Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

UU Anti Korupsi: Kurang Apa Lagi

UU anti korupsi sudah diberlakukan tetapi masih ada beberapa kasus yang bisa lolos. disini seorang tersangka diwajibkan untuk membuktikan hartanya bukan berasal dari korupsi. (nas)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBERANTASAN korupsi memang tak sepi dari kegiatan. Apalagi semenjak Operasi Tertib turun tangan menjebak di sana-sini. Namun, menurut pengamaun mendalam seorang hakim senior di pusat, dari berbagai kasus penindakan terhadap kejahatan korupsi tidak kelihatan berniat sampai tuntas. Masa iya? Apa buktinya? "Beberapa tertuduh diadili, misalnya Siswadji dkk dalam korupsi di Polri, tapi yang lain-walaupun cukup gencar disebut-sebut dalam ruang pengadilan yang didengar kuping umum -- toh tetap nyaman berlindung di balik sehelai ilalang," kata hakim itu. Dia melanjutkan: "Ambil saja contoh korupsi di Bulog. Yang ikut ambil bagian dan manfaat dari penyelewengan Budiadji hampir-hampir diketahui umum." Juga kejahatan lain, katakanlah penyelundupan, "pejabat yang ikut bermain, boro-boro dituduh korupsi -- penyuapan biasapun tidak. Paling-paling duduk sebagai saksi." Sulit mencari bukti? "Omong kosong ! " kata hakim ini. "Yang benar adalah setiap bukti dapat melibatkan pejabat yang lebih atas. " Sebab, UU anti Korupsi, kata hakim yang duduk mengawasi banyak perkara korupsi ini, "sudah sangat memberi keleluasaan bagi penyidik untuk mengudak bukti." Begitu luasnya kesempatan yang diberikan UU kepada penyidik perkara korupsi -- sampai UU menyebutnya sebagai "penyimpangan" dari hukum acata yang laim berlaku -- bukankah untuk "mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di sidang dalam mendapat bukti-bukti . . . " Seperti disebut dalam Penjelasan UU? Pembelaan tersangka perkara korupsi dibatasi hanya dalam dua hal: Kejahatannya dilakukan "menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara." Atau, "perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum" (pasal 17 ayat 2a dan b). Selebihnya, UU anti Korupsi justru mewajibkan tersangka untuk "memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya . . . " (pasal 6). Baik yang atas nama tersangka sendiri maupun yang berada di tangan isteri, anak atau kerabat, yang dicurigai berasal dari korupsi. Pembuktian terbalik? "Secara formil memang tidak," kata hakim kita itu. "Tapi, mewajibkan tersangka untuk membuktikan bahwa harta bendanya bukan berasal dari korupsi, sebenarnya secara materiil sudah merupakan pembuktian terbalik." Memang tidak seresmi hukum pembuktian terbalik bagi perkara korupsi di Malaysia: Datuk Harun bin Idris, bekas Menteri Besar Selangor, dihukum 2 tahun penjara karena dianggap tak dapat menjernihkan asal-usul uang Rp 80 juta Jaksa di sana, tiga tahun silam, menuduhnya menerima suap dari sebuah bank asing untuk sesuatu perijinan. Sedangkan Datuk Harun, yang ketika itu sedang memanjat jabatan PM, ternyata tak dapat memberi keterangan lain dari pada tuduhan penuntutnya. Penyidik, dalam UU anti Korupsi di sini juga mendapat keleluasaan dalam mengorek keterangan saksi. Kecuali aah, ibu, nenek, kakek, saudara kandung, isteri, anak dan cucu, semua orang dan fihak wajib memberi keterangan. Bahkan, atas permintaan Mahkamah Agung, Menteri Keuangan dapat memberi ijin kepada hakim untuk minta kepada bank tentang keuangan terdakwa yang biasanya sangat dirahasiakan. Kurang apa lagi? Kalau dengan segala "kemudahan & penyimpangan hukum" yang diperkenankan, toh masih tak mampu memberantas korupsi minta undang-undang macam apa lagi? Ya, "asal jangan sampai penerapan UU itu terlalu mudah sampai menimbulkan tertawaan," kata seorang dari lembaga peradilan sambil bercerita nyata Dua orang pejabat Kantor Urusan Agama, penghulu, diancam dengan UU anti Korupsi -- hukuman penjara seumur hidup, atau selama-lamanya 20 tahun dan/ atau denda setinggi-tinggiDya Rp 30 juta -- hanya karena dijebak Opstib menerima uang nikah Rp 20 ribu. Apa putusan Bismar Siregar? Memang dipersalahkan melanggar UU anti Korupsi. Namun dengan berbagai pertimbangan Bismar hanya menghukum salah seorang terdakwa dengan hukuman denda Rp 15 ribu. Yang lain malah dibebaskan sama sekali. Nah, untuk hal semacam itu mengapa mesti perlu menggunakan UU Korupsi -- apa fasal-fasal KUHP saja tak cukup? Sedangkan yang perlu digarap dengan UU anti Korupsi pada lolos 'kan pak hakim?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus