Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah di Balik Surat Pendiri Bangsa

SURAT-surat para pendiri bangsa, dari Sukarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, hingga Ki Hadjar Dewantara, dipamerkan di Museum Nasional.

1 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kisah di Balik Surat Pendiri Bangsa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat-surat tersebut tak hanya berisi pemikiran para tokoh itu, tapi juga mencerminkan sisi humanis mereka. Pameran tersebut juga menampilkan surat-surat John Lie, penembus blokade laut Belanda yang menyelundupkan senjata untuk para pejuang di Tanah Air.

"Mereka begitu takut. Karena perasaan-perasaan yang sangat peka. Perasaan-perasaan menjadi sangat peka karena ada poenale sanctie atau dalam bahasa Belanda sehari-hari perbudakan modern."

 

IBRAHIM Datuk Tan Malaka mengungkapkan sepenggal cerita itu dalam surat yang ia tulis hampir seabad silam. Surat itu dikirimkan oleh Tan Malaka dari perkebunan tembakau milik Belanda di Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara, ke kediaman sahabatnya selama kuliah di Belanda, Dick van Wijngaarden, pada 5 Januari 1921.

Dalam surat yang ditulis dalam bahasa Belanda itu, Tan Malaka menceritakan kegundahannya setelah melihat penindasan oleh Belanda terhadap kuli kontrak di Tanjung Morawa. Setelah menamatkan kuliahnya di Haarlem, Belanda, pria kelahiran Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, itu menerima pekerjaan sebagai guru di sekolah bagi anak-anak kuli di sana. Namun kondisi di sana membuat Tan Malaka tidak betah sehingga dia ingin segera berhenti dari pekerjaannya itu.

Harry Poeze, sejarawan Belanda yang memiliki surat-menyurat Tan Malaka dengan Dick van Wijngaarden, mengatakan pengalaman bekerja di Tanjung Morawa itulah yang menyadarkan Tan Malaka betapa buruknya kolonialisme. Dia melihat para kuli tidak mendapatkan upah yang layak. Mereka pun dipukuli. Sementara itu, yang perempuan diperkosa. ”Sedih melihat kondisi itu, dia tergerak untuk melakukan berbagai aksi dengan tujuan mengusir Belanda dari Tanah Air,” kata Poeze saat -ditemui Tempo di Jakarta, Kamis dua pekan lalu.

Dalam suratnya, Tan Malaka menandaskan bahwa rakyat Indonesialah yang memiliki hak untuk menentukan nasib politik negeri ini, bukan Belanda. ”Pada saat kau terima surat ini, mungkin sekali aku sudah lama ada di Medan atau Jawa,” ujar Tan Malaka kepada Van Wijngaarden. Tan Malaka pun memutuskan pergi ke Semarang, Jawa Tengah. Dia kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia, meskipun sebelumnya sempat ditawari berjuang di bawah bendera Sarekat Islam.

Suasana pameran ”surat pendiri bangsa” di Museum Nasional, Jakarta Pusat, 17 November lalu. -TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Sejak bergabung dengan PKI, Tan Malaka rajin melakukan aksi bersama para buruh memprotes penindasan yang dilakukan perusahaan-perusahaan Belanda. Dia pun mendirikan sekolah untuk anak-anak miskin, sekitar 20 sekolah, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Tujuannya untuk menumbuhkan rasa bangga di dalam diri generasi muda terhadap bangsanya sehingga tidak mau lagi dijajah. ”Belanda tidak senang terhadap aksi-aksi itu. Dia pun ditahan,” kata Poeze.

Dalam tahanan, Tan Malaka diberi pilihan: dibuang di dalam negeri atau ke luar negeri. Jika dibuang di dalam negeri, dia tentu tidak akan memiliki akses terhadap dunia luar dan jauh dari kehidupan politik. Dia pun meyakini perkembangan dunia bermula dari Eropa. Salah satunya Belanda. Akhirnya Tan Malaka dibuang ke Belanda. Dia bergabung dengan Partai Komunis Belanda. ”Tapi dia sudah tidak ada hubungan lagi dengan orang-orang dekatnya, termasuk Dick,” ujar Poeze.

Ternyata surat yang dikirimkan oleh Tan Malaka dari Tanjung Morawa itu adalah surat terakhirnya kepada Dick van Wijngaarden. Menurut Poeze, surat-surat Van Wijngaarden, baik ke Semarang maupun alamat-alamat lain setelah Tan Malaka meninggalkan Tanjung Morawa, selalu dikembalikan. Di atas amplop itu tercetak stempel yang menyebutkan bahwa alamat tujuan tidak dikenal. ”Yang menarik, hanya amplopnya yang dikembalikan. Isinya hilang entah ke mana,” ucap Poeze.

-TEMPO/Hilman Fathurrahman W

SURAT Tan Malaka itu adalah satu dari 25 surat yang dipamerkan di Museum Nasional, Jakarta, pada 10-22 November lalu. Berbagai surat yang ditulis oleh delapan tokoh, yakni Tan Malaka, Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara, Kartini, dan John Lie, ditampilkan dalam pameran bertajuk ”Surat Pendiri Bangsa” tersebut.

Menurut kurator pameran, Bonnie Triyana, tim kurator ingin menampilkan pemikiran para tokoh itu yang tecermin dalam surat-suratnya. Salah satunya surat milik Ki Hadjar Dewantara. Pria bernama kecil Suwardi Suryaningrat itu pernah ditawari beasiswa oleh Jacques Henrij Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Pemerintah Hindia Belanda. Namun, dalam surat untuk Abendanon pada 30 Oktober 1913, Suwardi menolak beasiswa untuk sekolah kedokterannya di STOVIA, Belanda, itu karena Abendanon mengajukan syarat yang harus dipenuhinya.

Syarat itu dikemukakan oleh Suwardi dalam surat yang dia kirimkan dari tempat kerjanya, kantor redaksi De Indier, Den Haag, Belanda, ke kantor Abendanon di kota yang sama. ”Maksud Anda ialah untuk menyokong studi saya di Belanda tetapi dengan syarat, saya harus mengundurkan diri dari gerakan yang tidak simpati Anda.” Tak mau berhenti melakukan aksi melawan Belanda, Suwardi memilih tidak menerima beasiswa itu meskipun kondisi ekonominya tengah limbung.

Menurut Agus Purwanto, pengurus Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, prinsip Ki Hadjar itu tetap dipegang teguh oleh Perguruan Tamansiswa hingga kini. Perguruan yang didirikan oleh Ki Hadjar pada 3 Juli 1922 itu sangat selektif ketika akan menerima bantuan dari pihak lain. ”Jangan sampai nantinya ada efek terikat dengan pihak yang memberi bantuan,” kata Agus di Museum Dewantara Kirti Griya, Jumat dua pekan lalu.

Surat asli Mohammad Hatta kepada Gemala. -TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Pemikiran Sutan Sjahrir juga tecermin dalam surat yang dia tulis untuk sang istri, Maria Duchateau, dari rumah pengasingan Digul, Papua. Sjahrir terlihat sebagai sosok yang menghargai perbedaan. Dalam surat yang dia tulis pada 10 September 1935 itu, Sjahrir merasakan keanehan pada orang-orang yang diasingkan di sana. ”Komunisme mereka adalah aneh, penuh mistik, diwarnai Hindu Jawa atau Islam Minangkabau atau juga Islam Banten, maksudnya di dalam tiga-tiganya terdapat elemen animisme.”

Walaupun merasa pemikirannya berbeda dengan teman-temannya di pengasingan, Sjahrir ingin mempelajari kebudayaan orang-orang itu untuk memahami pemikiran mereka. Menurut Sjahrir, saat itu ada banyak ketidakjelasan pada orang-orang di sekitarnya. Tapi itulah alasan Sjahrir untuk lebih mendalami tradisi dari seluruh Indonesia.

Dalam surat Sjahrir untuk istrinya di waktu yang berbeda, yakni pada 30 Mei 1935, terungkap pula bahwa selama di-asingkan, ia paling merasa kesepian saat berada di Digul. Sebelumnya, Mohammad Hatta pernah mengatakan bahwa Sjahrir tampak lebih murung sejak dipindahkan ke rumah pengasingan Banda Neira, Maluku, dari Digul. Di Digul, menurut Hatta, Sjahrir terlihat jauh lebih riang dan banyak bergaul dengan teman-teman di pengasingan.

Namun, dalam suratnya kepada Mieske (panggilan sayang Sjahrir untuk Duchateau), dia mengeluh bahwa orang-orang sesama buangan, bahkan sahabat-sahabatnya sendiri, di sana tidak bisa memahami dirinya. ”Di sini aku merasa lebih banyak kesepian dan sendiri, melebihi kesendirian di dalam sel penjara itu sendiri,” ujarnya. Sjahrir menulis bahwa kehidupannya di antara orang buangan memang jauh lebih berat daripada ketika ia berada di dalam -penjara.

Untuk mengobati kesepiannya itu, Sjahrir meminta istrinya menulis surat secara teratur sehingga ia bisa menerimanya saat kapal dari Belanda berlabuh di Digul setiap tiga minggu sekali. Sjahrir menyebutkan ia merasa lebih baik, murni, dan merdeka ketika membaca surat-surat Duchateau. Termasuk ketika Sjahrir menulis surat untuk Duchateau. Saat itu ia baru membaca kembali surat terakhir dari istrinya. Dalam surat balasannya untuk Duchateau, Sjahrir menulis, ”Malam ini aku merasa tenang lagi, Sayang.”

Menurut Bonnie Triyana, pameran ”Surat Pendiri Bangsa” juga ingin memperlihatkan sisi humanis dari para tokoh yang tecermin dalam surat-surat mereka. Salah satunya surat Sukarno pada 16 Desember 1948 untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo. Saat itu, Sukarno dan delegasi Indonesia akan bertolak ke India. Sukarno mengajak Ali. Namun Ali batal ikut karena diperlukan oleh Hatta di dalam negeri. Akhirnya Sukarno meminta maaf kepada Ali dalam sebuah surat dinas.

Dalam surat itu, Sukarno begitu menyesal terhadap pembatalan keikutsertaan Ali ke India. ”Dengan berat hati saja menulis surat ini,” ujar Sukarno dalam lembaran surat yang berkop Presiden Republik Indonesia tersebut. Ia juga menulis, ”Saja merasa benar-benar betapa tidak enak. Saja mengharap mendapatkan maaf dari Saudara. Harap ’putih sama putih’.” Menurut Bonnie, surat itu tidak terlihat seperti surat dinas antara presiden dan bawahannya. ”Surat itu adalah surat sebagai teman.”

Surat asli Ki Hadjar Dewantara kepada Jacques Henrij Abendanon. -TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Menurut putri Bung Karno, Sukmawati Soekarnoputri, ayahnya memang sangat dekat dengan Ali Sastroamidjojo. Ali setia membantu Sukarno dalam berbagai jabatan pemerintahan, dari menteri, perdana menteri, hingga duta besar. Ali juga kader partai bentukan Sukarno, Partai Nasional Indonesia, dan pernah menjadi ketuanya. ”Untuk mewujudkan cita-cita PNI, Bung Karno sering bertukar pikiran dengan Pak Ali,” kata Sukmawati saat dihubungi pada Jumat dua pekan lalu.

Dalam surat kepada sahabatnya di Belanda, Samuel Koperberg, pada 28 November 1936, Sukarno juga memperlihatkan sisi humanisnya. Koperberg salah satu tokoh dalam kepengurusan Indische Sociaal-Democratishe Partij dan Sekretaris Java Instituut, lembaga ilmiah di Hindia Belanda yang didirikan pada 1919.

Dalam surat yang ditulis di rumah pengasingan Ende, Flores, itu, dia meminta maaf kepada Koperberg karena terlambat mengirimkan obituari tentang H O.S. Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam. ”Saya merasa malu karena untuk 25 halaman yang kecil ini saya lewatkan setengah tahun karena… malas,” tutur Sukarno dalam suratnya. ”Ternyata seorang Bung Karno juga bisa malas,” ujar Bonnie.

Surat asli Sukarno kepada Ali Sastroamidjojo. -TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Sisi humanis Mohammad Hatta pun tecermin dalam surat-surat yang dia kirimkan kepada Gemala Hatta saat anak kedua Hatta itu menempuh kuliah medis di University of Sydney, Australia, pada 1973-1976. Dalam dua surat Hatta kepada Gemala yang dipamerkan, ketika mengawali suratnya, Hatta selalu memanggil Gemala dengan sebutan ”Gemala yang manis”. Begitu pula saat mengakhiri suratnya, Hatta selalu menulis, ”Peluk-cium dari ayah.”

Menurut Gemala, walaupun lebih dikenal sebagai pribadi yang serius, Hatta sebenarnya sosok yang hangat. Hatta pun sangat perhatian terhadap ketiga putrinya. Selama Gemala berkuliah di Australia, tak pernah sekali pun pria Minangkabau itu lupa membalas surat anaknya. Sampai-sampai, saat Gemala lulus dari Australia, dua album foto sudah terisi penuh surat dari Hatta. ”Kalau dapat surat, segera dibalas betapa pun sibuknya dia,” ucap Gemala saat dihubungi pada Selasa dua pekan lalu.

Ada satu pesan dari Hatta yang begitu lekat dalam ingatan Gemala saat baru tiba di Australia pada akhir 1973. Saat itu, Hatta menulis sepucuk surat yang berisi harapan agar anaknya tersebut bisa menyelesaikan kuliahnya sebelum berumur 25 tahun. ”Kalau sudah 25 tahun, bangun karier di Indonesia,” kata Hatta kepada Gemala. Harapan itu akhirnya bisa dipenuhi Gemala, yang menamatkan kuliah pada usia 24 tahun. ”Ayah bilang, jangan terlalu banyak mencari teori,” ujar Gemala.

Surat asli Tan Malaka kepada Dick van Wijngaarden. -TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Hatta juga dikenal sebagai seorang kutu buku. Hal itu ditegaskan dalam surat-surat Hatta kepada Johannes Eduard Post, pemilik perusahaan impor di Amsterdam, Belanda. Saat diasingkan di Banda Neira, Maluku, Hatta kerap meminta dikirimkan buku kepada sahabatnya itu. Dalam suratnya pada 22 Februari 1938, Hatta meminta buku Sociologie karya Rudolf Eisler. ”Kenalan saya pinjam buku itu dan sampai sekarang dia tidak kembalikannya. Di pasar tidak ada yang jual lagi,” tutur Hatta.

Menurut Gemala, Hatta memang lebih sering bercerita dalam surat-suratnya dibanding ketika mengobrol secara langsung, dari hal yang penting hingga yang tidak penting. Dalam suratnya kepada Gemala pada 1974, Hatta mengatakan bahwa Edi (Sri Edi Swasono, suami Meutia Hatta, kakak Gemala) baru saja menceritakan pengalamannya makan dengan Gemala di sebuah restoran Padang di Sydney. Hatta pun menulis, ”Ayah tidak mengira di Sydney juga ada restoran Padang. Mungkin hanya di bulan yang belum ada restoran Padang.”

ANGELINA ANJAR SAWITRI, MUHAMMAD SYAIFULLAH (YOGYAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus