Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Suara Besar, Tenaga Kurang

Di singapura kelompok etnis melayu praktis tak pernah memegang posisi kunci baik di pemerintahan maupun perusahaan. mereka tertinggal soal pendidikan & ekonomi oleh keturunan cina.

10 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SINGAPURA, kini apalagi dulu, ternyata bukan surga bagi orang-orang Melayu. Sekalipun jumlah mereka hampir sebanding dengan masyarakat keturunan Cina, bahkan jauh lebih besar dari puak Tamil, hampir tak ada orang-orang Melayu memegang posisi kunci di negeri pulau itu. "Kenyataan itu telah berlangsung sejak zaman penjajahan," kata Ketua Dewan Pusat Organisasi-Organisasi Budaya Melayu Singapura, Zulkifli Mohammed. Tertinggalnya orang-orang Melayu dalam percaturan ekonomi, sosial, dan politik di Singapura, menurut Zulkifli, bukan karena ditekan pemerintah, melainkan akibat bilangan keluarga yang besar dan pendapatan yang kecil. Tak herankalau mereka tak bisa menyejajarkan diri dengan masyarakat keturunan Cina maupun Tamil dalam masalah ekonomi dan pendidikan. Maka, di zaman penjajahan dahulu, agar anak-anak Melayu bisa mengecap pendidikan, pemerintah kolonial Inggris membangun sekolah-sekolah gratis bagi mereka. Ketika Partai Aksi Rakyat (PAP), yang dipimpin Lee Kuan Yew, berkuasa pada 1959, sekolah-sekolah untuk anak-anak Melayu, begitu pula sekolah-sekolah buat anak-anak Cina dan India, ditutup. Langkah ini ditempuh pemerintahan Lee untuk mempercepat proses Singapuranisasi. Maka, di awal 1960-an itu praktis hanya anak-anak keturunan Cina dan Tamil yang bisa meneruskan pendidikan. Mereka dikirim orangtua mereka, yang secara ekonomi kuat, belajar ke luar negeri. Pada 1986, sembilan anggota parlemen keturunan Melayu yang mewakili PAP membentuk Majelis Pendidikan Anak-Anak Islam (Mendaki), sebuah organisasi sosial yang bertujuan mengangkat derajat orang-orang Melayu. Lewat Mendaki dicoba dihimpun modal dari orang-orang Islam Singapura untuk membantu orang-orang Melayu -- baik mereka yang ingin terjun ke dunia bisnis maupun mereka yang mau melanjutkan pendidikan. Sementara itu, dalam rangka mempercepat proses Singapuranisasi, pemerintah menggusur orang-orang Melayu dari perkampungan mereka ke rumah-rumah pangsa (rumah-rumah susun). Alasannya: tinggal di perkampungan yang monoetnis akan membuat wawasan penghuninya menjadi sempit. Lebih dari itu mereka akan sukar memupuk kerja sama dengan etnis lain. Agar puak Melayu, terutama pegawai negeri dan karyawan swasta, mau diam di rumah pangsa, pemerintah mempermudah pengeluaran kredit pemilikan rumah dari Central Provident Fund (CPI) -- semacam Tabungan Asuransi Pengawai Negeri (Taspen) di Indonesia. Dengan kelonggaran itu kini tinggal generasi tua kaum Melayu yang masih betah diam di kampung-kampung. "Kalau boleh memilih, tentu saja saya lebih suka tinggal di kampung," kata Mahadun Idris. Mahadun, 72 tahun, pensiunan kernet bis kota, mengaku sudah sejak 1932 tinggal di kediamannya sekarang, Kampung Pasir Panjang, yang terletak sekitar 12 km sebelah barat pusat Kota Singapura. Tapi, kakek yang merantau dari Palembang ini bersama istrinya sudah harus pindah ke rumah pangsa tahun ini juga -- menyusul keenam anaknya, semuanya sudah berkeluarga, yang telah lebih dahulu tinggal di rumah-rumah susun. Hak guna pakai tanah di Kampung Pasir Panjang, menurut pemerintah, berakhir 1988. "Sebetulnya kami boleh menolak untuk dipindahkan asalkan kami sanggup membangun rumah bertingkat dua di sini," ujar Salamun Salim. Tapi, bagi Salamun, 70 tahun, pensiunan sopir perusahaan minyak Esso, yang sudah tinggal di Kampung Pasir Panjang sejak 1944, pilihan tetap saja bagaikan makan buah simalakama. Bagaimana mungkin ia, juga Mahadun, yang hanya hidup pas-pasan bisa membangun gedung bertingkat dua seperti disyaratkan pemerintah. Meski Kampung Pasir Panjang akan segera diratakan traktor, tak berarti "perkampungan" Melayu akan hilang di bumi Singapura. Sebagai kompensasi atas pemusnahan perkampungan-perkampungan Melayu yang tersebar di seantero negara pulau berpenduduk dua juta jiwa itu, pemerintah membangun sebuah proyek yang diberi nama Pusat Komersial Perkampungan Melayu di Geylang Serai. Alasan pemilihan Geylang Serai sebagai lokasi pembangunan proyek itu, karena mayoritas penduduk di daerah tersebut ada Melayu, 20% Cina, dan 10% Tamil serta etnis lainnya. "Proyek ini untuk mengingatkan orang bahwa pernah ada perkampungan masyarakat Melayu di Singapura, kata Zulkifli. Menurut Zulkifli, segala yang menyangkut kepentingan masyarakat Melayu diperjuangkan melalui PAP agar diterima pemerintah dan parlemen. Urusan orang-orang Melayu ini diatur oleh Biro Hal Ehwal Melayu PAP. Bagi Pertubuhan Kebangsaan Melayu Singapura (PKMS), masyarakat Melayu sesungguhnya tak punya wakil tulen yang bisa memperjuangkan kepentingan mereka dalam parlemen. Sebagai contoh, Ketua PKMS, Ariff Ibrahim, menunjuk pada kampanye bahasa Melayu yang diadakan hanya sekali dua tahun. Sementara itu, kampanye bahasa Mandarin diadakan terus-menerus. Akibatnya, kata Ariff, bahasa Melayu menjadi bahasa nasional kedua. Di bidang pendidikan, menurut Ariff, selama seperempat abad pendidikan tinggi bagi anak-anak Melayu diabaikan. Maka, ia menolak kesembilan tokoh Melayu anggota parlemen dari PAP itu mewakili orang Melayu Singapura. "Apakah bisa dikatakan mewakili Melayu kalau mereka dipilih masyarakat multietnis, bukan Melayu?" kata Ariff sinis. Kemenangan kesembilan (kini ke- 10) "wakil-wakil" Melayu dimungkinkan karena mereka dipasang di daerah pemilihan yang mayoritas penduduknya etnis Cina. "Bagaimana mereka mau menyuarakan dengan murni aspirasi orang Melayu, kalau mereka menjadi wakil rakyat karena dipilih etnis mayoritas itu," tambah Ariff. Selama ini, menurut Ariff, apa yang dibangun pemerintahan Lee Kuan Yew untuk orang-orang Melayu tak lebih dari rumah-rumah susun dengan hak guna pakai selama 99 tahun. Lain dari itu hampir tak ada. Tak satu pun orang-orang Melayu, misalnya, yang diberi kesempatan menjadi direktur bank. Padahal, kemampuan mereka untuk mencapai jabatan itu bukannya tidak ada. "Apa ini bukan diskriminasi namanya," ujar Ariff. Seorang pengamat politik kawakan di Singapura sependapat dengan Ariff tentang kesembilan orang Melayu yang boleh dikatakan tidak mewakili puak asal mereka di parlemen. Yang mereka wakili adalah konstituante mereka, bukan masyarakat Melayu. "Mereka gagal membangun sebuah masyarakat yang multietnis," ujar pengamat itu. Pengamat yang menolak disebutkan namanya itu mengemukakan data: pada Pemilu 1984 suara orang Melayu yang diberikan kepada PAP hanya 20-30 persen. "Ini bukti PAP tak mampu menarik orang Melayu yang tepat menjadi anggotanya," kata pengamat tersebut. Padahal, seperti dituturkan Zainal Abidin, wartawan senior Berita Harin, Singapura, sejak 1950 masyarakat Melayu telah memutuskan untuk "hidup kekal di Singapura bersama etnis lainnya." Maka, ketika Tunku Abdul Rahman masih menjabat Perdana Menteri Malaysia menawarkan sejumlah lahan permukiman kepada orang-orang Melayu Singapura hanya sedikit sekali (angkanya tak disebutkan) yang menerima tawaran tersebut. Karena itu, ketika Brigjen. Lee Hsien Loong tahun lalu mempersoalkan loyalitas orang Melayu, mereka sangat tersinggung oleh keraguan "putra mahkota" dinasti Lee itu. Ekram Husien Attamimi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus