Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dewan Pengawas KPK menemukan 18 masalah di era kepemimpinan Firli Bahuri.
Pengembalian penyidik Rossa hingga pelarian Harun Masiku dipersoalkan.
Inspektur Jenderal Karyoto disebut tak mau sering ada operasi tangkap tangan.
RAPAT evaluasi triwulan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 27 April lalu digunakan Dewan Pengawas lembaga itu untuk mempertanyakan performa Ketua KPK Komisaris Jenderal Firli Bahuri dan empat wakilnya. Dewan Pengawas KPK menyorot 18 masalah yang terjadi sejak Firli dan kawan-kawan dilantik sebagai pemimpin komisi antikorupsi pada 20 Desember tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah seorang anggota Dewan Pengawas, Albertina Ho, mencecar soal pengembalian penyidik Komisaris Rossa Purbo Bekti ke institusi asalnya pada pertengahan Januari lalu. Menurut Albertina, seperti disampaikan sejumlah peserta rapat, pemimpin KPK seharusnya menolak permintaan dari Kepolisian RI karena masa tugas Rossa di lembaga antirasuah belum habis, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2012 tentang Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi Rossa saat itu sedang mengusut kasus suap komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan. Markas Besar Polri membatalkan penarikan Rossa, tapi Firli tetap ngotot mengembalikannya. Akibatnya, status Rossa terkatung-katung.
Albertina juga menyinggung pernyataan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengenai penggeledahan di kantor Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengalami kendala lantaran belum mendapat izin dari Dewan Pengawas. Ia mengatakan bagaimana Dewan Pengawas bisa menerbitkan izin jika surat permohonan penggeledahan belum diajukan. Sejumlah peserta rapat mengatakan Albertina menyampaikan omelan ketika membahas hal tersebut.
Dimintai konfirmasi mengenai perkataannya dalam rapat tersebut, Albertina irit menanggapi. “Ini hanya lanjutan minggu lalu dan bersifat internal,” ujar mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang itu pada Rabu, 6 Mei lalu.
Albertina tak berhenti di situ. Ia juga mempertanyakan kemampuan KPK dalam memburu para tersangka yang menjadi buron, termasuk Harun Masiku, yang dituduh menyogok Wahyu Setiawan. Bekas calon legislator dari PDIP itu kabur saat hendak diciduk dalam operasi tangkap tangan pada 8 Januari 2020. Selain Harun, ada tujuh tersangka lain yang masuk daftar pencarian orang. Dewan Pengawas membandingkan kinerja KPK dulu yang bisa menangkap buron meski di luar negeri. Menanggapi pernyataan Dewan Pengawas itu, menurut sejumlah peserta rapat, Firli lebih banyak diam.
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan rapat tersebut sebenarnya terbagi menjadi dua sesi, yakni soal tugas dan wewenang KPK serta evaluasi kinerja pimpinan lembaga antikorupsi. “Terkait pengawasan pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, Dewan Pengawas menemukan 18 permasalahan dari berbagai kedeputian. Yang paling banyak dibahas berasal dari Kedeputian Penindakan,” kata Tumpak.
Rapat evaluasi ini merupakan yang pertama sejak Dewan Pengawas terbentuk. Awalnya pertemuan yang dihadiri semua anggota Dewan Pengawas, pimpinan, dan pejabat struktural itu diagendakan digelar selama seharian penuh di auditorium gedung KPK lama, Jalan H R. Rasuna Said Kaveling C1, Jakarta Selatan, pada 27 April. Lantaran masih banyak hal yang belum dibahas, pertemuan dilanjutkan pada Rabu, 6 Mei lalu.
Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho di Istana Negara, Jakarta, 20 Desember 2019./TEMPO/Subekti
Rampung menyorot Kedeputian Penindakan, Dewan Pengawas beralih ke Kedeputian Pencegahan. Pada awal Februari lalu, Dewan Pengawas menerima pengaduan dari perusahaan di bidang tenaga listrik panas bumi ihwal surat yang diterbitkan Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.
Surat ini menyatakan aset negara di proyek tenaga listrik panas bumi di Jawa Tengah itu tidak bisa diserahkan kepada pihak swasta yang bersengketa dengan perusahaan negara penggarap proyek pembangkit listrik tersebut. Menurut Dewan Pengawas, penerbitan surat oleh Deputi Pencegahan berlebihan. Saat dimintai konfirmasi mengenai evaluasi ini, Pahala irit bicara. “Bukan untuk konsumsi publik,” ujarnya.
Dewan Pengawas kemudian mengevaluasi kinerja pimpinan KPK. Tumpak Panggabean mengatakan Dewan Pengawas memberikan pandangan soal “pemangku kepentingan”, “proses internal”, “penumbuhan dan pembelajaran”, serta “perspektif keuangan”. “Kesimpulannya akan dilakukan perbaikan,” kata Tumpak.
Evaluasi Dewan Pengawas berlanjut. Dewan Pengawas menganalisis Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) 2019. Ini pertama kalinya ada koreksi LAKIP. Sebelum diserahkan ke Dewan Pengawas, LAKIP diaudit Pengawas Internal KPK. Dewan Pengawas kemudian memberikan rekomendasi atas setiap persoalan yang muncul. Dengan adanya evaluasi dari Dewan Pengawas, kedeputian tidak bisa sembarangan menyusun laporan.
Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan evaluasi tersebut merupakan proses yang jamak dalam sebuah lembaga. “Dari beberapa permasalahan yang disampaikan Dewan Pengawas, hal itu harus dicarikan solusinya,” ujar Ali.
Ketua KPK Firli Bahuri enggan mengungkapkan hasil evaluasi. Dia beralasan sudah menemukan solusinya sehingga masalah yang muncul tak perlu diumbar kembali. “Mohon maaf, itu tidak kami sampaikan. Karena ibaratnya pesta sudah selesai, tugas kami untuk membersihkan piringnya,” ujar Firli dalam rapat dengar pendapat KPK dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu, 29 April lalu.
Firli mengakui ada masalah yang mencuat dalam tiga bulan pertama ia memimpin KPK. Bekas Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri ini mengatakan hal tersebut wajar dalam sebuah organisasi. “Setelah ada masalah, kami temukan solusinya, lalu kami sepakati,” ucapnya. Sementara Firli tak mau membuka evaluasi ini ke DPR, Tumpak menyatakan sebaliknya. Laporan pengawasan akan disampaikan kepada presiden dan DPR setahun sekali.
• • •
PERSOALAN yang disorot Dewan Pengawas tampaknya berpotensi terulang. Deputi Penindakan KPK yang baru, Inspektur Jenderal Karyoto, meminta bawahannya mengubah penanganan perkara.
Setelah dilantik pada pertengahan April lalu, bekas Wakil Kepala Kepolisian Daerah Yogyakarta itu disebut menginginkan operasi tangkap tangan yang lebih selektif. Menurut sejumlah pegawai KPK, Karyoto menyatakan tidak mau anak buahnya sering menciduk kepala daerah karena tak memberi efek yang besar dalam pemberantasan korupsi.
Menurut para narasumber tadi, Karyoto juga meminta metode pengusutan kasus lewat cara pembangunan kasus atau case building cukup dikerjakan selama tiga bulan. Jika ada yang tidak setuju dengan pola kerja ini, Karyoto menyilakan anak buahnya keluar dari KPK. Ia juga meminta dua penyidik dan satu penuntut umum terlibat sejak awal penyelidikan kasus.
Deputi Bidang Penindakan KPK Brigjen Pol Karyoto, memberikan keterangan kepada awak media di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 27 April 2020./TEMPO/Imam Sukamto
Saat dimintai konfirmasi ihwal gaya kerjanya ini, Karyoto tak merespons. Ia buru-buru menutup telepon dan tak membalas pesan pendek (SMS) ataupun pesan WhatsApp dari Tempo. Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan memang perlu ada kajian lebih lanjut mengenai efek operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK.
Gaya Karyoto berkebalikan dengan gaya pimpinan KPK periode sebelumnya yang agresif dalam mengusut perkara. Selama periode 2015-2019, terdapat 87 operasi penangkapan dengan tersangka awal sebanyak 327 orang. KPK juga menyelidiki 498 kasus, menyidik 539 kasus, dan menuntut 433 perkara. Ada 286 putusan yang berkekuatan hukum tetap dan 383 eksekusi dalam empat tahun terakhir.
Bekas Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, mengatakan operasi tangkap tangan justru bisa menjadi petunjuk untuk membongkar kasus-kasus lain. Penangkapan pelaku saat transaksi suap juga merupakan upaya mencegah korupsi yang lebih besar terjadi.
LINDA TRIANITA, ROSSENO AJI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo