Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAL Chowk, jantung Srinagar, ibu kota musim panas Negara Bagian Jammu dan Kashmir yang berada di bawah pemerintah India, sepi sepanjang hari pada Jumat tiga pekan lalu. Sebagai kota berpenduduk mayoritas muslim dan pada saat menjelang musim dingin Kashmir yang menggigit hampir tiba, Lal Chowk siang itu semestinya penuh orang berbelanja keperluan musim dingin seusai salat Jumat. Tapi toko-toko tutup, sementara militer hadir secara besar-besaran di jalan-jalan dan hanya ada beberapa pria yang menghindari kawat berduri di dekat Ganta Ghar, jam yang merupakan ciri khas kota itu.
"Kami tutup karena kami ingin merdeka," kata Adul Majid, pemilik toko kelontong kecil yang sudah berumur 38 tahun. Bersama toko-toko lain di Lal Chowk, toko Majid telah menyaksikan bermacam-macam konfrontasi bersenjata dan selamat dari bencana alam—seperti banjir pada 2014—selama tiga dasawarsa.
Sementara penutupan toko adalah kemauan orang per orang, penutupan tiga masjid utama di Srinagar dan layanan Internet merupakan perintah negara untuk mencegah protes jalanan menjadi kian besar. Masjid Jame sudah ditutup selama 15 pekan terakhir dan setiap Jumat pagi penjagaan di sekitarnya sangat ketat.
DI depan pintu tokonya yang setengah tertutup, Adul Majid bercerita tentang bagaimana warga Kashmir menderita karena memperjuangkan penentuan nasib mereka sejak pendudukan India atas Lembah Kashmir pada 1947. Bagi banyak warga Kashmir, 1947 adalah tahun "hitam". Saat itu Raja Hari Singh bersepakat dengan India menjadikan Kashmir bagian dari India.
Hari yang disebut sebagai pencaplokan India pada 26 Oktober 1947 itu diikuti dengan pemberontakan rakyat, Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 47 pada 1948, perlawanan bersenjata pada 1989, Perang Kargil pada 1999, dan banyak protes berdarah-darah ataupun yang berlangsung damai sepanjang 2008-2010 hingga saat ini. Sebanyak 100 ribu warga Kashmir tewas dan 10 ribu hilang akibat perlakuan pasukan keamanan India sejak pemberontakan pada 1989. Jumlah korban termasuk yang dihilangkan secara paksa mencapai 600 ribu sejak 1947. Kisah dan statistik yang sama diulang puluhan kali oleh siapa saja di Kashmir, di kota-kota besar ataupun desa-desa terpencil Lembah Kashmir bagian tengah dan utara, antara 24 dan 29 Oktober lalu, ketika Tempo berada di sana.
"Kami memutuskan untuk membuka toko kami hanya tiga hari dalam sepekan setelah pukul 5 sore, seperti disarankan oleh kalender Hurriyat, sebagai protes terhadap kebrutalan India," ujar Majid.
Hurriyat adalah sebutan ringkas dari kelompok perlawanan gabungan yang memperjuangkan kemerdekaan Kashmir, All Parties Hurriyat Conference, yang dibentuk pada 1993. Kelompok ini merilis kalender protes mingguan. Yang dikecualikan dari kegiatan protes adalah apotek dan rumah sakit untuk keadaan darurat, pedagang sayuran dan buah-buahan kaki lima, toko roti, serta angkutan semacam becak untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
PEMOGOKAN kolektif dari rakyat biasa Kashmir selama dua bulan terakhir menyebar di sekitar Lembah Kashmir dari wilayah Kashmir Selatan, tempat seorang komandan muda Hizbul Mujahideen tewas. Pada 8 Juli lalu, komandan militan pro-kemerdekaan berusia 21 tahun bernama Burhan Muzaffar Wani itu tewas oleh pasukan keamanan India. Muzaffar Wani menjadi fenomena berkat jangkauan perlawanannya terhadap India di media sosial.
Pembatasan kegiatan, termasuk larangan layanan telekomunikasi di Lembah Kashmir, secara resmi diumumkan pemerintah negara bagian segera setelah insiden itu untuk meredam amarah di sana dan berlangsung hingga 31 Agustus lalu. Tapi, bahkan setelah berakhirnya masa pengekangan, rakyat tetap menutup toko, tempat usaha, dan sekolah, menuntut Perdana Menteri India Narendra Modi memulai dialog tentang referendum Kashmir seperti direkomendasikan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 47. Model Timor Timur dan Brexit adalah kasus referendum kondang di antara pendukung gerakan pro-kemerdekaan di Lembah Kashmir.
"Ini merupakan belasungkawa rakyat setelah kematian Burhan, dengan menutup toko mereka, dan protes panjang seperti ini tak pernah terjadi dalam sejarah Kashmir. Ini baru dan tak pernah ada karena warga Kashmir biasanya tak bereaksi terhadap pemimpin politik tertentu atau kematian seorang milisi," kata Syekh Showkat Hussain, profesor hukum internasional di Central University of Kashmir.
KEHIDUPAN di Lembah Kashmir selama pekan terakhir Oktober memperlihatkan dua wajah. Berbeda dengan siang hari yang lengang, toko-toko buka dan jalanan ramai pada malam hari. Kalender Hurriyat dijalani secara sukarela bahkan oleh penduduk desa terpencil di Kashmir Utara yang dekat dengan Garis Kontrol, yakni Handwara, Haril, Lach, Wagat, Vilgam, Kral Pora, Trehgam, Shrihama, dan Kupwara. Mulai pukul 5 sore hingga 9 malam, kerumunan orang dan kemacetan lalu lintas jalan terlihat di kawasan komersial utama Srinagar, termasuk Lal Chowk, Regal Chowk, dan Dal Gate.
Menjelang matahari tenggelam, pukul 6 petang, pada Senin tiga pekan lalu, salah satu bisnis penerbitan yang bergairah di Regal Chowk menyaksikan kerumunan orang di malam yang sibuk. Curfewed Night (2008), buku terkenal tentang kehidupan Kashmir dalam cengkeraman militerisasi India, dan Do You Remember Kunan Poshpora? (2013), buku tentang kasus pemerkosaan paksa oleh tentara India terhadap perempuan di Desa Kunan dan Poshpora di Kashmir Utara pada 1991, sedang menjadi perhatian pembaca muda Kashmir yang tahun ini hidup dalam pengekangan dan pemogokan.
Dalam keremangan cahaya, sekitar pukul 6, sebelum matahari terbit pada Sabtu tiga pekan lalu, para pria Kashmir di perahu kayu, shikara, memulai hari dengan menjual sayur-sayuran dari kebun terapung di tujuan wisata terkenal Dal Lake, Srinagar. Lobak putih berbentuk bulat, kembang kol, bayam, mentimun, kentang, dan tomat merupakan hasil panen dari Dal Lake pada Oktober dan sumber nafkah utama dari penduduk setempat yang berpendapatan rendah.
Haji Abdul Aziz, yang berjenggot putih menjuntai, terlihat sibuk menaikkan lobak di shikara-nya yang kosong; dia akan menjual lobak itu pada malam hari di Pasar Batmaloo Jehloom, di bagian kota tua di Srinagar. Pria 60 tahun ini menganggukkan kepalanya seraya menatap tajam ketika ditanya apakah dia mendukung Hurriyat. Ekspresi wajahnya seperti menyatakan bahwa dukungan rakyat Kashmir terhadap gerakan pro-kemerdekaan saat ini tak bisa ditawar-tawar.
"DI wilayah konflik seperti Kashmir, ada dua macam kekuasaan. Yang satu adalah yang punya kewenangan dan yang lain adalah legitimasi. Dan Hurriyat jelas merupakan front yang sah mewakili aspirasi rakyat yang pro-kemerdekaan," ujar Masood Hussain, Pemimpin Redaksi Kashmir Life, mingguan setempat yang terbit dalam bahasa Inggris. Wartawan setempat yang berbahasa Urdu bahkan menyebut Hurriyat sebagai "pemerintahan emosional rakyat Kashmir saat ini".
Namun Syed Ali Shah Geelani, salah seorang pemimpin Hurriyat, tak yakin tentang peran kepemimpinan seperti apa yang bisa dimainkan Hurriyat di luar kalender protes di tengah-tengah konfrontasi sengit antara aspirasi warga Kashmir untuk merdeka dan otoritas teritorial negara India.
Masih tak terbayangkan bagaimana perkembangan konflik Negara Bagian Kashmir dari kemacetan saat ini. Pemerintah India mendekati isu ini sebagai desain kelompok teroris Pakistan dan provokasi keamanan ketimbang hak dasar dan isu kemerdekaan rakyat Kashmir. Tapi para aktivis di sini tetap bersemangat tinggi sekalipun terisolasi secara nasional dan diabaikan di kancah internasional dengan dukungan hanya dari Pakistan dan Cina.
"Jammu dan Kashmir satu-satunya negara bagian di India yang bisa memberikan tekanan nyata terhadap pemerintah Bharatiya Janata Party. Kami percaya ini prestasi kami dari protes selama empat bulan," kata Ala Fazli, pemimpin mahasiswa dan kandidat doktor farmasi di University of Kashmir.
Seulki Lee (Srinagar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo