Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makam itu berukuran 2,5 meter kali 1,8 meter. Tanpa ornamen. Disemen, tapi tidak dicat. Juga tak ada nisan dan nama penghuninya. Kuburan itu dibagi dua sama panjang oleh pagar kawat perbatasan Libanon-Israel setinggi dua meter.
Menurut Mayor Muhammad Irawadi, perwira penerangan Kontingen Garuda XXIII-A, makam itu memang selalu sepi peziarah. Terakhir dikunjungi dua pekan lalu oleh tiga pemuda Libanon. ”Tiga orang itu cuma melihat-lihat,” katanya.
Tidak seperti di Indonesia yang memakai baju koko, sarung, dan kopiah, peziarah Libanon berpakaian biasa saja: celana jins dan kaus dibalut jaket tebal, karena suhu di sana 0-5 derajat Celsius. Mereka juga tidak membaca surat Yasin dan tahlil. ”Kita enggak tahu mereka baca doa apa,” ujar Irawadi.
Kondisi serupa terjadi di sisi Israel. Makam Syekh Abbad terakhir kali didatangi empat pekan lalu. Para peziarah Yahudi ini juga berpakaian biasa, meski kadang ada yang memakai jubah hitam dan kipa (peci khas Yahudi).
Dulu, ”pertempuran” sering terjadi antara peziarah Libanon dan Israel. ”Mereka saling lempar batu dan mengejek,” kata Irawadi. Kini hal itu sudah tidak terjadi lantaran tiap kali ada peziarah Libanon, tentara Indonesia selalu menemani. Maklum saja, ”rumah” Syekh Abbad ini persis di sebelah pos 8-33—satu dari tiga pos pasukan perdamaian Indonesia di Libanon Selatan. ”Kami bilang kepada mereka, jangan melempar batu, karena yang kena getahnya Indonesia,” ujarnya.
Syekh Abbad sempat memanaskan hubungan kedua negara ketika Israel mundur dari Libanon, tujuh tahun silam. Ketika itu ada dua pilihan: membagi dua kuburan itu dengan pagar perbatasan atau memblokir tempat itu agar tak bisa dikunjungi warga muslim ataupun Yahudi. PBB akhirnya memutuskan mengambil opsi pertama.
Bagi warga muslim Syiah di Libanon, penghuni kubur itu adalah Syekh Abbad yang diperkirakan hidup lima abad silam. Ulama besar itu diyakini sebagai pelopor gerakan Syiah di negara ini. Ia memiliki banyak pengikut yang mencari nafkah dengan membuat kasur. Hasilnya dijual di dekat Laut Galilea.
Pengetahuan warga Libanon soal Syekh Abbad sangat sedikit. ”Bahkan ada kepala desa di perkampungan dekat kuburnya yang tidak tahu apa-apa,” ujar Irawadi.
Di mata warga Israel, ia bukan Syekh Abbad, melainkan Rabi Rav Ashi. Ia hidup di zaman Babylonia dan berasal dari keluarga terpelajar, lulusan akademi Talmud di Naresh. Usianya 75 tahun saat meninggal pada 427.
Rav Ashi sepertinya telah ditakdirkan bakal menjadi orang suci. Dan ia punya bekal untuk itu: kepribadian menawan dan tingkat keilmuan yang tinggi. Sosoknya sering dibandingkan dengan Rabi Judah Hanasi.
Ketinggian ilmunya diakui pula oleh guru-guru senior. Karena itulah Rav Ashi muda dipercaya memimpin Akademi Sura. Kampus ini menjadi sekolah Talmud paling bergengsi di seantero Babylonia. Padahal akademi ini pernah ditutup ketika pemimpinnya, Rav Chisda, wafat pada 309.
Sepanjang hidupnya, ia mengumpulkan dan mengedit Gemara—penjelasan mengenai sepuluh firman Tuhan (Mishnah). Ia harus mempelajari secara saksama 60 risalah soal firman Tuhan kepada Nabi Musa itu. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan Rav Ashi adalah suksesnya membukukan kembali Gemara.
Kiprah Rav Ashi ini hanyalah cerita sejarah yang tak bisa dibuktikan kebenarannya. Bahkan dalam Talmud tidak ada sedikit pun cerita soal Rav Ashi dan kegiatannya. Talmud juga tidak menjawab pertanyaan apakah penulisan Talmud Babylonia ini dikerjakan pada masa Rav Ashi. Faktanya, Talmud memang pernah mengalami revisi.
Bahkan sejarah lain menyebutkan penulisan kembali Talmud Babylonia tidak selesai di masa Rav Ashi. Proyek itu diteruskan dua orang penerusnya di Akademi Sura dan selesai saat kepemimpinan Rabina pada 499.
Meski legenda Rav Ashi simpang-siur, yang pasti dia merupakan salah satu rabi Yahudi yang paling dihormati dan disegani. Tabyomi pun tak bisa menggantikan ayahnya itu. Meski diakui sebagai ahli Talmud yang andal, ia baru diangkat sebagai pemimpin Akademi Sura setelah 28 tahun kematian Rav Ashi.
Faisal Assegaf
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo