Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Keamanan Perse-rikatan Bangsa-Bangsa bisa mengeluarkan ratusan resolusi. Tak akan ada yang berubah di Iran, dan kami akan terus berjalan tanpa interupsi.”
Itu kata-kata Mahmud Ahmadinejad di situs resmi pribadinya. Presiden Iran itu mengomentari Resolusi 1747 PBB yang isinya adalah perluasan sanksi terhadap Iran yang menolak menghentikan program nuklir. Resolusi itu disetujui dengan suara bulat, 15 anggota DK PBB, termasuk Indonesia dan Qatar, dua pekan silam.
Bukan hanya Ahmadinejad yang menentang. Para pemimpin Iran, termasuk Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, Ayatullah Ali Khamenei, mengeluarkan pernyataan tak kalah keras. ”Jika negara-negara Barat mengancam menggunakan kekerasan, mereka harus tahu bangsa dan pemerintah Iran akan menggunakan semua kemampuan membalas musuh-musuh yang menyerangnya.”
Namun, sanksi-sanksi itu sungguh ”tepat waktu” karena pada saat ini perekonomian Iran memburuk. Inflasi mencapai 20 persen. Sedangkan harga sayur-mayur meningkat tiga kali lipat, dan harga roti serta daging naik 25 persen sejak Desember 2006. Negara dengan cadangan minyak bumi terbesar kedua di dunia hanya mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar di dalam negeri 60 persen saja. Ini karena pemerintah Iran tidak mampu membayar biaya pemurniannya. Tingkat pengangguran pun meningkat.
Ahmadinejad pun didera kritik di dalam negeri. Sekelompok ekonom Iran pernah menyampaikan surat protes. Para mahasiswa juga menggelar aksi demonstrasi di jalanan pada akhir tahun silam. Januari lalu, lebih dari 50 orang anggota parlemen, dari total 290 orang, meminta Ahmadinejad menjelaskan kebijakan ekonominya di depan Majlis atau parlemen. Seorang tokoh Syiah senior, Hossein Ali Montazeri, 85 tahun, menuduh Presiden telah mengorbankan negaranya. Ketidakpopuleran Ahamadinejad terbukti ketika timnya kalah dalam pemilihan umum lokal yang memilih Dewan Kota.
Sejak memerintah Agustus 2005, Ahmadinejad yang mantan tentara Garda Revolusi itu memang menjadi pendukung utama program nuklir Iran. Namun, Ahmadinejad yang dianggap tak kenal kompromi oleh negara-negara Barat—bahkan ada yang menjuluki dia ”Adolf Hitler”—sesungguhnya tidak memiliki kekukuhan posisi di negaranya.
Di Iran, laki-laki 51 tahun yang murah senyum itu harus bergulat dengan berbagai faksi politik. Masa depan nuklir Iran dan prospek penyelesaian konflik negara-negara Barat dengan Iran, juga tergantung pada hasil pergulatan politik di dalam negeri, bukan semata-mata pada Ahmadinejad.
Ada kekuatan ekstrem kanan yang sangat dekat dengan Muslim Brotherhood di Mesir, kelompok-kelompok Sunni di Arab, dan sangat anti-Amerika Serikat. Contohnya adalah Hizbullah Iran yang mendukung Hizbullah di Libanon dan kelompok Syiah, Muqtada al-Sadr di Irak, serta Hojjatieh, kelompok bawah tanah Sunni radikal. Ahmadinejad dekat dengan faksi yang konservatif ini.
Kekuatan berikutnya adalah pemimpin dan petinggi agama dari berbagai daerah yang murni mendukung penegakan prinsip-prinsip agama. Mereka selain sangat setia terhadap Pimpinan Tertinggi, juga lebih patriotis dibanding kelompok pertama (ekstrem kanan). Kiai-kiai dari daerah adalah kelompok mayoritas dalam Majlis.
Yang ketiga adalah kelompok kiri, yang semula merupakan pendukung setia anak Ayatullah Ruhullah Khomeini, Ahmad Khomeini (meninggal pada 1990-an). Mereka bergerak dari model sosialisme Soviet menjadi demokrasi religius. Tokoh dari kelompok ini adalah mantan presiden Mohammad Khatami. Kelompok ini, menurut para pengamat politik Iran, mendapat banyak dukungan dari anak-anak muda, terutama mahasiswa dan kelas mene-ngah perkotaan.
Faktor lain dalam politik Iran adalah Akbar Hashemi Rafsanjani dan kelompoknya. Rafsanjani dikenal berada di tengah dan mampu dekat dengan Khamenei yang konservatif dan Khatami yang moderat. Rafsanjani sempat menang dalam pemilihan presiden putaran pertama pada 2005, mengalahkan Ahmadinejad. Namun, pada putaran kedua, Rafsanjani kalah.
Ahamadinejad sendiri bersama kelompok Garda Republik atau Pasdaran dinilai memiliki pengaruh kuat di Iran. Namun, sudah menjadi rahasia umum, Pasdaran punya cacat karena mem-pengaruhi hasil pemilihan umum 2005 sehingga Ahmadinejad menang.
Namun, yang membuat Ahmadinejad populer adalah janji-janji memberi banyak fasilitas kepada kaum miskin, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pengadaan rumah. Gaya politik populis inilah yang membuat Ahmadinejad mempertahankan subsidi tinggi untuk minyak bumi di dalam negeri. Dia juga berjanji memberantas korupsi.
Bagaimanapun, kekuasaan Ahmadinejad di dalam negeri tetap terbatas. Menurut konstitusi Iran, yang paling berkuasa di negara itu adalah Pimpinan Tertinggi. Badan inilah yang menjadi pemimpin tertinggi angkatan bersenjata, mengontrol operasi keamanan dan intelijen, serta berhak menyatakan perang. Pimpinan Tertinggilah yang berhak memilih hakim agung, kepala radio negara, televisi, kepala polisi, dan panglima angkatan bersenjata. Kekuasaan presiden ada di bawah Pimpinan Tertinggi dan presiden sama sekali tidak boleh menyentuh wilayah kekuasaan Pimpinan Tertinggi.
Ahmadinejad memang ahli melaku-kan manuver politik luar negeri. Dia membangun aliansi dengan kepala-kepala pemerintahan negara-negara Ame-rika Latin yang juga membenci AS, serta membuka jalur diplomasi langsung dengan Irak dan Suriah dengan poros Teheran-Damaskus-Bagdad. Tapi, Ahmadinejad juga dalam kesulitan di dalam negeri.
Nah, apakah dengan jatuhnya Resolusi 1747, posisi Ahmadinejad makin terhimpit? Belum jelas, karena Khamenei sebagai rahbar atau Pemimpin Tertinggi menyokong penuh perlawanan tersebut. Maklum, yang berhak menjadi penentu kelanjutan kebijakan nuklir Iran adalah Pemimpin Tertinggi sendiri, bukan presiden. Semakin keras AS dan sekutunya menekan Iran, mereka sebenarnya berhadapan dengan Khamenei, bukan Ahmadinejad.
Jadi, kartu Ahmadinejad di dalam negeri tinggal bagaimana dia mampu mendongkrak perekonomian. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap asing pada awal tahun ini pemerintah Ahmadinejad menandatangani kontrak proyek pemurnian minyak bumi senilai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 137 triliun. Kenaikan harga minyak pekan lalu hingga lebih dari US$ 68 per barel (di atas Rp 621 ribu)—lonjakan tertinggi sejak September lalu—ikut menolong perekonomian Iran.
Menurut pakar perdagangan komoditas strategis dari Commonwealth Bank, Australia, Tobin Gorey, situasi konflik Iran-Barat mendominasi perdagangan dunia. ”Masyarakat bisnis khawatir dengan situasi seperti ini suplai minyak terhambat dan harga terus menanjak,” ujar Gorey.
Sejak sekitar April tahun lalu, media massa Barat banyak membahas rencana AS menyerang Iran. Berita ini sangat menggemparkan sehingga Ahmadine-jad menggelar konferensi pers dengan mengundang wartawan-wartawan asing di Teheran pada akhir April 2006—hal ini sangat tidak biasa.
Ketika Ahmadinejad ditanya tentang kemungkinan serangan AS, dia sambil tersenyum dan tangannya menepis, menjawab, ”Serangan militer? Untuk alasan apa? Lagi pula, Iran kuat dan mampu mempertahankan diri.” Semakin kuat Iran ditekan pihak luar, itu mungkin makin memperkuat posisi Ahmadinejad di dalam negeri, sehingga dia bisa terpilih kembali dalam pemilu 2009 nanti.
Ahmad Taufik (Reuters, IRIB, IRNA, Xinhua, Bernama, dan IranMania)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo