Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah Zaidah Abdul Rahman, ibu rumah tangga dari Johor, tak juga tampak gembira, meski Kamis lalu kabinet Abdullah Badawi telah menunda pemberlakuan federalisasi Undang-Undang Keluarga Islam yang baru—undang-undang yang dinilai merugikan kaum perempuan.
Penundaan undang-undang baru itu, yang mestinya berlaku secara federal pada 22 desember lalu, merupakan kemenangan sementara bagi aksi protes yang melanda Malaysia sejak bulan lalu. Tapi, apa daya, negara bagian tempat Zaidah beperkara (Johor) sudah lebih dahulu memberlakukannya, yakni sejak 2003.
Sejumlah lembaga swadaya perempuan merasa dirugikan akibat aturan yang mengamendemen undang-undang tahun 1984 itu. Misalnya, pada salah satu pasal dinyatakan, suami memiliki kesempatan untuk mengambil harta yang diberikannya kepada istri. Kemudian ada pula pasal lain yang mengatur bahwa, dalam berpoligami, istri pertama harus memilih antara nafkah dan pembagian harta.
Bila aturan itu benar diberlakukan, artinya ada tujuh juta perempuan muslim di Malaysia seperti Zaidah yang akan bisa menjadi korban. Implikasi yang ditimbulkan akibat amendemen itu dianggap besar dan berbahaya. ”Ini tidak adil bagi istri dan anak-anak,” kata Zainah Anwar, Direktur Eksekutif Sisters in Islam, sebuah lembaga yang ikut tergabung dalam Aksi Bersama untuk Persamaan Gender.
Zaidah korban pertama yang melapor kepada Sisters in Islam. Pada Oktober tahun 2004, rekening pribadi, rekening haji, dan rekening sekolah kedua putrinya dibekukan. Padahal sudah 20 tahun lebih ia meninggalkan kariernya sebagai agen properti demi menjadi ibu rumah tangga. Pengadilan melakukannya atas perintah sang bekas suami. Sebulan kemudian, Zaidah dicerai. ”Suami saya orang berpengaruh,” kata Zaidah. Kepada Malay Mail, dia menyebut penghasilan suaminya mencapai RM 30.000 sebulan (atau hampir Rp 75 juta).
Badawi cepat bereaksi. Meski ia tak dapat menolong Zaidah dengan membatalkan aturan yang sudah berlaku di sembilan negara bagian, setidaknya Kedah dan Terengganu belum mengadopsi. Undang-undang itu rencananya akan dibahas ulang dengan mendengar masukan dari 12 senator wanita dan kelompok aksi bersama tadi.
Protes Zaidah kini telah membawa hasil, paling tidak ada titik terang untuk dapat dibahas ulang. Pada saat yang sama, seorang perempuan Malaysia lain masih mencari keadilan dalam diam. Dia datang dari kalangan non-muslim. Perempuan itu, S. Kaliammal, pemeluk Hindu. Suaminya, Moorthy Maniam, dielu-elukan sebagai wira—atau pahlawan—setelah mendaki gunung tertinggi di dunia, Everest, pada 1997.
Kaliammal berduka karena tak bisa membawa pulang jenazah suaminya, yang meninggal 20 Desember lalu, setelah lumpuh dari dada ke bawah akibat kecelakaan pada 1998. Jenazah itu sudah diklaim Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan (JAWI). Mereka menyatakan Moorthy telah mengucapkan kalimat syahadat pada tahun 2004. Namanya sudah berubah menjadi Muhammad Abdullah.
Kaliammal bersumpah tak pernah sekalipun suaminya mengutarakannya. ”Dia tidak disunat, masih makan babi dan minum alkohol,” ujar Kaliammal seperti dikutip The Star. Pengadilan syariah mengetuk palu agar jenazah Moorthy segera dimakamkan secara muslim. Kaliammal mengajukan protes ke Mahkamah Agung. Tapi lembaga hukum tertinggi ini menyatakan tak bisa mengintervensi.
Tanpa persetujuan Kaliammal, JAWI telah memakamkan jenazah suaminya di pemakaman muslim Taman Ibu Kota, Setapak, Kuala Lumpur, 28 Desember lalu. Hanya seorang anggota keluarga datang. Sehari kemudian, dalam kebisuan, puluhan pemeluk Hindu, Kristen, Buddha, dan Sikh ramai-ramai menyalakan lilin di depan Mahkamah Agung. Lilin itu akan terus menyala hingga enam bulan ke depan.
”Ini protes terhadap Kerajaan Malaysia yang menghebohkan konsep Islam Hadari,” bisik seorang lelaki keturunan India yang enggan disebut namanya kepada Tempo. Islam Hadari adalah konsep Islam moderat yang dikampanyekan pemerintah Badawi.
Di apartemen Tun Teja tempat pasangan ini bermukim, Kaliammal menyalakan api kecil. Lantas dia memecah kelapa dan menaburkan bunga. ”Suami saya seorang Hindu. Silakan ambil tubuhnya, tapi saya harus lakukan sesuatu untuk jiwanya,” ujarnya.
Kurie Suditomo, Th. Salengke (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo