Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Garis polisi terbentang mengelilingi kantor pema-saran PT Nila Alam di Jalan Daan Mogot Kilometer 18, Kelurahan Kalideres, Jakarta Barat, saat Tempo berkunjung ke sana, Kamis pekan lalu. Petugas keamanan perusahaan mengatakan polisi memasang garis kuning itu setelah menangkap Hercules Rozario Marshal dan anak buahnya karena menduduki kantor Nila Alam beserta dua hektare tanah secara paksa, awal bulan lalu. ”Sekarang kami kembali berjaga di kantor ini,” kata seorang anggota satuan pengamanan perusahaan itu.
Karyawan Nila Alam terusir selama tiga bulan saat kelompok Hercules datang ke sana pada 8 Agustus lalu. Kelompok Hercules mengklaim tanah itu di bawah kendali mereka dengan mengacu pada putusan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Putusan Nomor 90.PK/Pdt/2003 pada 2004 itu memenangkan Thio Ju Auw, Thio Ju Ang, Jaw Hok Bian, dan Thio Yoe Pet Nio.
Mereka bersengketa dengan sebelas warga Jakarta, termasuk Dwajanti Hidayat, dan tiga perusahaan, di antaranya PT Nila Alam. Empat bidang tanah yang disengketakan seluas 3,1 hektare. Awalnya perkara ini bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 1996. Satu tahun berikutnya sengketa berlanjut ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hingga kasasi ke Mahkamah Agung pada 1998. Karena kalah di tingkat kasasi, Thio Ju Auw akhirnya mengajukan permohonan peninjauan kembali. Sidang peninjauan kembali yang diketuai Parman Soeparman mengabulkan permohonan Thio Ju Auw.
”Putusan ini yang menjadi dasar mereka menguasai lahan,” ucap Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat Ajun Komisaris Besar Edy Suranta Sitepu, Kamis pekan lalu. Edy mengatakan ternyata sengketa tanah ini tidak berhenti di situ karena terjadi lagi proses sengketa setelah bidang tanah itu sempat berkali-kali berpindah kepemilikan lewat jual-beli.
Riwayat kepemilikan dan jual-beli bidang tanah tersebut tergambar secara jelas dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1679 K/Pdt/2008. Dua pihak yang bersengketa dalam perkara ini adalah Kardjayadi Kurnia, warga Kelurahan Duri Utara, Jakarta Barat, sebagai pemohon, melawan Hartawan Zainal dan Dwajanti Hidayat. Thio Ju Auw, Oey Lie Hua, dan Dianawati Tjendera turut serta sebagai termohon kasasi.
Di dalam putusan ini dijelaskan bahwa Thio Ju Auw merupakan pemilik awal lahan bekas tanah adat dengan Girik C Nomor 1741 seluas sekitar 1,1 hektare itu. Thio Ju Auw lantas menjualnya kepada Oetjin bin Habib pada 1962. Dua tahun berselang, Oetjin menjualnya kepada Phoei Ka Nio. Lalu Dwajanti membelinya dari Phoei Ka Nio seharga Rp 200 juta pada 1988. Setelah berpindah ke Dwajanti, nomor girik tanah juga berubah menjadi C Nomor 2477.
Walau tanah itu sudah berpindah kepemilikan, belakangan Thio Ju Auw menjualnya lagi separuh dari bidang tanah tersebut seluas 4.500 meter persegi kepada Kardjayadi Kurnia, warga Tambora, Jakarta Barat, pada 1962. Di sinilah letak masalahnya karena Thio Ju Auw diduga dua kali menjual bidang tanah yang sama kepada orang berbeda.
Dwajanti akhirnya menggugat akta penjualan Thio Ju Auw kepada Kardjayadi ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2005. Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan Dwajanti. Kardjayadi melakukan perlawanan banding hingga kasasi pada 2009. Namun majelis hakim yang diketuai Harifin A. Tumpa menolak permohonan Kardjayadi.
”Putusan Mahkamah Agung tahun 2009 ini yang menguatkan posisi keluarga Dwajanti,” tutur Ajun Komisaris Besar Edy. Ia mengatakan polisi sudah menelusuri perkara sengketa tanah itu ke Badan Pertanahan Nasional dan pemerintah Kelurahan Kalideres. Hasilnya, kata Edy, PT Nila Alam memiliki bukti kepemilikan tanah berupa sertifikat hak guna bangunan. Kedua anak Dwajanti, Rosalina dan Hendarwan, yang juga pemilik PT Nila Alam, memegang sertifikat hak milik.
M. YUSUF MANURUNG, MIQDARULLAH BURHAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo