Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

14 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Antasari Azhar Bebas Bersyarat

NARAPIDANA pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Iskandar, Antasari Azhar, mendapatkan status bebas bersyarat. Terhitung mulai Kamis pekan lalu, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Dewasa Pria Tangerang, Banten. Antasari dihukum 18 tahun penjara karena terbukti membunuh Nasrudin, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, pada Maret 2009.

Pada 6 September 2011, Antasari mengajukan permohonan peninjauan kembali atas kasusnya, tapi ditolak. Dia mendapatkan remisi 4 tahun 6 bulan. Antasari baru akan bebas pada 2022. Sebelum bebas bersyarat, ia menjalani asimilasi bekerja di kantor notaris Handoko Halim di Tangerang selama satu tahun.

Antasari menyatakan tak akan membalas dendam kepada orang yang menjebloskannya ke penjara. "Saya sudah capek. Marah dan dendam saya tinggalkan di dalam penjara," katanya. Meski begitu, Antasari tetap menyangkal terlibat pembunuhan seperti dakwaan jaksa.

Adik Nasrudin, Andi Samsudin Iskandar, meminta Antasari mengungkap pembunuh kakaknya. Menurut dia, Antasari pernah berjanji akan menunjuk pembunuh Nasrudin setelah bebas. "Kami berharap Antasari memenuhi janjinya," ujarnya.

Dari KPK ke Penjara

ANTASARI Azhar mengakhiri kariernya sebagai petinggi penegak hukum dengan noda. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini dihukum melakukan pembunuhan berencana terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen Iskandar.

2007

5 Desember
Antasari terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.

2008

22 Mei
Rhani Juliani menemui Antasari di Kamar 803 Hotel Gran Mahakam, Jakarta Selatan. Dia mengaku mengalami pelecehan seksual dan diberi US$ 500. Saat inilah Nasrudin Zulkarnaen datang menggerebek.

2009

14 Maret
Nasrudin Zulkarnaen ditembak di kawasan Danau Modernland, Tangerang. Sehari kemudian, ia meninggal di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto.

29 April
Tim Markas Besar Kepolisian RI dan Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan sembilan tersangka. Mereka antara lain Sigid Haryo Wibisono, Komisaris Utama PT Pers Indonesia Merdeka.

4 Mei
Antasari dijadikan tersangka.

3 Juli
Berkas Antasari dilimpahkan ke Kejaksaan Agung.

8 Oktober
Antasari mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

30 Desember
Pengadilan Negeri Tangerang menuntut hukuman penjara seumur hidup Daniel Daen Sabon, terdakwa penembak Nasrudin.

2010

19 Januari
Jaksa menuntut Antasari Azhar hukuman mati.

11 Februari
Antasari divonis 18 tahun penjara.


Bupati Sabu Raijua Kembali Menjadi Tersangka

KOMISI Pemberantasan Korupsi kembali menetapkan Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome, sebagai tersangka korupsi dana pendidikan luar sekolah di Nusa Tenggara Timur senilai Rp 77 miliar. "KPK menetapkan kembali sebagai tersangka Saudara MDT yang pernah ditetapkan sebagai tersangka," kata Ketua KPK Agus Rahardjo, Kamis pekan lalu.

KPK pernah menetapkan Marthen sebagai tersangka pada Oktober 2014. Namun, pada 18 Mei lalu, dia memenangi gugatan praperadilan terhadap KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim tunggal Nursyam menganggap penetapan tersangka terhadap Marthen dalam kasus dugaan korupsi dana pendidikan luar sekolah tidak sah.

Agus mengatakan penyidik KPK tidak diam setelah kalah dalam praperadilan. KPK memeriksa saksi-saksi sehingga memiliki bukti untuk kembali menjadikan Marthen sebagai tersangka. Pada Kamis siang pekan lalu, Marthen mendatangi Markas Kepolisian Daerah NTT guna menemui penyidik KPK. "Saya heran belum ada pemeriksaan saksi, tapi sudah ada yang ditetapkan tersangka," ucapnya.

Kunjungan DPR ke Maroko Disorot

PENGAMAT hukum tata negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra, mengatakan kunjungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ke Marrakesh, Maroko, untuk mengikuti acara Konferensi Perubahan Iklim Ke-22 pada 7–18 November ini berpotensi melanggar hukum. Meskipun kunjungan luar negeri dibolehkan dalam Tata Tertib DPR, Riawan menyebutkan kunjungan itu bisa menabrak Undang-Undang Keuangan Negara, yang mengatur efektivitas dan transparansi keuangan. "Apalagi kalau tidak ada pertanggungjawaban," katanya Kamis pekan lalu.

Riawan juga mengatakan kunjungan itu melanggar etika. Alasannya, kunjungan kerja itu tak tepat dengan kondisi negara yang gencar memangkas anggaran. Komentar negatif juga disampaikan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus. Ia mengatakan Dewan menggunakan modus baru dengan ikut nebeng Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk berkunjung ke luar negeri. "Ini akal-akalan saja," ujar Lucius.

Sebanyak 12 anggota DPR Komisi IV Bidang Kehutanan dan 13 anggota Komisi VII Bidang Lingkungan Hidup melawat ke Maroko, lalu ke Spanyol. Anggota Komisi Lingkungan Hidup DPR, Aryo Djodjohadikusumo, mengatakan kunjungan kerja itu penting karena Indonesia akan meratifikasi konferensi tersebut. "Kami sudah meratifikasi Persetujuan Paris mengenai perubahan iklim menjadi undang-undang pada pertengahan Oktober lalu," katanya.

Kejaksaan Kembali Bidik Dahlan Iskan

KEJAKSAAN Agung kembali membidik bekas Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan 16 unit mobil listrik untuk Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pasifik (APEC) 2013. Dahlan diduga menguntungkan orang lain. "Dia merupakan inisiator dan melakukan penunjukan langsung," kata ketua tim penyidik Kejaksaan Agung, Victor Antonius, Selasa pekan lalu.

Victor menuturkan, dalam putusan kasasi Dasep Ahmadi—pemilik PT Sarimas Ahmadi Pratama (SAP)—Mahkamah Agung menyatakan Dahlan terlibat dalam kasus korupsi tersebut. SAP perusahaan yang ditunjuk Dahlan memproduksi mobil listrik APEC. Hakim perkara itu, Krisna Harahap, mengatakan pembuatan mobil listrik tidak sesuai dengan ketentuan karena tak melalui tender. "Itu akan menjadi pintu masuk dan semakin meyakinkan peran Dahlan dalam kasus ini," ucap Victor.

Pengacara Dahlan, Pieter Talaway, menyatakan heran terhadap langkah Kejaksaan. Dia meminta Kejaksaan tidak terburu-buru menyimpulkan putusan MA karena belum ada salinan putusan resmi. "Tidak bisa disimpulkan begitu saja. Harus jelas apakah Dahlan dijerat dengan Pasal 55 KUHP," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus