Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lebih Percaya Menhankam Dari ...

Yap Thiam Hien mengirim surat kepada menhankam membeberkan ketidakberesan Kejati Jakarta yang telah melakukan penahanan secara melawan hukum terhadap kliennya yang bernama J.F.Hendra yang dituduh menipu. (hk)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHASA pengacara Mr Yap Thiam Hien memang sering terdengar keras. Dia bisa tiba-tiba menyemprotkan protes atau kalimat tajam lain yang dapat membuat hakim naik pitam. Misalnya ketika ia membela Sawito. Untuk 'memperoleh sekedar kejelasan tentang barang-barang bukti milik kliennya saja -- seorang tersangka dalam perkara penyelundupan -- yang disita Kejaksaan Agung, Mr Yap perlu mengumumkan gugatannya terhadap Jaksa Agung RI (TEMPO, 10 Pebruari). Kali inipun demikian. Suratnya kepada Menteri Hankam, 7 Pebruari bermaksud membeberkan ketidakberesan Kejaksaan Tinggi DKi Jakarta. Tapi gayanya cukup galak: mohon agar Menhankam menahan Jaksa Tinggi Jakarta berikut asisten operasinya. Alasannya, penegak hukum yang dituntutnya itu "sudah lama tidak mempedulikan lagi hukum yang berlaku." Karena, katanya, mereka telah menahan terus seorang tersangka secara tak wajar. "Maka saya percaya," lanjutnya, "Menteri yang terhormat sependapat dengan saya bahwa sudah tiba waktunya untuk mengambil tindakan yang drastis terhadap saboteur hukum . . Ceritanya Yap punya klien, Jacobus Fendy Hendra. Orang ini resminya ditahan kejaksaan dengan tuduhan semacam penipuan. Tersangka ada di tangan Kejaksaan Tinggi Jakarta dengan izin perpanjangan penahanan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak pertengahan Juni tahun lalu. Dua kali Hakim Suwandono SH mengabulkan permohonan penahanan yang diajukan jaksa. Tapi permohonan berikutnya untuk penahanan sebulan mulai 14 Agustus, ditolak hakim. Artinya Fendy boleh bebas -- kecuali jaksa menganggap perlu menahan terus karena ada perkara lain. Namun jaksa tetap menahan Fendy, meskipun tersangka ini bersih dari tuduhan-tuduhan lain. Sampai 5 kali berturut-turut -- setiap bulan s/d Desember -- hakim tetap menolak permohonan perpanjangan masa penahanan. Tapi jaksa tetap saja tak mengeluarkan surat pembebasan bagi Fendy. Bulan Januari lalu memang ada izin memperpanjang penahanan dari Hakim Slamet Riyanto SH. Namun karena dianggap kekhilafan (karena jaksa tali memberitahu bahwa permohonan sebelumnya sudah beberapa kali ditolak! Izin tersebut dicabut kembali. Dari kejadian-kejadian itu Yap berkesimpulan, sejak Agustus tahun lalu kejaksaan telah melakukan penahanan secara "melawan hukum". Dan ini termasuk kejahatan karena merampas kemerdekaan orang (KUHP pasal 333, dengan ancaman hukuman penjara selamalamanya delapan tahun). Semua ini berpangkal sejak Fendy (16 tahun) yang menderita kegemukan badan, berikhtiar mencari obat untuk menguruskan badannya sedikit. Sampai ia berhubungan dengan dokter Karmadi Hasilnya lumayan: dari 80 Kg berat badannya susut tinggal 60 Kg. Lebih dari itu, hubungannya dengan dr Karmadi makin intim. Seperti keluarga saja. Bahkan Fendy memperoleh kepercayaan dari dokter yang merawatnya, untuk memutarkan uang, mula-mula sebesar Rp 12,5 juta. Modal dari dr Karmadi digunakan Fendy untuk bisnis jual-beli kendaraan dan dibungakan di sana-sini. Orang tua Fendy sendiri, Hendra, haru tahu hubungan bisnis antara anaknya dengan dokternya belakangan saja. Dia minta agar Karmadi menarik kembali uangnya dari tangan Fendy. Tapi Karmadi bukannya menuruti keinginan Hendra, malah mendrop sejumlah uang lagi sehingga Fendy -- seperti diakui pemuda ini sendiri -- bertanggungjawab atas uang orang sebanyak Rp 36 juta. Sementara itu kesehatan Fendy merosot terus. Katanya, ini akibat obat pengurus badan yang disuntikkan ke tubuhnya setiap hari. Setelah berbagai ikhtiar gagal, apalagi Fendy sering jatuh pingsan, oleh ayahnya ia dikirim berobat ke Australia. Begitu Fendy bertolak ke Australia, Hendra menerima surat tagihan Karmadi. Di situ Karmadi minta pertanggungan jawab uangnya, katanya berjumlah Rp 49,49 juta. Tentu saja Hendra kelabakan. Dokter Karmadi akhirnya minta bantuan polisi untuk menarik kembali uangnya. Iwan, kakak Fendy, diseret ke kantor polisi untuk dimintai keterangan dan sekaligus dituduh: mengusahakan bank gelap (rentenir) dan membantu Fendy melarikan diri ke luar negeri. Karena memang cuma perlu berobat saja, tak lama kemudian Fendy kembali ke Indonesia. Begitu datang, masih dalam keadaan sakit, ia sudah berurusan dengan polisi. Dan ditahan. Di tempat tahanan dua kali Fendy mencoba bunuh diri. Sampai akhirnya ia dikirim ke rumah sakit Dharma Jaya. Dari sini dikirim lagi ke RS Sumber Waras. Di Mana Fendy Sejak di RS Dharma Jaya itulah, Juli, "secara fisik sebenarnya kita tak pernah menahannya lagi," kata MH Silaban SH Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi Jakarta. Tapi, ketika polisi menyerahkan berkas perkara ke kejaksaan, Silaban mengaku tak pernah tahu lagi di mana Fendy berada. Aneh. "Padahal dia dapat minta keterangan dari keluarganya -- kalau memang dia tidak tahu," semprot Yap. Alhasil, begitu Silaban, sebenarnya surat-surat permohonan perpanjangan penahanan yang berkali-kali diajukan ke pengadilan dibikin tanpa tahu di mana sesungguhnya tersangkanya berada. "Kita masih berusaha mencari orang itu, tapi begitulah keadaannya, tidak pernah ketemu," ujar Silaban lagi. Di mana Fendy bukannya tak diketahui Mr Yap. Pemuda itu, 22 tahun, tinggal di kamar kelas I (ada televisi segala) RS Sumber Waras dengan nyamannya. Berat tubuhnya kembali ke 80 Kg. Tapi Mr Yap toh tetap saja mohon kepada Menhankam untuk menahan jaksa tinggi dan asisten operasinya. Adakah Yap hanya mengada-ada untuk membesar-besarkan persoalan? Nyatanya setelah somasi Yap, urusan penahanan Fendy jadi persoalan yang harus diurus sebagaimana mestinya oleh kejaksaan. Mula-mula Silaban mengirim surat ke pengadilan, 2 Pebruari, yang isinya unik: mencabut dan membatalkan semua surat permintaan izin perpanjangan penahanan bagi Fendy. Alasannya (antara lain) toh tersangka yang dimintakan izin perpanjangan penahanannya "selama ini tidak dalam keadaan ditahan. . . " Begitulah cara Mr Yap Thiam Hien 'memberi pelajaran'. "Kalau tidak keras-kerasan, seperti saya lakukan sebelumnya, mana ditanggapi?" katanya. Seterima surat Silaban, sore hari 19 Pebruari, Fendy boleh pulang. Benarlah kata Yap: "Saat ini saya lebih percaya kepada Menhankam Yusuf dari pada . . . ha ...ha...!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus