HANTU perang saudara sedang mengintip Afrika Selatan. Padahal, negeri ini sedang bergelut mencari pengganti sistem apartheid yang dikutuk dunia. Untuk itu, sebuah pemilihan umum yang tak lagi membeda-bedakan warna kulit bakal digelar akhir April ini. Tapi apa lacur, belum apa-apa ketidakpuasan sudah merebak. Satu demi satu partai politik mulai melancarkan boikot. Yang terakhir adalah Partai Inkatha. Pemimpinnya, Mangosutu Buthelezi, dengan lantang mengatakan bahwa Inkatha tak akan sudi berkompetisi dalam pemilu. Jika benar Inkatha mogok, pemilu April nanti bisa jadi tak bakal menyelesaikan masalah yang melilit Afrika Selatan. Inkatha adalah partai yang didominasi suku Zulu, kelompok etnis terbesar Afrika Selatan, yang jumlahnya sekitar sembilan juta orang. Dan Inkatha, seperti tadi disebut, tidak sendiri. Front Rakyat Afrikaner (APF), yang mengaku mewakili aspirasi kaum kulit putih, sudah lebih dulu menampik ikut pemilu alias memboikotnya. Persoalan menjadi kian rumit karena sebenarnya sudah ada konsesi untuk memenuhi tuntutan APF dan Inkatha -- yang membentuk persekutuan yang diberi nama Aliansi Kebebasan. Sistem pemilihan, umpamanya, sudah diubah, dari sistem pemilu terpusat menjadi sistem ganda. Rakyat boleh memilih wakil untuk pusat dan untuk daerah -- mirip pemilu di Indonesia. Kekuasaan dan porsi pendapatan buat daerah pun diperbesar -- seperti yang dituntut Inkatha. Pajak kasino dan perjudian, contohnya, diberikan ke daerah. Untuk membujuk agar APF dan Inkatha ikut pemilu, tenggat pendaftaran pemilu pun diperpanjang hingga 7 Maret ini -- dari batas akhir semula Sabtu pekan lalu. Dan segala perubahan itu sudah disahkan parlemen pada 1 Maret 1994. Perubahan itu tentu disertai jaminan. Rancangan konstitusi produk "orde lama", misalnya, tak boleh dikutak-katik oleh majelis konstitusi yang bakal dipilih dalam pemilu April nanti. Jaminan ini dianggap perlu karena Aliansi Kebebasan itu khawatir bakal keteter bila Kongres Nasional Afrika (ANC) pimpinan Nelson Mandela memenangkan pemilu dan mengobrak-abrik semua kesepakatan nasional yang dibuat -- misalnya dengan dalih gara-gara itu produk lama. Banyak pihak memang meramal ANC tak akan menemui kesulitan untuk memenangkan pemilu. Popularitas Nelson Mandela masih di atas angin untuk mendongkrak perolehan suara. Dan bukan rahasia lagi jika ANC menginginkan sebuah pemerintahan terpusat yang kuat untuk mengendalikan Afrika Selatan yang terpilah-pilah dalam berbagai suku dan ras itu. Dengan adanya sejumlah konsesi tadi, sebenarnya ANC sudah mau mengendurkan nafsunya untuk memiliki kekuasaan yang terpusat dan terkendali. Sekalipun demikian, Inkatha tetap saja tak puas. "Perubahan-perubahan itu hanya membodohi saya. Mereka menghina kecerdasan saya, Partai Inkatha, dan Afrika Selatan," kata Buthelezi. Sementara itu, APF terang-terangan mau membentuk negara sendiri dengan tiga juta penduduk. Raja Zulu, Zwelithini, ingin mendirikan Kerajaan KwaZulu yang terpisah dari Afrika Selatan. Dalam pertemuan dengan Presiden F.W. de Klerk, Zwelithini bahkan sesumbar, "Kerajaan ini bakal menjadi contoh terbaik sebagai monarki yang paling demokratis dan pluralistis." Namun, banyak pihak yang ragu KwaZulu bakal mandiri -- terutama dalam hal keuangan. Bahkan, rakyat suku Zulu sendiri tak kompak mengikuti rajanya, Zwelithini itu. Misalnya, sebagian rakyatnya justru mendukung ANC. Nelson Mandela juga mengklaim bahwa sebagian besar suku Zulu adalah andalan pendukung partainya. Lain halnya dengan Buthelezi -- masih terbilang paman Presiden De Klerk -- pemimpin Inkatha. Ia lebih menyukai bentuk negara federal yang berinduk pada Negara Afrika Selatan. Namun, Buthelezi belum juga puas dengan konsesi yang diberikan ANC, yakni wewenang yang lebih besar bagi negara bagian itu. Seperti di negara lain, persaingan di atas pun terwujud dalam bentuk dukungan fanatik rakyat di bawah. Tak jarang mereka saling menyerang dan membunuh demi partainya. Sabtu dua pekan lalu, misalnya, 34 orang tewas di Provinsi Natal, daerah hunian suku Zulu, yang menjadi ajang perkelahian antara pendukung Inkatha dan ANC. Tiga hari kemudian, 28 orang lagi tewas -- masih dalam konflik antarpartai. Korban yang jatuh itu termasuk wanita dan anak-anak yang baru berusia empat tahun. Bantai-membantai ini pun dapat terjadi tanpa mengikuti alur politik di atas. Misalnya saja, pendukung ANC (Nelson Mandela) dan Partai Nasional milik Presiden De Klerk mestinya bahu- membahu. Sebab keduanya sama-sama mendukung pelaksanaan pemilu. Tapi lain yang terjadi di bawah. Pekan lalu, pendukung Mandela menyerbu kampanye Partai Nasional. Sekepal batu sempat melayang ke leher De Klerk. Akibatnya, terjadi bentrok antarpendukung kedua partai itu, yang makan korban seorang ibu -- terkena peluru nyasar di halaman rumahnya ketika melihat perkelahian. Mimpi buruk mungkin bakal terjadi di Afrika Selatan. Ada sebuah skenario yang dapat membuat negeri itu kian runyam, yakni bila kaum Afrikaner dan Inkatha bahu-membahu berjuang demi kelompoknya. Afrikaner punya keterampilan manajemen, komandan tempur, dan peralatan yang berstandar tinggi. Dan Inkatha bisa memasoknya dengan serdadu, tukang berkelahi, yang tak terbatas jumlahnya. Tak terbayangkan bagaimana konflik di ujung Afrika itu dapat berakhir dengan kepala dingin di meja perundingan. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini