Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Membangun Taman Firdaus di Jambi

Kebun raya terbesar di Indonesia dikembangkan di hutan Bukit Sari, Jambi. Meski terseok dana, 3.000 jenis tanaman hasil pembibitan sudah disiapkan.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA sepokok meranti, langkah Mardi terhenti. Dia termangu menatap pohon yang berdiri menantang langit. Tingginya sekitar 30 meter. Tapi kakek dengan beberapa cucu itu menaklukkan pohon itu hanya dalam beberapa menit. Gerakannya gegas bak cicak. Kaki dan tangannya merekat erat di batang pohon, seperti mengandung lem.

Mardi adalah pemanjat sejati. Hanya dalam beberapa kedipan mata, lelaki yang basah dengan peluh itu sudah berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Hingga lima pohon.

Lelaki berusia 50 tahun itu bukan sedang unjuk kebolehan memanjat. Sepanjang siang, Mardi memetik dedaunan dari pohon-pohon yang menjulang. Daun itu dipetiknya agar tiap pohon yang ada di Kebun Raya Bukit Sari dapat teridentifikasi. Caranya, dengan melihat ciri-ciri khusus yang ada pada daun.

Maka, setelah ujung ranting dipetik, tubuh ringan Mardi bergegas turun. Disodorkannya ranting berisi dedaunan dari berbagai pohon tadi kepada Mujahidin, staf peneliti dari Kebun Raya Bogor, yang sudah menunggunya di bawah pohon. Setelah itu, tugas Mujahidinlah untuk memberikan nama dan menomori tanaman tersebut.

Tampak sepele memang, namun pekerjaan itu sungguh amat diperlukan untuk proyek pembangunan Kebun Raya Bukit Sari. Pemerintah Jambi kini sedang menggarap proyek prestisius: menyulap hutan yang pernah terbakar itu menjadi kebun raya terluas di Indonesia. Proyek ini sudah dimulai sejak 1999 namun berjalan bak siput.

Dengan dana cekak—hanya dua persen dari dana yang dikucurkan Kebun Raya Cibodas (Bogor) dan Purwodadi (Pasuruan)—mencatat semua pohon yang yang ada di kawasan seluas 425 hektare bukanlah pekerjaan yang gampang (lihat boks Mimpi dengan Dana Cekak). Mereka tak bisa ”membayar” banyak orang seperti Mardi dan Mujahidin.

Di lapangan, proses identifikasi tanaman juga tak selalu berjalan mulus. Sebab, kemampuan memanjat seperti Mardi juga ada batasnya. ”Pohon setinggi 40 hingga 50 meter jelas tak bisa dipanjat, apalagi jika dahannya sedikit,” kata Mujahidin. Bila sudah begitu, Mujahidin hanya berharap agar daun-daun dari pohon yang menjulang tinggi itu ada yang gugur sehingga ia tinggal memungutnya.

Saat menamai tanaman pun, Mujahidin juga tak luput dari kesulitan. Tak semua nama jenis tanaman dapat dihafalnya hanya dari ciri selembar daun. ”Akhirnya daun-daun itu diterbangkan ke pusat herbarium Bogor untuk dicocokkan cirinya dengan koleksi daun kering yang ada di sana,” ujar peneliti berusia 40 tahun itu.

Bersama dua rekannya dari Kebun Raya Bogor, hampir dua minggu Mujahidin melewatkan hari-harinya di Bukit Sari. Dan sekitar 200 jenis tanaman telah terdata, lengkap dengan nomor dan nama. ”Pendataan koleksi penting untuk mewujudkan Bukit Sari benar-benar menjadi sebuah kebun raya,” kata Mujahidin. Itulah yang membedakan hutan dengan sebuah kebun raya.

Sebelum berubah status menjadi kebun raya, kawasan Bukit Sari adalah hutan biasa. Berjarak 138 kilometer dari Kota Jambi, hutan Bukit Sari membentang di dua kabupaten, yakni Batanghari dan Tebo. Lokasi hutan itu persis di tepi jalan lintas Jambi-Muarabungo-Padang. Baru pada 1999, pemerintah Jambi berinisiatif mengubah hutan menjadi kebun raya. Mereka menggaet Kebun Raya Bogor untuk mengembangkan kawasan tersebut.

Perubahan status Bukit Sari menjadi kebun raya itu lebih dikarenakan semakin tergerusnya kawasan hutan akibat pembalakan liar dan pembukaan lahan perkebunan. Ratusan hektare wilayah sekeliling hutan Bukit Sari itu telah dibuldoser licin dan menjadi kebun karet serta kepala sawit. ”Jika tidak diselamatkan, hutan alami yang tersisa akan punah karena posisinya sudah terjepit oleh kebun,” kata Sutrisno, Koordinator Kegiatan Pelestarian Penelitian dan Pengembangan Flora Kebun Raya Bogor.

Banyak pihak, termasuk Sutrisno, khawatir bahwa pembalakan liar itu akan terus merembet ke kawasan Bukit Sari, jika daerah itu hanya dipertahankan sebagai hutan biasa. Bukan apa-apa, cukong kayu mana yang tak ngiler melihat pohon-pohon raksasa setinggi 30 meter di Bukit Sari.

Sutrisno lantas memberi contoh. Dulu, rotan manau (Calamus manan) banyak tersebar di hutan Jambi. Pembalakan liar membuat pohon ini menjadi langka. ”Sekarang sulit sekali menemukannya,” katanya. Karena itulah ia berharap, pengembangan Kebun Raya Bukit Sari dapat mengembalikan keanekaragaman tumbuhan di Jambi, semisal rotan manau tadi.

Demi memuluskan proyek ini, selain melakukan pendataan nama pohon, para peneliti Kebun Raya Bogor telah melakukan pembibitan sejak 2001. Mereka membangun rumah kaca untuk menumbuhkan biji, stek, dan cangkok aneka tanaman yang induknya diambil dari taman-taman nasional di Jambi—se-perti Taman Nasional Kerinci, Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Selain itu, mereka juga ”mengimpor” bibit dari Kebun Raya Bogor.

Saat ini, kebun bibit di Bukit Sari telah ”mengandung” 3.000 bibit tumbuhan yang siap tanam. Bibit-bibit itu sudah setinggi dua hingga tiga meter. Salah satu bibit pohon langka yang ditanam di kawasan Bukit Sari adalah kayu ulin (Eusideroxylon zwageri). ”Pada Desember ini kita akan menanam 100 jenis pohon,” ujat Mujahidin.

Selain menyelamatkan kayu ulin, kebun raya ini juga berniat membiakkan rotan manau. Mereka telah meminta Kebun Raya Bogor menyiapkan bibitnya. Biji tumbuhan itu, kata Sutrisno, diambil dari Kebun Raya Baturraden, Purwekorto, Jawa Tengah. ”Saat ini sudah ada 1.000 bibit siap tanam,” ujarnya. Rencananya, rotan-rotan balita itu akan segera diboyong ke Kebun Raya Bukit Sari saat musim hujan tahun depan.

Selain melakukan pembibitan, kebun raya ini juga melakukan penataan koleksi tumbuhan. Dari 425 hektare lahan yang tersedia, 143 hektare akan dijadikan kebun raya yang bisa dikunjungi dan wilayah itu akan ditanami pohon-pohon dari berbagai daerah. ”Kawasan sisanya akan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan asli Jambi yang tak boleh dijamah,” ucap Sutrisno.

Dengan rencana itu, Bukit Sari akan menjadi taman firdaus baru bagi pepohonan.

Yandhrie Arvian, Syaipul Bakhori (Jambi)


Kebun Raya di Indonesia

Kebun Raya Bogor

  • Luas 87 hektare
  • Berdiri 1817 (berusia 188 tahun)
  • Koleksi tanaman 3.000-4.000 spesies

    Kebun Raya Cibodas

  • Luas 125 hektare
  • Memiliki koleksi lumut terlengkap di Indonesia
  • Berdiri 1852 (berusia 153 tahun)

    Kebun Raya Purwodadi Pasuruan

  • Luas 87 hektare
  • Berdiri 1941 (berusia 64 tahun)
  • Berfungsi untuk konservasi tanaman dari daerah bercuaca agak kering

    Kebun Raya Eka Karya Bali

  • Luas 154 hektare
  • Didirikan pada 1959
  • Koleksi anggreknya mencapai 3.370 spesies

    Kebun Raya Bukit Sari Jambi

  • Tahap Pembangunan
  • Luas 425 hektare
  • Mulai dirintis pada 1999
  • Tahun depan rencananya 3.000 bibit akan ditanam

    Kebun Raya Baturraden, Banyumas

  • Tahap Pembangunan
  • Luas 150 hektare
  • Untuk mengoleksi tanaman dataran rendah
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus