Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah itu dikelilingi dinding tembok yang kukuh. Di depannya, di sebelah pohon kurma yang menjulang, sebuah tank milik tentara Amerika Serikat menumpang parkir. Di dalam rumah itu seorang laki-laki muda perlente mondar-mandir dengan pistol tersimpan rapi di balik sabuk kulit yang melingkar di pinggang. Syeikh Abdul Sattar al-Rishawi nama lelaki itu. Dia orang penting di kota Ramadi, sebuah permukiman penduduk muslim Sunni—sekitar 115 kilometer di sebelah barat Ibu Kota Bagdad.
Al-Rishawi, 36 tahun, adalah kepala suku Bou Risha, salah satu kelompok suku Arab Sunni di Irak yang kini menjadi kesayangan militer Amerika di Irak. Ketika kaum Arab Sunni menentang pendudukan Amerika di Irak, Rishawi malah menggerakkan gerbong sukunya mengangkat kapak perang terhadap Al-Qaidah di kota Ramadi. Padahal, kota yang terletak di Provinsi Anbar ini dikenal sebagai salah satu pusat perla-wanan Arab Sunni terhadap pendudukan Amerika di Irak.
Sebagai kota kaum Sunni, setiap hari di sana terjadi baku tembak di jalanan antara milisi pejuang dan tentara Amerika. Namun, sejak Rishawi mendirikan Dewan Penyelamatan Anbar pada September tahun lalu dan menyulap 4.500 pengikutnya sebagai polisi Irak, secara efektif ia memotong separuh serangan militan Sunni dalam beberapa bulan belakangan ini. Serdadu Amerika pun bisa berlenggang di jalanan kota Ramadi.
Pemerintah juga mengerahkan 2.500 orang Sunni untuk dijadikan anggota unit paramiliter sebagai penembak jitu yang dijuluki Unit Respons Darurat (ERU). Pasukan yang loyal pada Syeikh al-Rishawi ini berkeliaran di kota memburu kepala saudaranya, militan Sunni. ”Sekitar 20 persen perubahan di Ramadi hasil kerja pasukan Amerika, selebihnya hasil kerja Syeikh (Rishawi),” ujar perwira pasukan Amerika di Ramadi, Letnan Nathan Strickland.
Perubahan ini bermula pada November 2005, ketika komandan tentara Amerika dan Duta Besar Amerika untuk Irak kala itu, Zalmay Khalilzad, menggelar pertemuan dengan pemimpin Sunni di Ramadi. Mereka berharap dapat memikat ketua suku Arab Sunni agar lepas dari cengkeraman para pejuang. Syeikh Rishawi dan belasan ketua suku Sunni lain tergiur oleh ta-waran tersebut.
Perdana Menteri Nuri al-Maliki dari kelompok Syiah pun mengunjungi Provinsi Anbar pada Maret lalu hanya un-tuk menemui Rishawi. Maliki menyanjung suku Sunni yang muncul melawan terorisme. Toh, Al-Rishawi mengeluh karena minimnya dukungan perlengkapan, senjata, hingga makanan dari pemerintah. Padahal, musuh me-reka menenteng senjata otomatis. ”Jika saya punya perlengkapan, saya dapat menyapu Al-Qaidah dari Anbar dalam waktu lima bulan,” ujarnya.
Rishawi jelas berbeda dengan pemimpin Sunni yang kebanyakan secara pasif mendukung perjuangan mengusir Amerika dari Irak. Dia mengaku tidak pernah terlibat gerakan anti-Amerika. ”Saya selalu menentang terorisme,” ujar Rishawi.
Pemihakan Rishawi terhadap Amerika dan kebenciannya terhadap Al-Qaidah berpangkal pada keyakinan bahwa Al-Qaidah telah membunuh ayah dan dua saudara lelakinya. Selain itu, menurut Al-Rishawi, Al-Qaidah mengambil alih rumah sakit di Ramadi dan membantai polisi dan tentara yang terluka.
Daftar dosa Al-Qaidah kian panjang dalam catatan Rishawi: merampok bank, merampok gaji pegawai negeri dan perampokan di jalan raya, membunuh wartawan dan aktivis hak asasi. ”Mereka hanya membawa kami pada kehancuran,” ujar Rishawi. ”Membangun aliansi dengan Amerika adalah jalan keluar satu-satunya.”
Menurut dia, Al-Qaidah membakar kebencian penduduk Sunni dengan mengatakan bahwa orang asing ingin menduduki tanah kaum Sunni dan menghancurkan masjid. ”Mereka mengatakan kepada kami: kami akan memperoleh imbalan jihad,” ujar Rishawi.
Bagi Syeikh semacam Al-Rishawi, jualan jihad memang tak laku. Mereka lebih suka melihat lembaran dolar Amerika karena persekutuan itu dilumasi dengan gaji US$ 5.000 sebulan (Rp 45,8 juta). ”Pemimpin suku itu (Rishawi) seorang pragmatis yang hanya mengikuti kepentingan pribadi,” ujar seorang pejabat negara Barat di Irak.
Tak mengherankan bila pemimpin Sunni militan Asosiasi Cendekiawan Muslim, Syeikh Harith al-Dhari, menilai gerakan Rishawi ini tak lebih sebagai kumpulan ”maling dan bandit”.
Alhasil, kepala Syeikh sobat Amerika ini pun diburu para pengebom bunuh diri.
Raihul Fadjri (Guardian, AP, AFP, LA Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo