BEKAS Presiden Abolhassan Bani Sadr kini resmi sebagai buronan.
Di sepanjang tembok pagar gedung Kementerian Kehakiman di
Teheran, terpampang poster yang berisi pengumuman 'Dicari Bani
Sadr'. Dan di salah satu bagian dari poster tembok itu tertulis
juga hadiah yang dijanjikan bagi si penemu. "Hadiah akan
diberikan kepada siapa yang memberitahukan Pengawal Revolusi, di
mana orang itu berada. Hadiahnya: Tempat di Surga."
Potret Bani Sadr yang dulunya terpampang bersebelahan dengan
potret Ayatullah Rohullah Khomeini kini sudah disingkirkan.
Begitu diumumkan ia dipecat sebagai presiden seluruh kantor
pemerintah di Iran mencopot potretnya. Dan dalam berbagai
demonstrasi yang mendukung keputusan Ayatullah Khomeini itu,
Bani Sadr sungguh menjadi bahan ejekan. Ia diteriaki sebagai
'Syah yang kedua'. Orang-orang meneriaki namanya sebagai
Bani-Sag yang berarti 'anak anjing'.
Namun secara diam-diam pendukung Bani Sadr rupanya tidak tinggal
diam. Sehari setelah Bani Sadr dipecat, sebuah bom meledak di
Teheran. Akibatnya seorang tewas dan 6 orang lainnya luka-luka.
Esoknya sebuah bom meledak lagi. Kali ini sasarannya tak
tanggung-tanggung stasiun kereta api kota suci Qom. Korbannya, 4
orane tewas dan 58 luka-luka. Dan sebuah bom yang dipasang
dalam sebuah tape recorder meledak ketika Hajatoleslam Ali
Khamaeni sedang berpidato di Masjid Teheran. Ia adalah pembatu
dekat Ayatullah Khomeini.
2 Persyaratan
Adalah ledakan di Qom yang agak mengejutkan. Kota suci yang
berpenduduk 250 ribu orang ini, padat dengan mullah. Tak kurang
dari 60 ribu penduduknya adalah mullah. Di kota ini pula berdiam
para Ayatullah Uzma, seperti Shariatmadari dan Montazeri.
Sebelum kena serangan jantung, Ayatullah Khomeini juga berdiam
di Qom. Aksi ledakan bom ini tentu saja menimbulkan pertanyaan.
Apalagi ketika Revolusi Iran meletus sulutan api yang pertama
juga terjadi di Qom.
Koresponden harian Turki terkemuka Hurriyat, Bulent Eranac, yang
berada di Teheran melaporkan bahwa ribuan lembar pesan tertulis
Bani Sadr telah disebarluaskan di seluruh Iran. Ini sempat
menggemparkan penduduk. Sementara itu ada pula pesan lewat pita
rekaman yang tersebar di Teheran. Menurut seorang yang sudah
mendengarkannya, suara di pita rekaman itu betul-betul suara
Bani Sadr.
Dalam pesannya itu Bani Sadr mengatakan bersedia diadili jika
rezim para mullah mau menerima 2 persyaratan. Pertama, semua
perbatasan mesti ditutup, semua sarana perjalanan ke luar negeri
dibekukan. Pengawasan perbatasan harus diserahkan kepada
angkatan bersenjata dan polisi, bukan di tangan Pengawal
Revolusi. Yang kedua, Bani Sadr minta diberi kesempatan
berbicara selama 3 jam melalui radio. "Saya dan sejumlah rekan
memiliki arsip negara, dan itu akan saya ungkapkan," tulisnya.
Pesan Bani Sadr ini memang terasa agak menentang. Ia meminta
pada Ayatullah Khomeini agar menyetujui persyaratan yang
diajukannya itu. Koran Times (London) telah mengungkapkan pesan
Bani Sadr yang disampaikan melalui kaum pengasingan Iran di
London. Dalam pesannya kepada rakyat Iran, Bani Sadr mengatakan:
"Anda mesti terus menentang tirani. apakah itu berasal dari
dalam negeri atau luar negeri." I'esan itu diterima di London
melalui telepon Rabu pekan lalu, dari suatu tempat di Iran.
Memang buat Bani Sadr pergulatannya melawan para mullah yang
berkuasa bukan soal baru. Sebelum terpilih jadi presiden,
Januari 1980, ia pernah didepak dari jabatan menteri luar negeri
karena dituduh bersekongkol untuk membebaskan sandera. Waktu itu
Bani Sadr ingin membawa masalah sengketa AS-lran ke PBB. Dewan
Revolusi -- yang dikuasai para mullah -- mengetahui rencana Bani
Sadr akan menghadiri sidang DK-PBB, rupanya tak setuju dengan
cara itu. Suatu sidang mendadak diadakan di Qom untuk memecat
Bani Sadr. Itu terjadi akhir November 1979, 3 minggu setelah
mahasiswa militan menyandera staf kedutaan besar AS.
Namun terdepaknya Bani Sadr dari jabatan menlu belum berarti ia
terusir dari lingkungan kaum revolusioner. Ia bahkan berhasil
memenangkan pemilihan presiden dengan mendapat suara terbesar
atau 75% dari jumlah suara. Tapi begitu ia menjabat kedudukan
presiden, rongrongan pertama datang dari para mullah. Sebagai
tokoh moderat Bani Sadr sebenarnya tak berdaya dalam menghadapi
kekuatan para mullah yang menguasai berbagai institusi. (Lihat
Revolusi Iran dan Teori Revolusi hal. 62). Mullah yang
tergabung dalam Partai Republik Islam (PRI) menguasai Majlis
(parlemen Iran). Mereka juga menguasai lembaga yudikatif.
Dengan menguasai lembaga-lembaga itu para mullah sempat menyusun
kekuatan. Mereka mempunyai pasukan bersenjata, yang tergabung
dalam Pasdaran (Pengawal Revolusi) dan Hisbullah (Pasukan
Tuhan). Mereka juga menguasai komiteh, suatu organ revolusioner
yang bergerak di tingkat rukun tetangga. Bila ada aksi-aksi yang
digerakkan para mullah, hisbullah yang menjadi inti kekuatannya.
Kelompok ini tak segan-segan menggunakan gada dan pisau bila
harus berhadapan secara fisik dengan lawannya.
Mullah sebagai kelompok ekstrim yang mempunyai saham besar dalam
mencetuskan Revolusi Iran memang sudah lama berakar di kalangan
massa rakyat. Merekalah yang mengobarkan semangat rakyat dalam
berjuang melawan Syah Iran. Dengan dukungan kaum bazaari
(pengusaha menengah) mereka berulang kali harus berhadapan
dengan kekuasaan yang menindas rakyat.
Sementara itu Bani Sadr lebih dikenal sebagai pejuang dalam
pengasingan. Ia hampir dapat dikatakan tak punya akar kekuatan
di kalangan rakyat. Kemenangannya dalam pemilihan presiden
semata-mata karena tak ada calon kuat dari PRI. Sejak semula
Ayatullah Khomeini melarang mullah untuk mencalonkan diri
sebagai presiden. Dan begitu menjadi presiden, Bani Sadr tetap
tak mampu mengkonsolidasikan kekuatan pendukungnya. Apalagi satu
demi satu koleganya yang berhaluan moderat tersingkir, seperti
Sadeq Ghotbzadeh dan Ibrahim Yazdi, kedua-duanya bekas menlu.
Suatu ujian bagi Bani Sadr terjadi ketika Majlis, mengajukan
Mohammad Ali Rajai sehagai perdana menteri. Ia menolak Rajai
karena dianggapnya tak memenuhi syarat. Tapi atas desakan
Ayatullah Mohammad Pehesti, Ketua PRI, yang menyatakan bahwa
yang berhak menentukan adalah Majlis, Bani Sadr tak bisa
berkutik. Apalagi ada lampu hijau dari Ayatullah Khomeini. Sejak
itu pertentangannya dengan kaum mullah semakin meningkat.
Sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Bani Sadr juga
tak mampu mengkonsolidasikan tentara untuk menjadi pendukungnya.
Meskipun kelihatannya ia telah berusaha. Selama perang
Iran-lrak, hampir sebagian besar waktunya dihabiskannya di
front. Potretnya bersama tentara di front menghiasi hampir
setiap kaca etalase toko. Ia rupanya menghindari konflik terbuka
dengan para mullah. Salah satu cara yang dilakukannya ialah
selama mungkin berada di front. Sementara itu tentara memilih
sikap netral dalam menghadapi konflik Bani Sadr melawan mullah.
Tapi perlawanan Bani Sadr yang kadang-kadang menempatkan dia
sebagai tokoh oposisi dalam pemerintahannya sendiri, ternyata
tak efektif. Apalagi sebagian besar itu dilakukannya hanya
melalui tulisan di tajuk koran Revolusi Islam, yang dipimpinnya.
Namun tersingkirnya Bani Sadr dari perjuangan revolusioner,
belum berarti tugas para mullah selesai dalam membersihkan
lawan-lawannya. Ledakan bom di berbagai tempat di Iran
membuktikan perlawanan itu masih ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini