Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Suatu "pelajaran" dari beijing

Atas perintah deng xiaoping pasukan cina merebut 5 provinsi utara vietnam, hanoi menuduh cina sebagai agresor demi kepentingan sihanouk. asean mengusulkan pasukan asing ditarik dari sengketa indocina. (ln)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENG Xiaoping memenuhi janjinya "memberi pelajaran kepada Vietnam." Ini terbukti 16 Pebruari, ketika pasukan Cina mulai menyeberangi perbatasan, memasuki wilayah Vietnam. Pertempuran sengit tak terhindarkan. Jumlah korban -- pasti banyak -- tidak bisa diketahui secara pasti. Radio Hanoi, mialnya, menyebut dilumpuhkannya 140 ank Cina beberapa hari setelah invasi terjadi. Berita ini cepat dibantah Beijing. Perang "terbatas" itu -- meminjam istilah Deng -- ternyata berlangsung seru. Pasukan Cina berhasil melakukan gerak maju, merebut sejumlah tempat strategis di 5 propinsi utara Vietnam. Di Beijing Deng menjelaskan kepada tamunya, Alejandro Orsila, sekjen Persatuan Negara-negara Amerika (OAS), "kinilah hanya bagi kami untuk menunjukkan bahwa kami tidak bisa mentolerir agressi." Faktor Sihanouk Namun sumber di Bangkok yakin bahwa pasukan Cina bisa maju cepat - sekitar 30 kilometer dalam wilayah Vietnam -- karena Hanoi sengaja memberi kesempatan agar dengan mudah menempatkan Cina sebagai agressor. "Tentara Vietnam lebih berpengalaman tempur dan bersenjata lebih baik -- bagaimana pula ia bisa dikalahkan dengan mudah," kata sumber tersebut. Kenyataannya memang kini Hanoi menarik pasukan Vietnam dari wilayah Kamboja dan Laos ke medan tempur di utara. Perpindahan pasukan Vietnam dari selatan itu memerlukan waktu lama, akhirnya akan menguntungkan tentara Pol Pot dalam melanjutkan perlawaan terhadap rezim Kamboja yang didukung Vietnam. Serangan Cina ke wilayah Vietnam memang tidaklah bisa dipisahkan dengan perkembangan di Kamboja yang berganti penguasa atas kerugian Cina. Pengamat politik di Beijing melihat kemungkinan lain di balik aksi militer Cina itu. Antara lain samhutan hangat Deng terhadap Pangeran Sihanouk di Beijing -- setelah mewakili Pol Pot di PBB. Ini melahirkan spekulasi bahwa Cina menginginkan suatu pemerintahan netral di Kamboja, tidak oleh Pol Pot yang terang-terangan pro Cina, tapi juga bukan oleh Heng Samrin yang ditopang Vietnam dan Uni Soviet. Dan rezim demikian, menurut spekulasi itu, paling tepat dipimpin oleh Sihanouk. Uni Soviet -- terikat dengan Vietnam lewat pakta bersama Nopember 1978 -- semula cuma melancarkan protes ke alamat Cina. Karena tidak diindahkan, tentaranya disiapkan. Di sepanjang perbatasan Cina-Soviet yang sekitar 7500 kilometer itu, bertugas 44 divisi tentara Soviet, atau sekitar 1 juta manusia Mereka ini dikabarkan sudah berada dalam keadaan siap tempur. Hingga sejak pertengahan pekan silam, penduduk Cina di kawasan barat dan utara segera diperintahkan mengungsi. Suara Kremlin Ahli Soviet di Deplu Amerika, Mashall Shulman, mengungkapkan, "Rusia bisa menerjang di perbatasan." Moskow pernah membuktikan ucapan Shulman. Tahun 1969, terjadi insiden perbatasan Cina-Soviet di Ussuri, dan 800 tentara Cina tewas, sedang Rusia cuma kehilangan 200 serdadu. Sebelum kedua pihak kehilangan lagi di perbatasan bersama mereka, Menlu Uni Soviet, Andrei Gromyko pekan silam memperingatkan: "Beijing jangan melupakan bahwa rakyat terois Vietnam tidak sendiri. Mereka mempunyai banyak teman dan sekutu di seluruh dunia." Sekutu utamanya tentulah Uni Soviet. Bersama dengan peringatan Gromyko, muncul pula ulasan Alexei Petrov dalam koran Pravda. Petrov yang selalu dianggap menyuarakan kebijaksanaan Kremlin itu menyebut Gedung Putih sebagai "memberi lampu hijau kepada Cina untuk menyerbu Vietnam." Alasannya, Presiden Carter tidak memberi reaksi ketika Deng dalam kunjungannya di Amerika mengungkapkan niatnya "memberi pelajaran kepada Vietnam. Washington bungkem terhadap tuduhan Petrov, tapi jelas ikut mendesak Cina supaya keluar dari Vietnam. Lepas dari insiden Cina-Vietnam, hubungan Washington-Moskow kebetulan amat tidak menggembirakan akhir-akhir ini. Penyebabnya bisa terlihat nyata, misalnya Uni Soviet memburuk-burukkan Amerika lewat radio gelapnya yang mendukung penggulingan Shah di Iran Uni Soviet tidak mau tahu tentang insiden yang menewaskan Duta-besar Amerika di Kabul, Afganistan Uni Soviet dongkol melihat tingkah laku Deng Xiaoping yang berkampanye anti Soviet di Amerika Serikat dalam kunjungan pembesar Cina itu beberapa pekan silam. Di hari-hari menjelang perundingan pembatasan senjata (Salt II), hubungan yang kurang memuaskan ini cukup mencemaskan Presiden Carter. Ketika Uni Soviet mencurigai Amerika dan Jepang, sebagai bersekongkol dengan Cina yang memusuhinya, persetujuan Salt itu diduga akan sulit dicapai. Tapi hal yang lebih mencemaskan Washington adalah kemungkinan Soviet mengirim tentara ke Vieu1am. Dengan Pakta Nopember 1978, Soviet setiap saat bisa saja mendaratkan pasukannya di Vietnam. Buat sementara, Uni Soviet masih membatasi diri pada penerbangan pengintaian di atas wilayah pertempuran dan menempatkan kapal nelayan pengumpul bahan intelijen di lepas pantai Vietnam. Tapi di Laut Cina Selatan, armada Soviet dengan sejwmlah marinirnya setiap saat bisa mendarat di Vietnam. "Sekali mereka di sana, Uni Soviet secara resmi mendapatkan pangkalan di sebelah selatan Cina," komentar seorangJ pejabat Gedung Putih. Akibat aksi militer Cina juga terasa di dalam negeri Amerika. Mereka yang kurang senang terhadap keputusan Carter memutuskan hubungan dengan Taiwan, kini mempunyai alasan untuk bersuara lagi. Kalau dengan Vietnam kekerasa dipergunakan Cina, untuk mengambii Taiwan kekerasan juga tidak akan mustahil. Begitu jalan fikiran mereka. Kebetulan aksi militer Cina itu terjadi dekat dengan 1 Maret, yakni saat pembukaan secara resmi hubungan diplomatik Beijing - Washington. Aksi militer Cina juga menarik perhatian PBB, terutama bagi anggota ASEAN. Dewan Keamanan PBB tidak bisa berbuat banyak. Di sana Beijing punya hak veto. Kendati demikian, seruan agar Cina menarik pasukannya dari Vietnam tetap juga terdengar di sana. Tapi desakan kepada Cina itu sulit terpisahkan dengan permintaan yang sama kepada Hanoi yang masih punya tentara di Kamboja. Yugoslavia, misalnya, meminta Beijing dan Hanoi supaya menarik pasukan masing-masing dari wilayah negara lain yang mereka duduki. Kira-kira begitu pula sikap ASEAN yang disuarakan oleh Menlu Mochtar Kusumaatmadja pekan silam di Bangkok: "Dengan maksud menghindari kekacauan lebih jauh bagi keamanan dan stabilitas di Asia Tenggara, ASEAN mendesak kepada pihakpihak yang bersengketa untuk menghentikan permusuhan mereka, dan semua pasukan asing supaya ditarik mundur dari semua wilayah sengketa di Indocina."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus