Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Suram dan buntu di Reykjavik

Ktt reagan-gorbachev di reykjavik, islandia gagal. tidak ada kesepakatan pembatasan rudal nuklir & sdi. sejumlah negara (nato) kecewa. reagan dikecam partai demokrat, tapi partai republik memujinya. (ln)

18 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI ujung yang satu ke ujung dunia yang lain, berbagai negara menyatakan rasa kecewanya terhadap kegagalan KTT (pertemuan puncak) Reagan-Gorbachev di Reykjavik, Islandia, akhir pekan silam. Jangankan terobosan historis seperti diharapkan Gorbachev. KTT justru mandek total. "Inilah jalan buntu, semua soal pembatasan senjata terbentur di situ," komentar penasihat senior Soviet Georgi Arbatov. Dan sesampai di Washington, seorang pejabat Gedung Putih mengeluh, "Suasana KTT membingungkan, terasa begitu dekat, tapi begitu jauh." Menlu AS George Shult melaporkan bagaimana kelompok perunding dari kedua negara berkutat sepanjang malam, coba menuangkan gagasan pemimpin mereka dalam bahasa yang serba jelas. Tapi perundingan yang diharapkan bisa mengurangi separuh jumlah senjata strategis dalam tempo lima tahun, kemudian menekannya habis dalam t0 tahun. tiba-tiba saja runyam pada sidang terakhir. "Adalah obsesi Soviet terhadap SDI (Program Perang Bintang) yang menggagalkan KTT," kata anggota delegasi AS lainnya. Ia cuma mengulang apa yang ditandaskan Ronald Reagan. "Soviet mendesak agar kami menandatangani persetuJuan yang mengingkari hak saya dan hak presiden AS pada 10 tahun berikutnya untuk menguji dan membangun sistem pertahanan SDI terhadap rudal nuklir," begitu penjelasan Reagan di bandar udara Kevlavik, sesaat sebelum bertolak ke Washington. Diakuinya perundingan selama dua hari di Reykjavik sangat kenyal dan liat tapi "cukup bermanfaat". Sebaliknya, Mikhail Gorbachev menyesalkan sikap Reagan yang terlalu terpusat pada SDI hingga terobosan historis belum apa-apa sudah kandas. "Soviet menawarkan kompromi demi kompromi agar perlucutan senjata tercapai, Reagan cuma mengajukan usul yang hanya bisa diterima orang gila. Dan Anda tahu, orang gila cuma tinggal di rumah sakit," ucap Gorbachev ketus. Saling tuding yang tidak simpatik itu menunjang pernyataan Menlu Shultz mengenai "dua pemimpin yang begitu saja memutuskan bahwa mereka sama sekali tidak mampu lagi menghasilkan satu kesepakatan". Wajah Shultz menunjukkan betapa letih, kecewa dan suram prospek pembatasan nuklir. Padahal, menurut keterangan penasihat keamanan nasional AS Laksamana Madya John Poindexteer, kedua pihak sebenarnya sudah sepakat dalam hal rudal jarak sedang di Eropa. Soviet sedia "menyamakan kedudukan" dengan pengurangan 100% rudal jarak sedangnya di Eropa, 80% di Asia. Ini berarti ada perubahan drastis dari 1.300 menjadi hanya 100 kepala nuklir. Bahkan Soviet juga sedia berkompromi mengenai rudal jarak jauh, tentu saja, asalkan AS melupakan SDI mereka. Inilah yang ditolak Reagan mentah-mentah. Lima anggota NATO: Inggris, Italia, Jer-Bar, Belgia, dan Belanda, tetap mendukung kebijaksanaan nuklir AS, tapi tak urung mereka kecewa. Kalau saja Reagan dan Gorbachev mau sedikit lebih luwes pemerintah di kelima negara Eropa itu tidak lagi terlalu pusing meredam berbagai protes nuklir. Dengan demikian, mereka bisa menangani hal yang lebih mendesak, pengangguran misalnya. Reaksi di AS sendiri terpecah. Demokrat (oposisi) mengecam ketegaran Reagan, Partai Republik sebaliknya memuji sikap presiden AS itu yang piawai tidak terjerumus "perangkap Soviet". Kendati gagal, KTT Islandil belumlah akhir segala-galanya. Gorbachev berpesan, "Supaya tidak menyebar panik ke seluruh dunia." Penampilan Gorbachev dan istrinya Raisa di Reykjavik memang tampak lebih matang padahal mereka mewakili negara yang dalam segala bidang tertinggal jauh dari AS. Reagan sebaliknya bukan pula kurang lincah. Tapi ia cuma mau menunjukkan pada rekan-rekannya yan jauh lebih muda bahwa kedatangannya ke Reykjavik bukan untuk didikte oleh Gorbachev. Lagi pula, bagi Ronald Reagan perdamaian dunia satu hal, SDI adalah hal yang lain lagi. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus