DENG Xiaoping memenuhi janjinya "memberi pelajaran kepada
Vietnam." Ini terbukti 16 Pebruari, ketika pasukan Cina mulai
menyeberangi perbatasan, memasuki wilayah Vietnam. Pertempuran
sengit tak terhindarkan. Jumlah korban -- pasti banyak -- tidak
bisa diketahui secara pasti. Radio Hanoi, mialnya, menyebut
dilumpuhkannya 140 ank Cina beberapa hari setelah invasi
terjadi. Berita ini cepat dibantah Beijing.
Perang "terbatas" itu -- meminjam istilah Deng -- ternyata
berlangsung seru. Pasukan Cina berhasil melakukan gerak maju,
merebut sejumlah tempat strategis di 5 propinsi utara Vietnam.
Di Beijing Deng menjelaskan kepada tamunya, Alejandro Orsila,
sekjen Persatuan Negara-negara Amerika (OAS), "kinilah hanya
bagi kami untuk menunjukkan bahwa kami tidak bisa mentolerir
agressi."
Faktor Sihanouk
Namun sumber di Bangkok yakin bahwa pasukan Cina bisa maju cepat
- sekitar 30 kilometer dalam wilayah Vietnam -- karena Hanoi
sengaja memberi kesempatan agar dengan mudah menempatkan Cina
sebagai agressor. "Tentara Vietnam lebih berpengalaman tempur
dan bersenjata lebih baik -- bagaimana pula ia bisa dikalahkan
dengan mudah," kata sumber tersebut.
Kenyataannya memang kini Hanoi menarik pasukan Vietnam dari
wilayah Kamboja dan Laos ke medan tempur di utara. Perpindahan
pasukan Vietnam dari selatan itu memerlukan waktu lama,
akhirnya akan menguntungkan tentara Pol Pot dalam melanjutkan
perlawaan terhadap rezim Kamboja yang didukung Vietnam.
Serangan Cina ke wilayah Vietnam memang tidaklah bisa dipisahkan
dengan perkembangan di Kamboja yang berganti penguasa atas
kerugian Cina.
Pengamat politik di Beijing melihat kemungkinan lain di balik
aksi militer Cina itu. Antara lain samhutan hangat Deng terhadap
Pangeran Sihanouk di Beijing -- setelah mewakili Pol Pot di PBB.
Ini melahirkan spekulasi bahwa Cina menginginkan suatu
pemerintahan netral di Kamboja, tidak oleh Pol Pot yang
terang-terangan pro Cina, tapi juga bukan oleh Heng Samrin yang
ditopang Vietnam dan Uni Soviet. Dan rezim demikian, menurut
spekulasi itu, paling tepat dipimpin oleh Sihanouk.
Uni Soviet -- terikat dengan Vietnam lewat pakta bersama
Nopember 1978 -- semula cuma melancarkan protes ke alamat Cina.
Karena tidak diindahkan, tentaranya disiapkan. Di sepanjang
perbatasan Cina-Soviet yang sekitar 7500 kilometer itu, bertugas
44 divisi tentara Soviet, atau sekitar 1 juta manusia Mereka ini
dikabarkan sudah berada dalam keadaan siap tempur. Hingga sejak
pertengahan pekan silam, penduduk Cina di kawasan barat dan
utara segera diperintahkan mengungsi.
Suara Kremlin
Ahli Soviet di Deplu Amerika, Mashall Shulman, mengungkapkan,
"Rusia bisa menerjang di perbatasan." Moskow pernah membuktikan
ucapan Shulman. Tahun 1969, terjadi insiden perbatasan
Cina-Soviet di Ussuri, dan 800 tentara Cina tewas, sedang
Rusia cuma kehilangan 200 serdadu. Sebelum kedua pihak
kehilangan lagi di perbatasan bersama mereka, Menlu Uni Soviet,
Andrei Gromyko pekan silam memperingatkan: "Beijing jangan
melupakan bahwa rakyat terois Vietnam tidak sendiri. Mereka
mempunyai banyak teman dan sekutu di seluruh dunia." Sekutu
utamanya tentulah Uni Soviet.
Bersama dengan peringatan Gromyko, muncul pula ulasan Alexei
Petrov dalam koran Pravda. Petrov yang selalu dianggap
menyuarakan kebijaksanaan Kremlin itu menyebut Gedung Putih
sebagai "memberi lampu hijau kepada Cina untuk menyerbu
Vietnam." Alasannya, Presiden Carter tidak memberi reaksi ketika
Deng dalam kunjungannya di Amerika mengungkapkan niatnya
"memberi pelajaran kepada Vietnam. Washington bungkem terhadap
tuduhan Petrov, tapi jelas ikut mendesak Cina supaya keluar dari
Vietnam.
Lepas dari insiden Cina-Vietnam, hubungan Washington-Moskow
kebetulan amat tidak menggembirakan akhir-akhir ini. Penyebabnya
bisa terlihat nyata, misalnya Uni Soviet memburuk-burukkan
Amerika lewat radio gelapnya yang mendukung penggulingan Shah di
Iran Uni Soviet tidak mau tahu tentang insiden yang menewaskan
Duta-besar Amerika di Kabul, Afganistan Uni Soviet dongkol
melihat tingkah laku Deng Xiaoping yang berkampanye anti Soviet
di Amerika Serikat dalam kunjungan pembesar Cina itu beberapa
pekan silam.
Di hari-hari menjelang perundingan pembatasan senjata (Salt II),
hubungan yang kurang memuaskan ini cukup mencemaskan Presiden
Carter. Ketika Uni Soviet mencurigai Amerika dan Jepang, sebagai
bersekongkol dengan Cina yang memusuhinya, persetujuan Salt itu
diduga akan sulit dicapai.
Tapi hal yang lebih mencemaskan Washington adalah kemungkinan
Soviet mengirim tentara ke Vieu1am. Dengan Pakta Nopember 1978,
Soviet setiap saat bisa saja mendaratkan pasukannya di Vietnam.
Buat sementara, Uni Soviet masih membatasi diri pada penerbangan
pengintaian di atas wilayah pertempuran dan menempatkan kapal
nelayan pengumpul bahan intelijen di lepas pantai Vietnam. Tapi
di Laut Cina Selatan, armada Soviet dengan sejwmlah marinirnya
setiap saat bisa mendarat di Vietnam. "Sekali mereka di sana,
Uni Soviet secara resmi mendapatkan pangkalan di sebelah selatan
Cina," komentar seorangJ pejabat Gedung Putih.
Akibat aksi militer Cina juga terasa di dalam negeri Amerika.
Mereka yang kurang senang terhadap keputusan Carter memutuskan
hubungan dengan Taiwan, kini mempunyai alasan untuk bersuara
lagi. Kalau dengan Vietnam kekerasa dipergunakan Cina, untuk
mengambii Taiwan kekerasan juga tidak akan mustahil. Begitu
jalan fikiran mereka. Kebetulan aksi militer Cina itu terjadi
dekat dengan 1 Maret, yakni saat pembukaan secara resmi hubungan
diplomatik Beijing - Washington.
Aksi militer Cina juga menarik perhatian PBB, terutama bagi
anggota ASEAN. Dewan Keamanan PBB tidak bisa berbuat banyak. Di
sana Beijing punya hak veto. Kendati demikian, seruan agar Cina
menarik pasukannya dari Vietnam tetap juga terdengar di sana.
Tapi desakan kepada Cina itu sulit terpisahkan dengan permintaan
yang sama kepada Hanoi yang masih punya tentara di Kamboja.
Yugoslavia, misalnya, meminta Beijing dan Hanoi supaya menarik
pasukan masing-masing dari wilayah negara lain yang mereka
duduki. Kira-kira begitu pula sikap ASEAN yang disuarakan oleh
Menlu Mochtar Kusumaatmadja pekan silam di Bangkok: "Dengan
maksud menghindari kekacauan lebih jauh bagi keamanan dan
stabilitas di Asia Tenggara, ASEAN mendesak kepada pihakpihak
yang bersengketa untuk menghentikan permusuhan mereka, dan semua
pasukan asing supaya ditarik mundur dari semua wilayah sengketa
di Indocina."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini