BAHASA pengacara Mr Yap Thiam Hien memang sering terdengar
keras. Dia bisa tiba-tiba menyemprotkan protes atau kalimat
tajam lain yang dapat membuat hakim naik pitam. Misalnya ketika
ia membela Sawito.
Untuk 'memperoleh sekedar kejelasan tentang barang-barang bukti
milik kliennya saja -- seorang tersangka dalam perkara
penyelundupan -- yang disita Kejaksaan Agung, Mr Yap perlu
mengumumkan gugatannya terhadap Jaksa Agung RI (TEMPO, 10
Pebruari).
Kali inipun demikian. Suratnya kepada Menteri Hankam, 7 Pebruari
bermaksud membeberkan ketidakberesan Kejaksaan Tinggi DKi
Jakarta. Tapi gayanya cukup galak: mohon agar Menhankam menahan
Jaksa Tinggi Jakarta berikut asisten operasinya. Alasannya,
penegak hukum yang dituntutnya itu "sudah lama tidak
mempedulikan lagi hukum yang berlaku." Karena, katanya, mereka
telah menahan terus seorang tersangka secara tak wajar. "Maka
saya percaya," lanjutnya, "Menteri yang terhormat sependapat
dengan saya bahwa sudah tiba waktunya untuk mengambil tindakan
yang drastis terhadap saboteur hukum . .
Ceritanya Yap punya klien, Jacobus Fendy Hendra. Orang ini
resminya ditahan kejaksaan dengan tuduhan semacam penipuan.
Tersangka ada di tangan Kejaksaan Tinggi Jakarta dengan izin
perpanjangan penahanan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
sejak pertengahan Juni tahun lalu.
Dua kali Hakim Suwandono SH mengabulkan permohonan penahanan
yang diajukan jaksa. Tapi permohonan berikutnya untuk penahanan
sebulan mulai 14 Agustus, ditolak hakim. Artinya Fendy boleh
bebas -- kecuali jaksa menganggap perlu menahan terus karena ada
perkara lain.
Namun jaksa tetap menahan Fendy, meskipun tersangka ini bersih
dari tuduhan-tuduhan lain. Sampai 5 kali berturut-turut --
setiap bulan s/d Desember -- hakim tetap menolak permohonan
perpanjangan masa penahanan. Tapi jaksa tetap saja tak
mengeluarkan surat pembebasan bagi Fendy.
Bulan Januari lalu memang ada izin memperpanjang penahanan dari
Hakim Slamet Riyanto SH. Namun karena dianggap kekhilafan
(karena jaksa tali memberitahu bahwa permohonan sebelumnya sudah
beberapa kali ditolak! Izin tersebut dicabut kembali.
Dari kejadian-kejadian itu Yap berkesimpulan, sejak Agustus
tahun lalu kejaksaan telah melakukan penahanan secara "melawan
hukum". Dan ini termasuk kejahatan karena merampas kemerdekaan
orang (KUHP pasal 333, dengan ancaman hukuman penjara
selamalamanya delapan tahun).
Semua ini berpangkal sejak Fendy (16 tahun) yang menderita
kegemukan badan, berikhtiar mencari obat untuk menguruskan
badannya sedikit. Sampai ia berhubungan dengan dokter Karmadi
Hasilnya lumayan: dari 80 Kg berat badannya susut tinggal 60 Kg.
Lebih dari itu, hubungannya dengan dr Karmadi makin intim.
Seperti keluarga saja. Bahkan Fendy memperoleh kepercayaan dari
dokter yang merawatnya, untuk memutarkan uang, mula-mula sebesar
Rp 12,5 juta.
Modal dari dr Karmadi digunakan Fendy untuk bisnis jual-beli
kendaraan dan dibungakan di sana-sini. Orang tua Fendy sendiri,
Hendra, haru tahu hubungan bisnis antara anaknya dengan
dokternya belakangan saja. Dia minta agar Karmadi menarik
kembali uangnya dari tangan Fendy. Tapi Karmadi bukannya
menuruti keinginan Hendra, malah mendrop sejumlah uang lagi
sehingga Fendy -- seperti diakui pemuda ini sendiri --
bertanggungjawab atas uang orang sebanyak Rp 36 juta.
Sementara itu kesehatan Fendy merosot terus. Katanya, ini akibat
obat pengurus badan yang disuntikkan ke tubuhnya setiap hari.
Setelah berbagai ikhtiar gagal, apalagi Fendy sering jatuh
pingsan, oleh ayahnya ia dikirim berobat ke Australia. Begitu
Fendy bertolak ke Australia, Hendra menerima surat tagihan
Karmadi. Di situ Karmadi minta pertanggungan jawab uangnya,
katanya berjumlah Rp 49,49 juta. Tentu saja Hendra kelabakan.
Dokter Karmadi akhirnya minta bantuan polisi untuk menarik
kembali uangnya. Iwan, kakak Fendy, diseret ke kantor polisi
untuk dimintai keterangan dan sekaligus dituduh: mengusahakan
bank gelap (rentenir) dan membantu Fendy melarikan diri ke luar
negeri.
Karena memang cuma perlu berobat saja, tak lama kemudian Fendy
kembali ke Indonesia. Begitu datang, masih dalam keadaan sakit,
ia sudah berurusan dengan polisi. Dan ditahan. Di tempat tahanan
dua kali Fendy mencoba bunuh diri. Sampai akhirnya ia dikirim ke
rumah sakit Dharma Jaya. Dari sini dikirim lagi ke RS Sumber
Waras.
Di Mana Fendy
Sejak di RS Dharma Jaya itulah, Juli, "secara fisik sebenarnya
kita tak pernah menahannya lagi," kata MH Silaban SH Asisten
Operasi Kejaksaan Tinggi Jakarta. Tapi, ketika polisi
menyerahkan berkas perkara ke kejaksaan, Silaban mengaku tak
pernah tahu lagi di mana Fendy berada. Aneh. "Padahal dia dapat
minta keterangan dari keluarganya -- kalau memang dia tidak
tahu," semprot Yap.
Alhasil, begitu Silaban, sebenarnya surat-surat permohonan
perpanjangan penahanan yang berkali-kali diajukan ke pengadilan
dibikin tanpa tahu di mana sesungguhnya tersangkanya berada.
"Kita masih berusaha mencari orang itu, tapi begitulah
keadaannya, tidak pernah ketemu," ujar Silaban lagi.
Di mana Fendy bukannya tak diketahui Mr Yap. Pemuda itu, 22
tahun, tinggal di kamar kelas I (ada televisi segala) RS Sumber
Waras dengan nyamannya. Berat tubuhnya kembali ke 80 Kg. Tapi Mr
Yap toh tetap saja mohon kepada Menhankam untuk menahan jaksa
tinggi dan asisten operasinya. Adakah Yap hanya mengada-ada
untuk membesar-besarkan persoalan?
Nyatanya setelah somasi Yap, urusan penahanan Fendy jadi
persoalan yang harus diurus sebagaimana mestinya oleh kejaksaan.
Mula-mula Silaban mengirim surat ke pengadilan, 2 Pebruari, yang
isinya unik: mencabut dan membatalkan semua surat permintaan
izin perpanjangan penahanan bagi Fendy. Alasannya (antara lain)
toh tersangka yang dimintakan izin perpanjangan penahanannya
"selama ini tidak dalam keadaan ditahan. . . "
Begitulah cara Mr Yap Thiam Hien 'memberi pelajaran'. "Kalau
tidak keras-kerasan, seperti saya lakukan sebelumnya, mana
ditanggapi?" katanya. Seterima surat Silaban, sore hari 19
Pebruari, Fendy boleh pulang. Benarlah kata Yap: "Saat ini saya
lebih percaya kepada Menhankam Yusuf dari pada . . . ha ...ha...!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini