Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Siasat Tanker Teheran

Amerika Serikat menerapkan berbagai sanksi ekonomi untuk menekan Iran. Teheran berkelit dengan banyak cara.

1 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perempuan Iran berdemonstrasi menentang kebijakan Amerika Serikat di Kota Teheran, 4 November 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan hukum maritim internasional, sejak 2004, tanker diminta menggunakan transponder Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) untuk memberitahukan identitas dan lokasinya. Transponder itu perangkat keamanan yang digunakan kapal-kapal pengangkut berukuran jumbo untuk menghindari tabrakan di perairan internasional.

TankerTrackers.com—situs pemantau pengiriman minyak global—menemukan sejumlah hal tak biasa sejak Oktober lalu. Sejumlah tanker Iran mematikan transponder mereka selama lebih dari sepekan. Akibatnya, TankerTrackers.com mengandalkan sepenuhnya citra satelit untuk memantau pergerakan tanker-tanker tersebut.

Co-founder TankerTrackers.com, Samir Madani, mengaku tak terlalu heran terhadap manuver tanker Iran itu. “Mematikan transponder AIS adalah modus operandi umum tanker Iran di wilayah Teluk Persia dan Teluk Oman,” kata Madani kepada VOA News, pertengahan November lalu. “Itu mengkhawatirkan dari aspek keselamatan.”

Perwakilan Khusus Amerika Serikat untuk Iran, Brian Hook, mengatakan ada data kredibel yang menunjukkan selusin tanker Iran baru-baru ini menonaktifkan transponder maritim mereka. “Langkah itu meningkatkan risiko kecelakaan,” ucap Hook, Rabu dua pekan lalu. Ia menyebut hal ini sebagai taktik lama Iran untuk menghindari sanksi Amerika, yang melarang perusahaan dan negara lain berbisnis dengan Iran.

Sanksi itu merupakan tindak lanjut atas keluarnya Amerika di bawah Presiden Donald Trump dari kesepakatan nuklir dengan Iran, yang dicapai pada 2015. Dalam kesepakatan dengan Amerika, Uni Eropa, Prancis, Jerman, Inggris, Rusia, dan Cina itu, Iran bersedia menghentikan program nuklirnya untuk kepentingan militer dengan imbalan pencabutan sejumlah sanksi ekonomi terhadap Negeri Para Mullah.

Amerika mundur dari kesepakatan tersebut sejak Mei lalu, diikuti dengan pemberlakuan kembali sanksi yang dicabut pada masa Presiden Barack Obama dua tahun lalu. Sejak 7 Agustus, Amerika melarang Iran membeli mata uang dolar. Negara lain pun tidak boleh berdagang emas dan logam mulia lain atau menjual onderdil mobil, pesawat penumpang komersial, serta layanan terkait lain kepada Iran.

Puncaknya, 4 November lalu, Amerika melarang negara lain dan perusahaan swasta membeli minyak mentah Iran. Amerika juga menerbitkan daftar hitam berisi nama 50 bank dan anak perusahaan Iran, lebih dari 200 orang, serta kapal dan maskapai penerbangan nasional Iran. Amerika bisa menyita aset entitas yang masuk daftar hitam tersebut yang berada di bawah yurisdiksinya. Sanksi itu juga melarang hubungan komersial dengan orang-orang atau entitas di daftar hitam.

Dua pekan kemudian, Selasa dua pekan lalu, Kementerian Keuangan Amerika memasukkan nama pengusaha Suriah, Mohammad Amer Alchwiki, dan perusahaannya yang berbasis di Rusia, Global Vision Group, ke daftar hitam karena mengirim minyak Iran ke Suriah dan memberikan dana kepada Pasukan Garda Revolusi Iran. Perusahaan Rusia, Promsyrioimport, juga masuk daftar itu dengan tudingan sama.

Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, Senin pekan lalu, memperingatkan melalui Twitter bahwa ada “konsekuensi serius bagi siapa saja yang menghindari sanksi Amerika dan mendukung Iran”. “Pemerintah Iran punya pilihan: melakukan perubahan 180 derajat dari tindakannya saat ini dan bertindak seperti negara normal lain atau melihat ekonominya runtuh,” ujar Pompeo.

Amerika memang masih memberikan keringanan bagi impor minyak mentah dari Iran untuk delapan negara, yaitu Cina, India, Italia, Yunani, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Turki. Namun, Pompeo menyebutkan, pengecualian itu bersifat sementara dan hanya berlaku 180 hari untuk membantu “memastikan pasar minyak dipasok dengan baik”.

Setelah sanksi diberlakukan, ekspor minyak mentah Iran turun dari 2,5 juta barel per hari menjadi sekitar 1,5 juta barel per hari. Pemerintah Trump ingin ekspor minyak Iran, yang menjadi mesin ekonomi penting negara itu, turun sampai 0 persen. Presiden Iran Hassan Rouhani menjawab sanksi itu dengan menyatakan tidak akan menyerah kepada “bahasa kekuatan, tekanan dan ancaman” serta bersumpah untuk mengatasinya.

Iran mulai didera sanksi Amerika setelah meletus Revolusi Iran 1979. Iran sudah menempuh berbagai cara agar tetap bisa mengekspor minyak dan menghidupi ekonominya. Sejumlah analis menilai Iran sekarang mulai menerapkan cara yang sama untuk menghindari sanksi tersebut. “Akan selalu ada kegiatan terbuka dan rahasia untuk mengatasi sanksi atau untuk menghindarinya,” tutur Dan Wager, konsultan di perusahaan LexisNexis Risk Solutions.

Menurut Wager, banyak teknik yang digunakan untuk mengakali sanksi Amerika. Cara itu antara lain pencucian uang, termasuk menggunakan perusahaan cangkang, ekspedisi kargo, atau perantara lain untuk menyembunyikan asal atau tujuan barang.

Wager memberikan contoh upaya Iran mendapatkan komponen pesawat, sesuatu yang sangat dibutuhkan Iran untuk menjaga pesawat tuanya agar tetap bisa terbang. Menurut dia, ada jaringan orang-orang yang akan mendatangi perusahaan penyedia suku cadang pesawat, membelinya, dan menyatakan barang-barang tersebut akan dikirim ke negara yang tak terkena sanksi. “Setelah barang sampai, mereka selanjutnya mengirimkannya ke Iran,” katanya.

Berbeda dengan komponen pesawat, yang tergolong rumit adalah mengatasi sanksi ekspor minyak karena komoditas itu harus diangkut dengan tanker. Namun Iran menemukan cara untuk melakukannya. Menurut Peter Harrell, peneliti dari Center for a New American Security—lembaga pemikir di Washington, DC—salah satunya dengan mematikan transponder tanker. “Mereka juga akan mengambil rute pelayaran yang sangat sulit untuk mencoba menyamarkan bahwa itu tanker Iran,” ucap Harrell. “Mereka juga mengubah bendera dan nama tankernya.”

Dengan adanya sanksi Amerika, Harrell menambahkan, sejumlah negara dan perusahaan besar di bidang energi harus berani mengambil risiko menerima sanksi jika tetap membeli minyak dari Iran. Tapi perusahaan-perusahaan itu bisa menyiasatinya menggunakan perusahaan atau bank kecil untuk bertransaksi. “Minyak itu bisa dibeli oleh beberapa perusahaan kecil yang tidak punya bisnis di Amerika,” katanya.

Neil Bhatiya, kolega Harrell, mengatakan, “Mungkin ada beberapa pembeli Asia yang tidak takut terhadap sanksi Amerika karena mereka tidak bertransaksi dalam dolar.”

Beberapa metode lain pernah diterapkan Iran, seperti menjual minyak kepada Cina dengan barter mobil dan telepon. Hal serupa dilakukan Iran dengan India untuk mendapatkan mata uang negara itu. Siasat lain yang juga diperkirakan dipraktikkan Iran adalah mengirim minyak ke Rusia, negara yang berani menentang Amerika, untuk disalurkan ke Eropa dan negara lain.

Iran masih tertolong oleh sikap negara-negara Uni Eropa, Cina, dan Rusia yang ingin kesepakatan nuklir tetap berlaku. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini menyebut perjanjian nuklir 2015 sebagai elemen kunci untuk arsitektur non-proliferasi serta penting bagi keamanan regional dan global.

Untuk mengatasi sanksi Amerika, Uni Eropa menyiapkan sebuah sistem keuangan internasional khusus untuk membantu agar perusahaan-perusahaan Eropa bisa tetap berbisnis dengan Iran. Menurut Reuters, pengoperasian sistem ini akan ditanggung bersama oleh Prancis dan Jerman karena negara lain khawatir akan ancaman Amerika.

ABDUL MANAN (REUTERS, TGE NATIONAL.AE, PRESS TV, THE ATLANTIC, NEW YORK TIMES)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus