Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Jenderal Khalifa Haftar mengklaim diri sebagai penguasa Libya.
Dia dulu anggota pasukan pimpinan Muammar Qadhafi yang mengudeta Raja Idris.
Dituduh dekat dengan CIA.
MESKIPUN memasuki Ramadan dan Libya ditutup karena wabah Covid-19, perang terus berkecamuk di negeri itu. Pada Senin, 4 Mei lalu, pesawat-pesawat tempur Libya menembaki tujuh tanker minyak milik milisi pendukung kelompok pemberontak yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Esoknya, militer melancarkan serangan besar-besaran ke pangkalan udara Al-Watiya, sekitar 200 kilometer sebelah barat daya Tripoli. Mereka mengerahkan sedikitnya 500 kendaraan militer untuk memaksa pasukan Haftar angkat kaki dari pangkalan. Hingga Jumat, 8 Mei, Al-Watiya belum juga jatuh ke tangan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan besar-besaran pasukan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) dilancarkan setelah Jenderal Khalifa Haftar mengumumkan dirinya sebagai penguasa Libya pada 27 April lalu. Sejauh ini, pasukan Haftar telah menguasai kawasan timur negeri itu dan beberapa daerah di kawasan barat. Perseteruannya dengan GNA telah memicu perang saudara selama bertahun-tahun.
Khalifa Haftar lahir pada 1943 di Kota Ajdabiya. Ia menempuh pendidikan tentara di Akademi Militer Benghazi hingga lulus pada 1966. Kariernya melesat setelah bergabung dengan kelompok tentara pimpinan Kolonel Muammar Qadhafi, yang mengudeta Raja Idris pada 1969.
Haftar masuk jajaran Dewan Komando Revolusi, junta militer yang kemudian memerintah Libya. Qadhafi mengirimnya belajar militer di Uni Soviet dan Mesir, lalu mengangkat sebagai kepala staf angkatan bersenjata. Haftar juga dipercaya memimpin sejumlah operasi militer. Dialah yang memimpin tentara Libya untuk mendukung pasukan Mesir memasuki Sinai, yang diduduki Israel pada 1973. “Ia anakku,” kata Qadhafi tentang kadet muda itu, “dan aku bapak spiritualnya.”
Titik balik terjadi ketika Haftar dikirim dalam sengketa perbatasan dengan Chad, negara di selatan Libya, pada 1987. Haftar kalah. Ia dan sekitar 400 tentaranya ditangkap oleh pasukan Chad. Qadhafi menolak mengakui Haftar dan pasukannya, yang dianggap telah melanggar hukum internasional karena memasuki wilayah Chad. Hubungan Haftar dan Qadhafi pun ambyar. Haftar bahkan berbalik memimpin gerakan melawan Qadhafi dari berbagai negara di Afrika. Pada 1990, Badan intelijen Amerika Serikat (CIA) membawa Haftar ke Amerika sebagai pengungsi.
Selama dua dekade berikutnya, dari Virginia, Amerika, Haftar berusaha menggulingkan Qadhafi dengan berbagai cara, termasuk upaya kudeta yang gagal di pegunungan Jabal Akhdar pada 1996. “Hubungannya yang dekat dengan intelijen Amerika membuka peluang bagi gelombang tudingan dari para komentator di Timur Tengah,” ujar Hussam Abugabal, analis ekonomi dan geopolitik di Middle East Economic Digest, kepada Middle East Eye. Salah satunya Haftar bekerja sama dengan CIA untuk menggulingkan Qadhafi.
Momentum perlawanan terhadap Qadhafi muncul lagi ketika Musim Semi Arab—gelombang protes terhadap pemerintah—menjalar di berbagai negara Timur Tengah dan negara Magribi pada 2011. Untuk mencegah gerakan itu merembes ke Libya, pemerintah Qadhafi segera menurunkan harga pangan, menyingkirkan perwira militer yang berpotensi membangkang, dan membebaskan sejumlah milisi Islam dari tahanan. Langkah itu tidak manjur.
Pada Februari 2011, unjuk rasa besar menentang Qadhafi pecah di mana-mana. Qadhafi menolak turun. Tentara lantas menembaki demonstran di Benghazi, yang menyebabkan ratusan warga sipil tewas. Peristiwa itu memicu perlawanan dan pecahnya perang sipil. Akhir bulan itu, kota-kota di sebelah timur, seperti Benghazi dan Misrata, dikuasai pasukan pemberontak, yang kemudian mendirikan Dewan Transisi Nasional (NTC) pimpinan Mustafa Abdul Jalil.
Dari Virginia, Haftar menghubungi kontaknya yang tersisa di angkatan bersenjata Libya, masyarakat sipil, dan kelompok-kelompok suku. “Semua orang menyampaikan hal yang sama,” katanya kepada The New Yorker pada 2015. “‘Kami mencari penyelamat. Di mana Anda?’ Saya menjawab, ‘Jika mendapat restu dari orang-orang di Libya, saya akan bertindak.’”
Haftar pun pulang ke Libya. Pada April 2011, NTC mengumumkan bahwa Abdul Fatah Yunis menjadi panglima angkatan bersenjata, Umar al-Hariri menjabat kepala staf angkatan bersenjata, dan Haftar sebagai komandan lapangan dengan pangkat letnan jenderal. Pasukan NTC terus menyerang Tripoli dan lambat-laun meraih dukungan internasional. Lebih dari 30 negara mengakui NTC dan bahkan Liga Arab mengakuinya sebagai wakil sah Libya.
Setelah Qadhafi terbunuh pada Oktober tahun itu, NTC menjadi penguasa de facto negeri tersebut. Dewan kemudian menggelar pemilihan umum pada Juli 2012, yang menghasilkan Kongres Nasional Umum (GNC). Haftar, yang tak mendapat posisi memadai di pemerintahan, akhirnya kembali ke Amerika.
Ternyata Libya yang dibelit sengketa antarkelompok milisi gagal membentuk pemerintahan baru. GNC, yang mendukung negara berbasis syariah Islam, memperpanjang mandatnya secara sepihak. Haftar kembali ke Tripoli dan mengumumkan bahwa GNC telah bubar dan menyerukan pembentukan pemerintahan sementara untuk menggelar pemilihan umum baru. Seruannya kurang mendapat tanggapan. Haftar lalu bergerilya dari kota-kota dan membentuk Angkatan Bersenjata Nasional Libya (LNA).
Pada Mei 2014, LNA menyerang milisi Islam di Benghazi. Bagi Haftar, daerah timur adalah tempat terbaik untuk membangun kekuatan. “Benghazi adalah basis utama terorisme di Libya, jadi kami mulai dari sana,” ujarnya kepada The New Yorker.
Fayiz Mustafa al-Sarraj, dalam sebuah wawancara di Berlin, Jerman, Januari 2020. REUTERS/Michele Tantussi
Haftar juga berpijak pada peribahasa kuno Libya yang mengatakan bahwa segala peristiwa penting terjadi di Benghazi. Pada 1937, Benito Mussolini memulai dari sana untuk membangun kekuatan. Pada 1951, Raja Idris mengumumkan kemerdekaan Libya dari kota itu. Ketika Muammar Qadhafi melancarkan kudeta terhadap Raja Idris, Haftar sedang bertugas di sana.
GNC buru-buru menggelar pemilihan umum pada Juni 2014. Kelompok liberal dan moderat menguasai kursi Dewan Perwakilan Rakyat dengan Aqilat Salih Isa sebagai ketuanya. Tapi tingkat partisipasi pemilihnya rendah, hanya 18 persen. Kelompok-kelompok Islam garis keras menolak hasil pemilu dan mulai menyerang berbagai kota. Ini yang memaksa DPR pindah, dari Tripoli ke Tobruk, kota pelabuhan di timur.
Haftar kemudian diangkat sebagai panglima LNA, yang diakui DPR. Militer pun pecah menjadi dua kubu: LNA di bawah Haftar yang menguasai kawasan timur dan Angkatan Bersenjata Libya di bawah kendali GNA yang berbasis di Tripoli. Perang di antara kedua kubu tak terhindarkan.
Dengan dijembatani Perserikatan Bangsa-Bangsa, kedua kubu akhirnya bersepakat berdamai melalui Kesepakatan Skhirat. Pemerintah Perjanjian Nasional (GNA) pun dibentuk pada akhir 2015 dengan Fayiz Mustafa al-Saraj sebagai perdana menteri. Meski diakui PBB, GNA ditolak DPR.
Di mata Haftar, GNA tak lebih dari kelompok teroris. “Tak ada dialog dengan terorisme,” katanya. “Satu-satunya hal yang perlu dikatakan soal terorisme adalah bahwa kami akan melawannya sampai mereka kalah dan kami memurnikan negeri ini.”
Beberapa kali pertemuan antara Haftar dan Saraj tak menghasilkan kesepakatan damai. Perseteruan kedua kubu makin runyam karena campur tangan pihak asing. GNA mendapat dukungan Qatar dan Turki, sedangkan LNA didukung Mesir, Rusia, dan Uni Emirat Arab.
Puncaknya, Haftar mengumumkan diri sebagai pemimpin Libya setelah menerima “mandat” rakyat pada 27 April lalu. “Kami menerima kehendak dan mandat rakyat dan mengakhiri Kesepakatan Skhirat,” katanya. “Perjanjian politik tersebut telah merusak negeri ini.”
IWAN KURNIAWAN (LIBYA OBSERVER, MIDDLE EAST EYE, THE NEW YORKER)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo