondar-mandir, juga bagian kebersihan, dan disusul yang menjajakan minyak wangi atau kacamata, atau tambahan selimut dan bantal. Yang setelah pekerjaan yang hanya sekali, mereka bergerombol di kereta makan atau tidur di sambungan. Mereka ini patut dikasihani karena dijadikan oli kotor yang busuk menetes-netes, karena manajemen yang buruk dan tak beres.
Dan sungguh astaga, hal seperti ini terjadi dalam beberapa generasi: sejak penumpangnya para pejuang yang kita lihat dalam film-film lama, sampai berbeda presiden, berbeda menteri. Transformasi kedunguan berlangsung mulus. Tak ada yang mengendus, tak ada yang mempersoalkan, tak ada reformasi, tak ada orde. Tak ada Front Pembela Penumpang Kereta Api, atau demo karyawan kereta api, atau para pengasong, atau para kuli, atau lembaga swadaya masyarakat. Kereta api yang begitu besar, yang setiap hari terlihat, yang setiap kehadirannya terasakan dengan adanya kemacetan di persimpangan dan suara kelonengan, ternyata melahirkan keputusasaan baru: akan selalu begitu. Penumpang di atap yang kesambar kawat atau jembatan, yang main kartu di dalam, pengamen yang maksa, kondektur yang berat badannya berbeda saat naik dan saat turun?karena diberati uang logam?dempetan tubuh yang melahirkan keisengan secara rutin, semua dimatikan karena merasa tak ada gunanya mempersoalkan.
Benarkah begitu sejak Daendels membuat rel pertama? Mungkin tidak juga. Dari tradisi lisan, kita dapat menemukan bahwa, pada suatu ketika, kereta api tepat waktu. "Kereta api mau ditunggui tapi tak mau menunggu" adalah ungkapan bahwa keberangkatan tak bisa ditunda. Semua sesuai dengan jadwal. "Ketinggalan kereta" adalah istilah yang mengungkapkan kesalahan penumpangnya, mencerminkan ketinggalan zaman, menggambarkan ketidakdisiplinan. Loko yang besar, gagah perkasa itu juga pernah menjadi cerminan sikap rendah hati. "Loko yang begitu besar saja tidak malu untuk mundur", apalagi manusia yang kepalanya bukan dari batu atau baja.
Dalam tradisi lisan yang sama, ada sejumlah lagu yang tercipta yang menggambarkan betapa akrabnya hubungan masinis-kondektur dengan penumpang, betapa nyamannya naik di dalamnya, betapa bangga dan berharganya bantuan kereta api. Lagu-lagu yang tercipta dengan sendirinya, tanpa sponsor atau perintah. Lahir secara spontan dan meriah.
Lagu-lagu itu sudah lama berlalu. Tapi kereta api masih melaju. Lagu-lagu keluhan tak terciptakan karena lebih baik membisu.
Tak ada yang mempedulikan lagi kalau masih selalu terlambat, kalau masih ada tabrakan sesama kereta, tabrakan dengan kendaraan lain, pergantian gerbong, atau apa saja. Masyarakat dan alam yang selalu salah: karena banjir, karena kekeringan, karena rel tua, dan atau kalau dari penyelenggaranya, karena ada oknum terkutuk yang mengantuk atau alpa mengganti sinyal. Menakjubkan bahwa hal ini berlangsung terus-menerus, dan mencapai puncaknya saat-saat Lebaran, saat-saat liburan, saat-saat? setiap saat.
Sebagai penumpang yang membayar?berapa pun harga akan dinaikkan, dengan alasan apa pun?kita berduka. Berduka berat karena kita dipaksa dalam ketololan sempurna, tempat kebohongan adalah benar, bahwa penderitaan dan penyiksaan dalam perkereta-apian adalah takdir, bahwa kecelakaan di kereta api adalah nasib buruk, bahwa naik kereta api adalah pilihan bukan paksaan, bahwa kita sesungguhnya bangsa yang bodoh dan tak pernah belajar sedikit pun dari kebodohan itu.
Kita adalah pengguna tapi sekaligus juga kereta api itu sendiri, yang selalu dikorbankan, disalahkan, dari sejak pemberangkatan, selama di perjalanan, sampai di tujuan akhir.
Kereta api telah lama mati. Dan mayatnya masih akan diperas berkali-kali. Lokomotif tak malu untuk mundur, tapi pejabat malu kalau mundur. Karena kebodohan membawa berkah, dan jalanan adalah rezeki untuk anak istri cucu menantunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo