Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ketika istana dikepung tentara

Peristiwa 17 oktober tonggak abri mulai berpolitik dimana ada demonstrasi tentara dengan menghadapkan meriam ke istana merdeka. merupakan titik tolak hilangnya kepercayaan tni pada politisi sipil.

18 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABRI dan politik kini tak bisa lagi dipisahkan. Dwifungsi telah menjadi doktrin. Dan ia akan terus diwariskan. Tapi kapankah sesungguhnya ABRI mulai berpolitik? Salah satu jawaban ialah sejak meletusnya apa yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober. Terjadi 34 tahun silam (1952), inilah demonstrasi yang dilakukan tentara, dengan menghadapkan meriam ke Istana. Peristiwa itu, "Merupakan titik tolak hilangnya kepercayaan TNI terhadap kejujuran politisi sipil," kata T.B. Simatupang, Kepala Staf Angkatan Perang kala itu. "Sejak saat itulah TNI terlibat politik praktis secara terbuka," ujar A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat waktu itu. Aksi TNI-AD itu memang tak tanggung-tanggung. "Sebagai komandan brigade, saya diminta Pak Nas mengorganisasikan pasukan untuk menguasai Kota Jakarta," kata T.etjen (pur) Kemal Idris. Berpangkat mayor, berumur 29 tahun, Kemal kemudian mengerahkan 5 batalyon infanteri, satu batalyon kavaleri, dan satu batalyon artileri udara. Bersama dengan Komandan Militer Kota Besar (setingkat Komandan Garnizun), Overste Kosasih, "Kami merencanakan supaya gerakan ini seolah-olah gerakan massa rakyat," tambahnya. Gerakan dimulai pukul 4 subuh. Dua jam kemudian, tempat-tempat strategis, seperti RRI, Gedung DPRS-MPRS, dan berbagai stasiun kereta api di Jakarta, sudah diduduki pasukan. Pada pukul 8 pagi, rakyat mulai turun ke jalan membawa slogan-slogan. "Untuk melindungi Istana, saya taruh di situ meriam dengan moncong ke arah Istana. Tapi, dengan sudut elevasi yang, kalau ditembakkan hetul, tidak akan mengenainya, tutur Kemal. Pada pukul 10 30, seperti ditulis Jenderal (pur) A.H. Nasution dalam riwayatnya Memenuhi Pangglan Tugas, tibalah rombongan pejabat teras TNI-AD di Istana Rombongan terdiri dari 15 orang, antara lain Kolonel Simbolon, Kolonel A.E. Kawilarang, Letnan Kolonel Kosasih, Letnan Kolonel S. Parman, yang dipimpin KSAD Kolonel A.H. Nasution. Dalam kesempatan inilah, para pimpinan AD itu menyampaikan pernyataan tertulis pada Presiden Soekarno. Intinya: Mendesak Kepala Negara untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, dan membentuk DPR. Mengapa TNT-AD bersikeras menuntut parlemen dibubarkan, dan pemilu diselenggarakan? Cerita bermula dari ketidakpuasan akibat reorganisasi dan rasionalisasi. "Pada masa Kabinet Wilopo itu, ada niat pimpinan TNI menjadikan tentara Indonesia sebagai tentara profesional," kata T.B. Simatupang. "Jadi, mengubah kebiasaan dalam perang gerilya." Program itu berkaitan dengan rencana pengurangan anggaran belanja militer dari Rp 2,625 milyar pada 1952, menjadi Rp 1,9 milyar pada 1953. Akibatnya, 40 ribu tentara dipensiunkan, 40 ribu lagi diberhentikan dengan alasan tidak memenuhi persyaratan. Artinya, sekitar 40 persen kekuatan TNI yang kala itu berjumlah 200 ribu. Untuk memacu profesionalisme, pihak TNI memakai jasa Milisi Militer Belanda (MMB). Mengapa? Ada dua alasan. Pertama soal bahasa. "Bukankah masih banyak perwira militer Belanda yang menguasai, atau setidaknya mengerti, bahasa Indonesia. Sementara itu, di kalangan TNI sendiri masih banyak yang fasih berbahasa Belanda," kata Simatupang. Kedua, MMB itu bisa dipastikan meninggalkan Indonesia setelah tugasnya selesai. "Sedangkan jika kita memakai jasa negara lain, belum tentu." Dampak lain dari program ini adalah dihapuskannya Akademi Tjandradimuka, Bandung, oleh KSAD Kol. A.H. Nasution. Salah seorang pengajarnya adalah Bung Karno, yang menjadi dosen Pancasila. Akademi ini kemudian diganti menjadi Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat. Pimpinan Akademi Tjandradimuka itu, Kolonel Bambang Supeno, tergolong yang tidak setuju dengan semua program itu. Tokoh tua Peta, yang pernah bertugas di bidang intel di Jawa Timur, itu lantas mengontak beberapa panglima, untuk mengganti pimpinan Angkatan Darat. Kecuali itu, ia berkali-kali pergi ke Istana melapor langsung kepada Presiden tanpa menghiraukan hierarki KSAD-Menhan. Dalam rapat 12 Juli 1952, yang dipimpin Kolonel Gatot Subroto, benar tidaknya hal itu ditanyakan langsung pada Kolonel Bambang Supeno. Dalam rapat di rumah KSAP Simatupang itu, Kolonel Bambang Supeno telah "diserang" karena bertindak indisipliner. Supeno, sebaliknya, merasa telah diperlakukan tidak wajar dengan adanya rapat itu. Supeno sendiri, sehari setelah rapat itu (13 Juli), menulis surat kepada pemerintah, Presiden, Ikatan Perwira Republik Indonesia (IPRI), parlemen, dan semua pejabat teras AD. Dalam surat itu, ia menyerang secara terbuka berbagai kebijaksanaan, termasuk dalam hal pendidikan dan Misi Militer Belanda. Ringkasnya, "Tidak menaruh kepercayaan lagi kepada pimpinan Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat, mengenai kebijaksanaan pimpinan Angkatan Darat dalam rangka pertahanan negara". Sejak itu konflik di dalam TNI-AD meruncing. "Tampillah polarisasi yang tajam sekali," tulis Nasution. Setelah melakukan konsultasi dengan Staf Umum AD, pada 16 Juli, KSAD A.H. Nasution menjatuhkan hukuman administratif. Dengan alasan untuk mencegah perpecahan dalam AD, Kolonel Bambang Supeno dipecat sementara. SK itu diantarkan seorang perwira, tapi Bambang Supeno mengembalikan surat itu tanpa lebih dulu membuka, apalagi membacanya. Dan perkara makin runyam karena Presiden Soekarno menolak keputusan KSAD itu. Surat Kolonel Bambang Supeno yang ditujukan kepada parlemen, kemudian ditanggapi dengan serius oleh Seksi Pertahanan. Isi surat itu, menurut Manai Sophiaan, anggota parlemen dari PNI, menyatakan, hubungan antara AP dan Kementerian Pertahanan yang tidak serasi. "Ada juga isu yang disampaikan Bambang Supeno bahwa pengaruh PSI sangat kuat dalam Angkatan Perang. Bambang menyarankan agar parlemen dapat berbuat sesuatu, mengganti pimpinan dan mengubah beleid kementerian itu," tambah Manai. "Surat Kolonel Bambang Supeno" lantas menjadi topik yang hangat. Inilah sidang-sidang parlemen yang selalu ramai dihadiri. Akhirnya, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX tampil dalam sidang tertutup, 16 September 1952. Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjelaskan bahwa beleidnya sama dengan yang telah diputuskan pimpinan TNI-AD. Menhan juga membenarkan tindakan memecat sementara Kolonel Bambang Supeno. Tapi persoalan tak berarti mereda. Parlemen malah makin gigih mengkajinya. Persoalan "rumah tangga" militer itu malah dibicarakan dalam rapat-rapat terbuka yang berlagsung secara maraton sejak 23 September. Zainul Baharuddin, Ketua Seksi Pertahanan di Parlemen, dengan tajam menelanjangi AP. Mulai dari kebijaksanaan reorganisasi, yang menyebabkan 100 ribu tentara gelisah. Ia juga mengecam Misi Militer Belanda. Zainul lantas mengeluarkan mosi, "Yang didukung oleh Sakirman," kata Manai. Ir. Sakirman (PKI), mempercayai risalah anonim, yang menyebutkan bahwa beleid politik Kementerian Pertahanan dipandang kurang adil, karena tiga tokoh, Sri Sultan, Ali Budiardjo (Sekjen Kementerian Pertahanan), serta T.B. Simatupang, bertugas memperjuangkan keputusan PSI. Soebadio Sastrosatomo, Ketua Fraksi PSI, membantah isu pengaruh PSI itu. "Jenderal Mayor Simatupang bukan anggota PSI," katanya. Pada TEMPO, Soebadio mengakui pembelian kapal Tasikmalaja, yang dikabarkan rusak itu, memang diserahkan oleh Kementerian Pertahanan pada orang-orang PSI. Yang terang, mosi Zainul Baharuddin ditujukan pada Menhan. "Jadi, otomatis bisa menyebabkan kabinet jatuh," kata Manai pada Musthafa Helmy dari TEMPO. Lalu, IJ. Kasimo dan M. Natsir memelopori mosi tandingan. "Isinya mendesak pemerintah untuk mempercepat Misi Militer Belanda, dan Presiden membentuk suatu panitia yang menampung semua persoalan," kata Manan. Tapi mosi Zainul Baharuddin yang keras itu berdampak luas. Manai, yang kala itu berusia 37, seorang pengurus DPP PNI (partai yang berkuasa di kabinet kala itu), lantas juga mengeluarkan mosi tandingan. "Mosi saya lebih menekankan reorganisasi dan mutasi segera di kalangan AP," ujar Manai. Ketiga mosi itu lalu dibahas dalam rapat 16 Oktober. Hasilnya: mosi Manai Sophiaan mendapat 91 suara lawan 54 suara, mengalahkan mosi lainnya. Tapi kelakuan parlemen itu, meminjam Kolonel Djatikusumo, telah memasangkan jemuran "cucian kotor" di depan umum. "Bagi kolonel muda, yang usianya awal 30-an, sungguh berat menelan insinuasi dan tuduhan-tuduhan itu," tulis Nasution. "Kami harus berbuat sesuatu demi membela kehormatan." Maka, esoknya terjadilah Peristiwa 17 Oktober. Saur Hutabarat, Laporan Jemes R. Lapian & Mohamad Cholid (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus