Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAMALAN kolumnis politik New York Times, William Safire, yang ditulis lebih dari setahun lalu terbukti manjur. Pada September 2004, Safire meramalkan bakal terjadi ”ledakan besar” (big bang) dalam semesta politik Israel. Peristiwa itu, menurut dia, akan memformat ulang kekuatan partai politik yang ada, termasuk afiliasi para politikus kawakan yang selama ini sudah stabil dalam kubu masing-masing.
Tak banyak pengamat politik memandang serius ramalan Safire, bahkan di Israel sendiri. Lebih-lebih setelah Perdana Menteri Ariel Sharon mampu melewati krisis kabinet pada Desember 2004 dengan merangkul seteru abadinya, Shimon Peres, Ketua Partai Buruh. Berbulan-bulan setelah itu, nyaris tak ada pergolakan domestik yang berarti.
Tak dinyana, big bang itu tiba juga pada Senin pekan lalu dengan Sharon sendiri sebagai episentrum ledakan. Pensiunan mayor jenderal yang mencatat kiprah legendaris dalam Perang Enam Hari pada 1967 itu memutuskan keluar dari Partai Likud. Sharon turut mendirikan partai sayap kanan ini sebelum memimpinnya.
Sehari kemudian, lelaki peranakan Jerman-Polandia ini mendirikan Partai Tanggung Jawab Nasional (Aharâyût Le’ûmît). Nama ini diusulkan Menteri Kehakiman Tzipi Livni, salah seorang pentolan Likud yang ikut hengkang. Nama itu disetujui oleh Reuven Adler, penasihat strategi politik sekaligus orang kepercayaan Sharon. Pada Kamis, 24 November, partai baru tersebut didaftarkan dengan nama yang lebih singkat, Kadima. Artinya, ”maju terus”—meniru gaya kepemimpinan Sharon yang tak bisa dibendung. ”Saya harus keluar dari Likud jika rencana perdamaian dengan Palestina ingin tercapai,” ujar Sharon.
Inilah hari-hari yang membuat dunia politik Israel gonjang-ganjing. Selain Livni, Sharon juga memboyong lima menteri kabinet, termasuk Wakil Perdana Menteri Ehud Olmert, dan 14 anggota parlemen (Knesset) ke dalam ”kapal barunya”. Dengan gebrakan politik seperti ini, harian Haaretz memperkirakan jika diadakan jajak pendapat tentang kemungkinan pemilu sekarang, Sharon bisa menang dengan suara telak atas lawan-lawannya dan melaju ke masa jabatan ketiga.
Kadima membuktikan gerak lihai politisi gaek yang akan berulang tahun ke-78 pada Februari 2006 itu. Lewat Kadima, Sharon merangkul para pengikut setianya di Likud, sekaligus membuka kesempatan bagi politisi dari partai lain. Tawaran ini segera disambar anggota parlemen dari Partai Noi, David Tal.
Tanpa ledakan besar ini, karier politik Arik—begitu Sharon biasa dipanggil teman-teman dekatnya—sejatinya sudah di ujung tanduk. Koalisinya dengan Partai Buruh, yang menyebabkan kabinetnya masih bisa berjalan sejak Desember 2004, terancam hancur setelah Shimon Peres terjungkal dalam pemilihan Ketua Buruh pada 8 November lalu.
Ketua Buruh yang baru, Amir Peretz yang berasal dari Serikat Pekerja Histadrut yang radikal, meminta semua menteri di kabinet Sharon yang berasal dari partainya segera mundur. Peretz juga meminta dua hal lain: pembubaran parlemen serta percepatan pemilu dari November 2006 ke Maret 2006. Dengan mundurnya semua menteri dari Partai Buruh di kabinetnya, Sharon kehilangan ”jaringan pengaman” yang amat berharga, terutama menyangkut isu garis perbatasan permanen dengan Palestina serta penyelesaian menyeluruh konflik Israel-Palestina dan Israel-Arab.
Sikap keras kepala Sharon tetap menarik mundur pemukim Israel dari Jalur Gaza dan niatnya menyelesaikan konflik secara tuntas dengan Palestina mendulang perlawanan keras dari faksi-faksi ultraradikal di lingkaran dalam Likud. Ia dipermalukan dengan telak oleh anggota partainya sendiri menyusul pengunduran diri Benyamin Netanyahu sebagai Menteri Keuangan pada Agustus 2005. Sharon yang mencalonkan wakilnya, Ehud Olmert, sebagai pengganti Netanyahu, tak mendapat dukungan dari Likud.
Kini, dengan 14 anggota Knesset di kantongnya—lebih dari sepertiga anggota yang berjumlah 40 orang—Sharon bisa membuat musuh-musuhnya di Likud gemetar. Apalagi, Pak Tua juga secara frontal menghadapi tantangan Amir Peretz mengenai pembubaran parlemen dan percepatan pemilu. Jika Peretz masih sibuk menggalang dukungan, Sharon bergerak cepat menemui Presiden Moshe Katsav dan Jaksa Agung Menachem Mazuz.
Persis pada hari Kadima berdiri, Sharon—anak emas Bapak Bangsa Israel David Ben-Gurion—sudah mengantongi izin Katsav dan Mazuz untuk melangsungkan pemilu pada 28 Maret 2006. Izin pembubaran parlemen pun diangguki Katsav. ”Perdana Menteri (Sharon) meminta saya membubarkan Knesset karena dianggapnya tak berfungsi dengan baik saat ini,” ujar Katsav dalam jumpa pers selama 40 menit. Sepanjang acara itu, Sharon yang duduk di samping Presiden tak berkomentar sedikit pun.
Peretz agaknya lupa mengenang sejarah: gerak cepat adalah salah satu keunggulan Sharon. Ia bisa memimpin sebuah partai kiri, Shlomtzion, di masa muda sebelum benar-benar terpincut pada Partai Buruh. Tapi setelah pensiun dari militer, Sharon menjadi salah seorang penentu berdirinya Likud pada Juli 1973. Partai Likud terdiri dari Partai Liberal, Partai Herut pimpinan mantan Perdana Menteri Menachem Begin serta beberapa elemen independen di masyarakat. Likud segera menjadi partai kanan yang solid. Dan Sharon terpilih sebagai anggota Knesset empat bulan kemudian. Status sebagai anggota parlemen hanya sanggup dipanggulnya selama satu tahun. Ia bosan dan memutuskan untuk pensiun dari dunia politik dalam usia… 46 tahun!
Sejarah mencatat, Perdana Menteri Yitzhak Rabin meminangnya sebagai pembantu khusus dari Juni 1974–Maret 1976. Menjelang pemilu 1977, Sharon telah menjadi politisi sejati. Ia mencoba kembali ke Likud dan berkampanye bahwa dirinya lebih baik dari Menachem Begin. Tak ada faksi Likud yang tertarik. Sharon lalu mendekati kubu Buruh, menawarkan program yang sama. Ditolak.
Tak ada yang bersedia menampung, Sharon mendirikan Shlomtzion, sebuah partai kecil yang mampu merebut dua kursi Knesset selama dua periode berturut-turut. Memasuki periode ketiga, Sharon meleburkan Shlomtzion ke dalam Likud. Sejak itu, Sharon juga mencatatkan ”rekor” lain: sebagai musuh abadi Yasser Arafat. Perseteruan tak berkesudahan keduanya diabadikan dalam sebuah film dokumenter yang amat lugas, Behind The Hatred: Mortal Enemies (Discovery Channel, 2002).
Dengan rekam jejak seperti itu, benarkah Sharon akan meninggalkan Likud selamanya? Apalagi setelah Kadima yang dielus-elusnya sekarang mengalami penolakan kanan-kiri, termasuk dari Shimon Peres? Padahal, sejak awal Peres diharapkan Sharon bisa melemahkan pengaruh Amir Peretz di kubu Buruh.
Tawarannya kepada politikus partai lain agar bergabung dengan Kadima justru mendapat cemooh dari partai pesaing, Shinui. Padahal, Shinui pernah menjadi koalisi Sharon tatkala dia memimpin Likud. Yosef ”Tommy” Lapid, pemimpin Shinui, secara terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya pada kata kadima. Menurut Lapid, kata ini punya arti serupa dengan kata avanti dalam bahasa Italia. ”Avanti adalah slogan gerakan fasis Mussolini. Siapa pun yang memilih nama Kadima berarti mengabaikan (sejarah kelam) Italia dan sejarah dunia,” Lapid mengecam.
Partai baru yang dikecam Lapid itu sejatinya cuma perantara yang mengantarkan Sharon kepada tujuan utama: memenangkan pemilu. Dengan atau tanpa Palestina sebagai isu jualan utama, Sharon akan menunggang Kadima dengan cerdik ke arena pertarungan politik pada Maret 2006.
Akmal Nasery Basral (BBC, Haaretz, New York Times, Yediot Aharonot, Discovery Channel)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo