BAGI Lee Kuan Yew, Singapura adalah obsesi yang tak akan pernah berkesudahan. Maka, bagaimana ia akan pensiun? Dalam usia 65 tahun kini, ia menyatakan ingin mengundurkan diri sebagai perdana menteri. Tapi ia juga berkata, "Orang yang mengira bahwa saya akan pensiun selamanya setelah mundur sebagai perdana menteri, ia harus diperiksa isi kepalanya." Dengan kata lain, pak tua itu akan mengawasi terus. "Bahkan dari tempat pembaringan," katanya lagi, "seandainya saya sakit, atau bahkan ketika kalian sudah memasukkan saya ke liang kubur, saya akan tetap bangkit jika merasa segala sesuatunya berjalan tidak semestinya." Kursi perdana menteri sudah bisa dipastikan akan diserahkannya kepada Goh Chok Tong. Tapi ia punya catatan buat calon penggantinya ini. Pada awalnya, Chok Tong bukan merupakan pilihan pertama. Lee pernah menyatakan, ia sempat memberi peluang kepada Menteri Pendidikan Tony Tan untuk jadi orang nomor 1. Tapi Tony Tan tak menghendaki pos itu. Salah satu alternatif lain, Menlu Supiah Dhanabalan tak dianggap memenuhi syarat. Alasan: 76% warga Singapura keturunan Cina oleh Lee diangap belum siap menerima pemimpin keturunan India. Sedangkan calon yang satu lagi, Ong Teng Cheong, kurang fasih berbahasa Inggris. Tidak seperti Lee. Goh Chok Tong bukannya tanpa cacat. Lee, yang suka berterus terang, menilai calon pemimpin Singapura itu, "Terlalu baik terhadap banyak pihak," dan itu bisa menyebabkan kepemimpannya kurang efektif. Tapi Goh (lihat Orang Kuat ...), yang jangkung melebihi yang lain-lain itu, sudah diterima secara aklamasi oleh barisan menteri dalam kabinet. Goh memang dikenal lebih mudah mendengarkan pendapat orang lain. "Kita bisa omong dengan Goh daripada dengan yang lain," kata seorang wartawan Singapura yang pernah mengeluh bahwa pers di sana teramat dikontrol pemerintah. Di mata Lee, Goh mungkin bukan tokoh sempurna seperti dirinya. Tapi betapapun begitu, Lee, Bapak Singapura ini, telah memberikan suatu sumbangan lain bagi republiknya: satu cara meremajakan kepemimpinan yang tak seluruhnya tergantung selera pribadi. Goh Chok Tong juga bagi Singapura bisa menebus gaya kepemimpinannya yang sering seperti mau berlaga itu. Singapura memang sudah layak bernapas lega. Negeri ini tahun lalu cadangan devisanya US$ 13,26 milyar. Boleh dibilang, 80% warganya sekarang ini sudah tak mengalami problem perumahan. Pendapatan per kapitanya lebih tinggi dari Selandia Baru, sekitar US$ 7.000. Sejak 1959 rakyat yang merasa nyaman itu memilih PAP. Maka, orang pun mengharap bahwa pemerintah Singapura, yang dipimpin oleh orang-orang yang terkenal tidak korup, akan sedikit lebih rileks. Rakyat Singapura -- 80% bisa berbahasa Inggris -- toh bukan anak-anak lagi. Tapi argumen orang-orang PAP pada dasarnya belum berubah dari gaya Lee: Singapura itu rapuh. Tak punya sumber alam sendiri. Ukurannya kecil. Dengan penduduk yang sebagian besar keturunan Cina, ia berada di antara Indonesia dan Malaysia, yang sebagian besar Melayu. Singapura tak ingin menganggap segala hal sudah pasti enak dengan posisi itu. Memang, kini ada ASEAN yang rukun, tapi siapa tahu? Lee sendiri, di hari-hari pertama ASEAN, memandang dengan ragu dan curiga pada kerja sama regional itu. Kini sikapnya berubah, tapi Lee tetap orang yang waspada. Di bawahnya bahkan Singapura kadang terasa sengaja sekali-sekali membunyikan alarm, semacam latihan bahaya perang. Contoh terakhir ialah peristiwa penangkapan 22 orang, pada 1987, yang dituduh terlibat "komplotan Marxis". Kecuali pemimpinnya, Vincent Cheng, para tawanan yang dlsekap tanpa proses pengadilan itu berdasarkan undang-undang keamanan dalam negeri atau ISA (Internal Security Act) -- akhirnya dilepaskan. Tetapi, ketika delapan di antaranya kemudian mengumumkan bahwa mereka "disiksa" dalam tahanan, seraya menyatakan diri bukan Marxis, pemerintah menyekap mereka kembali. Sulit membayangkan mereka ini akan bisa menumbangkan kekuasaan pemerintah Singapura yang didukung rakyat itu. Tentara Singapura, dengan sistem milisi, kuat. Tapi mungkin tanpa setiap kali ada seruan "awas", Singapura tak akan semaju sekarang. Tapi toh akhirnya perlu ada seruan "awas" yang lain: bukan terhadap bahaya antipemerintah, melainkan bahaya dari kekuasaan mutlak partai pemerintah. Yang bagus dari pemerintah Singapura yang pemimpinnya sangat terdidik -- ialah bahwa mereka tetap punya tradisi berbeda pendapat. Pemerintah memahami perlunya suara lain. Kata "oposisi" tidak haram di sana. Pelbagai suara, melalui unit pengumpul tanggapan bekerja di bawah Kementerian Pengembangan Komunitas (Ministry of Community Development), direkam. Unit itu diketuai oleh Dr. Tan Cheng Bock, seorang anggota parlemen dari PAP. Setelah empat tahun memadukan pelbagai pandangan dari segala pojok negeri yang kecil itu, Dr. Tan mengambil kesimpulan. Katanya, "Rakyat menghendaki adanya oposisi dalam parlemen. Keinginan itu begitu kuat. Mereka tidak mengharapkan PAP bubar, tapi sekadar memerlukan adanya oposisi." Pandangan ini beroleh konfirmasi dari Prof. Chan Heng Chee, direktur Institute of Policy Studies pada National University of Singapore, dan dihargai sebagai komentator politik dalam negeri yang piawan. Kata Prof. Chan, "Saya rasa, PAP sendiri memahami situasi, bahwa hari-hari seperti di tahun 1960-an dan 1970-an sudah lewat. Kemungkinannya adalah bahwa PAP tak akan lagi'bisa mengeruk suara secara mutlak. Warga Singapura sudah mengendaki adanya oposisi dalam parlemen. Dan itulah yang terjadi." Tapi kalangan pro-PAP menyayangkan, mutu oposisi umumnya rendah. Dalam kampanye, mereka sering terjerat dalam kasus hukum, divonis pengadilan karena kelewatan menghina atau nyaris memfitnah. Dan sistem distrik dalam pemilu Singapura menyebabkan mereka praktis tak punya kans untuk dapat kursi: suara yang kalah di setiap distrik tak bisa dihimpun dengan distrik lain. Kini satu-satunya wakil oposisi di parlemen adalah Chiam See Tong, ketua Singapore Democratic Party (SDP). Ia optimistis akan prospeknya. "Adalah evolusi yang alamiah dalam masyarakat, kalau sesudah makanan, tempat tinggal, lantas perlu kebebasan. Lihatlah RRC, lalu Rusia," ujar Chiam. Melihat hasil pemilu akhir pekan lalu itu, "kebebasan" ternyata tetap belum jadi kebutuhan. Siapa tahu rakyat Singapura justru takut bebas. Mereka toh membiarkan batasan-batasan yang bagi orang luar, atau segelintir kaum cendekiawan, mengekang. Selama ini, pemerintahan PM Lee mengharuskan para calon mahasiswa yang hendak mendaftar ke perguruan tinggi lebih dulu mendapatkan izin khusus. Berupa Suitability Certificate, semacam surat keterangan yang menyatakan bahwa latar belakang politik keluarga si calon mahasiswa bersih dari pengaruh komunisme. Semacam tanda bersih lingkungan. Perlakuan seperti itu pada awalnya sempat diprotes oleh kalangan pendidik dan mahasiswa. Tapi Lee menjawab, "Menurut yang sering saya rasakan, kalian bisa hidup seperti ikan di akuarium tak lain karena pemerintahan berjalan efektif." Sesudah itu tak ada protes. Gaya Lee memang gaya seorang pendebat ulung. Dia memang ahli hukum yang pintar dan politikus yang hidup dalam banyak benturan. Memang ada kritik bahwa dia bisa terbawa oleh kegemarannya berlaga itu hingga berlebihan. Kritik ini misalnya datang dari bekas sahabatnya, bekas Presiden Devan Nair. Nair sendiri mengalami sengatan. Kisah kegemarannya akan alkohol dan wanita beberapa waktu yang lalu dibeberkan di The Straits Times, koran yang dikuasai PAP itu, ketika ia mulai mengecam pemerintahan Lee dari luar negeri. Nanti, bila Lee mundur, Singapura mungkin akan lebih jarang mendengar suaranya yang mengatakan "awas". Berita The Straits Times akan kurang ramai barangkali. Tapi bagi pengagum Lee, yang cukup banyak, masih tersedia kesempatan. Ada dugaan bahwa tokoh besar ini akan jadi presiden dengan kekuasaan yang lebih besar ketimbang yang ada selama ini. Jabatan ini akan bukan lagi sekadar seremonial. Presiden akan punya hak mengawasi cadangan dana nasional dan menentukan pejabat-pejabat tinggi dalam aparat negara. Sejauh ini, belum ada kesepakatan apakah wewenang yang terakhir itu baik dan tak malah memungkinkan timbulnya konflik antara presiden dan perdana menteri. Tetapi memang tak terbayangkan jika Lee kelak jadi presiden dengan kekuasaan yang sangat sedikit. Ia biasa menentukan banyak hal. Dan ia masih punya tenaga dan ketajaman pikiran untuk itu: Lee Kuan Yew kata seorang diplomat, "seperti mesin dalam melatih kesegaran jasmaninya." Ia antirokok, gemar golf dan lari. Ia juga tetap membaca dan mengikuti perkembangan dunia. Dan ia bukan orang yang suka diam. Bagaimanapun juga, ia adalah pemimpin yang tahu bahwa negerinya, yang harus selalu siap menghadapi perubahan ekonomi dan politik dunia yang kian cepat, perlu tenaga kepemimpinan yang muda. Tak mengherankan bila selain Goh Chok Tong yang segera akan jadi kepala pemerintahan termuda di ASEAN -- banyak menteri dan pejabat penting Singapura yang masih berada di bawah usia 40 tahun. Siapa tahu mereka akan lebih baik ketimbang Lee Kuan Yew -- meskipun tak akan ada yang bakal menyamai Lee Kuan Yew. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini