Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DINDING bangunan sekolah dasar itu terbuat dari galar. Bambu utuh yang ruasnya dipecah-pecah hingga pipih itu menjadi penutup semua sisi bangunan. Cahaya matahari leluasa menerobos masuk ruang kelas Sekolah Dasar Negeri Watulagar, Desa Watumerak, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, ini. Lantai tanah baru saja disiram air agar tak berdebu pada Selasa pekan kedua Oktober lalu itu. Bangunan sekolah beratap seng ini berdiri di tengkuk Bukit Takat, pada ketinggian di atas seribu meter.
Sebanyak 67 siswa belajar di sekolah yang baru punya empat kelas ini. Setiap kelas menempati ruangan berukuran 5 x 6 meter. Hari itu, murid menjalani ujian tengah semester. Kepala Sekolah Marieta Ivoni Balik, 60 tahun, merangkap guru kelas I, sabar mendiktekan cara membaca kalimat sederhana. "Ini ubi ibu," kata Ivoni. Ia berulang-ulang membacakan kalimat itu.
Di luar kelas, sejak pukul tujuh pagi, tiga pegiat sosial dari komunitas Shoes for Flores juga telah tiba di sekolah itu. Mereka Valentino Luis, Gusty Waton, dan Arnold. Tiga orang ini berangkat dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, sekitar 60 kilometer dari Watulagar, pada pukul 06.00. Bersepeda motor, tiga sekawan ini melintasi jalan menanjak, berkelok tajam, dan menurun curam. Hari itu, mereka membuat janji bertamu untuk mengukur sepatu semua siswa yang akan mendapat bantuan.
Dua pekan sebelumnya, mereka mensurvei sekolah ini dan memutuskan siswanya layak mendapat bantuan. Ujian usai pada pukul 09.00. Murid beristirahat seperempat jam, lalu kembali masuk kelas. Gusty berdiri di depan kelas menyapa 12 bocah di kelas itu. Ia berbicara dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa suku Sikka. "Anak Flores semangat," kata Gusty.
Valentino menggantikan Gusty berdiri di depan kelas, mengajak bocah-bocah polos itu rajin belajar. "Anak Flores harus pintar," ujar Valentino. Setelah itu, dia, Gusty, dan Arnold mengukur kaki siswa agar sepatu yang akan disumbangkan pas. Seorang di antaranya adalah Yosef Elsdisantos Nong Helmin. Ia sebenarnya telah bersepatu. Sebagian siswa di sekolah itu tak bersepatu. Ada yang bertelanjang kaki, sebagian yang lain bersandal. "Sepatu cepat rusak," kata Yosef.
Valentino menjelaskan, sepatu tak berumur panjang karena mereka harus berjalan jauh. Bahkan ada siswa yang berjalan dua-tiga kilometer. Banyak jalanan naik-turun. Ketika jalan turun, sepatu pun menjadi rem. Belum lagi sol sepatu harus menginjak batu dan kerikil tajam. Shoes for Flores menangkap situasi anak-anak Flores itu. Empat hari kemudian, mereka mendatangi sekolah itu dan menyerahkan bantuan. Selain menyumbangkan sepatu, Shoes for Flores memberikan seragam, tas, alat tulis, dan buku. "Sepatu hanya alat. Ada yang lebih penting, berinteraksi dan memberikan perhatian kepada mereka agar bersemangat dalam belajar," ujar Valentino.
Pemberian bantuan kepada siswa SDN Watulagar ini merupakan kegiatan Shoes for Flores putaran kedelapan. Sebelumnya, mereka menyerahkan bantuan serupa ke sejumlah sekolah di lokasi yang berbeda. Sebagian di Sikka, Nagekeo, Ende, dan Flores Timur. Bahkan mereka pernah memberikan bantuan ke sekolah di luar Flores, di Kabupaten Lembata. Setidaknya seribu siswa telah merasakan bantuan komunitas ini.
Kegiatan ini bermula saat Valentino mengunggah foto anak-anak sekolah dasar di Kabupaten Sikka pada laman Facebook, pertengahan 2014. Mereka berangkat ke sekolah berjalan tanpa alas kaki. Baju seragam mereka telah pudar warnanya dan lusuh. Dalam sekejap, bejibun tanggapan muncul dari pengguna situs pertemanan lain.
Salah seorang yang menanggapi foto itu adalah Dede Prabowo. Ia pemerhati bidang pendidikan dan pegiat bidang sosial. Valentino dan Dede bertemu langsung dan berniat bersama menggalang bantuan buat anak-anak Flores dari keluarga miskin. Kebutuhan nyata anak-anak itu sepatu, maka dikumpulkan bantuan berupa sepatu. "Lalu kami menamai gerakan ini Shoes for Flores," kata Valentino.
Niat Valentino dan Dede mendapat sambutan anak-anak muda Flores yang bersedia menjadi relawan: apoteker Astry Bogar, penyiar radio Mikael Jefrison, dan karyawan hotel bernama Joseph Werang. Simpati dan bantuan mengalir. Mereka turun tangan ke Sekolah Dasar Katolik Niobewa, Desa Lenandareta, Kecamatan Paga, Sikka, pada Desember 2014. Mereka menyerahkan bantuan kepada 110 siswa. Bantuan yang terkumpul lebih dari cukup untuk membeli sepatu. "Kami juga menyerahkan bantuan seragam, alat tulis, buku pelajaran, dan buku bacaan," ujar Valentino.
Pulau Flores berpenduduk hampir dua juta jiwa. Mata pencarian utama penduduknya bertani. Flores berbukit dan berpegunungan dengan iklim yang cenderung kering. Data Badan Pusat Statistik paling mutakhir menunjukkan ada 48 ribu siswa sekolah dasar di Sikka. Tiga ribu siswa di antaranya berlatar belakang keluarga miskin. Dari hampir 320 ribu penduduk Sikka, 39 ribu miskin. Kondisi serupa terjadi di tujuh kabupaten lain di Flores: Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Ende, dan Flores Timur.
Kini Shoes for Flores memiliki 20-an relawan yang aktif. Latar belakang mereka beraneka ragam. Relawan Mariana Dirgantari, misalnya, distributor produk sandang dan telepon seluler. Nur Kartika Candra berprofesi dokter gigi. Sedangkan Valentino penulis dan fotografer. Rumah Nur di Jalan Anggrek, Maumere, menjadi sekretariat sekaligus gudang barang bantuan Shoes for Flores.
Penyumbang komunitas ini berasal dari Nusa Tenggara Timur, dari Jawa, bahkan dari luar negeri. "Mereka pernah bekerja atau punya ikatan dengan Flores," ujar Nur. Sumbangan bisa dalam bentuk barang atau uang. Komunitas ini mengharamkan bantuan bermuatan politik. Pernah ada seorang politikus menawarkan bantuan, tapi mereka tolak. "Charity ya charity, Bro," kata Valentino.
Sunudyantoro (Maumere)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo