SUKSES NATO mengamankan Sarajevo, apa pun sebabnya, merupakan preseden ampuh. Jenderal Michael Rose, komandan PBB di Bosnia, yakin bahwa ultimatum yang sama dapat juga untuk membebaskan wilayah lain di Bosnia, misalnya untuk membuka beberapa kota yang dikepung Serbia (atau Kroasia). Setidaknya di tiga kota yang masih dikuasai warga muslim Bosnia (Tuzla, Srebenika, dan Mostar), penduduknya lebih kurang bernasib sama dengan warga Sarajevo: terkepung, kelaparan, dan setiap saat dihujani mortir oleh milisi Serbia. Tapi belum-belum Presiden AS Bill Clinton sudah memperingatkan agar NATO tak melakukan operasi, apa pun misinya, di luar kekuatannya. Clinton tampaknya sangsi, NATO mampu melakukan ancaman yang sama terhadap daerah aman. Dan Jenderal Rose, bagaimanapun, tak dapat bertindak tanpa perintah dari Dewan Keamanan PBB. Tak jelas apa yang ditakutkan Clinton. Yang pasti, tanpa upaya serupa di Sarajevo, penduduk Tuzla dan Mostar akan terus menjadi sasaran mortir Serbia, dan terputus hubungannya dengan dunia di luarnya. Setelah terkepung beberapa lama, kini Tuzla makin menyedihkan. Sejumlah 750 ribu warga kota itu hari-hari ini benar-benar terancam kelaparan. "Kami akan segera mati," keluh Ruzica Markovic. "Bagaimana bisa bertahan tanpa secuil makanan pun?" kata penduduk Tuzla berusia 53 tahun yang lolos dari serangan mortir Serbia Ahad pekan lalu itu. Sebenarnya, Tuzla, setelah Sarajevo, termasuk kota yang diprihatinkan oleh PBB. Itu sebabnya, ada rencana operasi pembebasan bandar udara di Tuzla, direncanakan 7 Maret, untuk memasok bahan pangan dan obat-obatan. Tapi, entah mengapa, operasi ini diundur sampai 18 Maret. Karena itu, Menteri Luar Negeri Prancis Francois Leotard marah besar. Ia menganggap, lebih cepat operasi Tuzla dilaksanakan lebih baik, mumpung efek psikologis Sarajevo masih terasa. Pasukan PBB cukup mengatakan, kalau sampai pesawat PBB ditembak, mereka akan dihabisi. Kata Leotard kepada Reuters, "Sedikit ancaman diperlukan untuk pasukan yang membabi buta mengepung Sarajevo, dan kini Tuzla." Demikian pula Mostar, kota di Bosnia bagian selatan. Di sini 27.000 penduduk hidup seperti tikus, kata Jerrie Hulme, Kepala Urusan Bantuan PBB. Sejak tentara Kroasia melancarkan serangan bom, Mei 1993, warga Mostar hidup di bawah tanah, menghindari serangan bom dan penembak gelap. Tak ada air, listrik, atau pasar yang menyediakan bahan makanan. "Apakah dunia tahu bahwa kami tak punya pasta gigi atau pakaian atau makanan selama sepuluh bulan ini?" tanya Nyonya Tanovic, yang pernah memimpin warga kota memblokade pasukan PBB agar tak keluar dari Mostar Agustus lalu. Tapi memang, setelah pengepungan Sarajevo dikendurkan pun, korban masih jatuh. Pertengahan pekan lalu, misalnya, dua tentara muslim Bosnia tewas ditembak penembak gelap. Tampaknya, bila tak ada jalan lain untuk mempertahankan perdamaian, saran sejumlah pengamat layak dipikirkan: membuat tiga kekuatan di Bosnia seimbang. Memang pemecahan seperti ini punya dua sisi. Yang buruk, terjadi perang habis-habisan. Yang baik, mereka sama-sama menahan diri. Seandainya kemungkinan pertama yang terjadi, setidaknya yang berlangsung adalah perang yang seimbang. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini